Dalam masyarakat kita di NTB, Istilah ulama itu mudah sekali
dipahami sebagai ahli agama. Warga masyarakat tahu, ilmu agama yang dimiliki
ulama sangat luas dan mendalam, hingga pada segenap persoalan yang berhubungan
dengan agama yang dipahaminya. Masyarakat kita tak membedakan ada ulama yang
keahliannya dibidang Fiqih, ada yang dibidang tasawuf. Ulama tetap ulama.
Saking manutnya ulama malah mendapat pula sebutan ganda, alim plus ulama.
Sumber: google |
Usaha membedakan secara rinci dan cermat, hannya dilakukan oleh
segelintir orang seperti yang dilakukan oleh kaum sekolahan, dan tidak oleh
anggotta masyarakat secara umumnya. Mereka juga tak membedakan antara ulama dan
kiai. Kiai kita ahli agama, ulama juga ahli agama. Maka ulama dan kiai begitu
bercampur aduk demikian rupa, hingga ulama ya kiai, ulama itu ahli agama, pun
tak dibedakan ulama yang hidupnya di dunia politik terus menerus, dan
ulama juga khususnya mengabdikan diri di bidang agama. Kadang-kadang kita
melihat orang pakai sorban pun kita kira ulama.
Di dalam dunia pesantren, sebutan ulama dikenakan sebagai pemimpin
atau pengasuh pondok pesantren. Orang-orang pengasuh pondok pesantren sudah
tentu ahlinya di bidang agama karena itu jelas ulama. Tapi dimasyarakat kita,
ulama belum tentu punya pondok pesantren, dan dengan begitu belum tentu pula
pemimpin atau pengasuh pondok pesantren. Hannya ulama yang memimpin pesantren
yang umumnya berhak di sebut ulama.
Dalam tulisan ini ulama menunjukan tokoh agama, termasuk kiai.
Yang disebut ulama juga benar-benar ulama, bukan sekedar ulama yang di
ulamakan. Hal ini perlu kita pahami karena didalam politik kita yang rusuh saat
ini, yang tujuannya hannya meraih kemenangan, berbagai cara ditempuh.
Jika strategi
melibat ulama kira-kira bakal menguntungkan perjuangan politik kelompok atau
ormas tertentu, maka dilibatkanlah ulama. Dan jika ulama sejati tak mau
diperalat belaka, mereka bisa membikin ulama sendiri. Asli orang biasa, tapi
dipoles begitu rupa, hingga mirip ulama, dan diberi status politik ulama.
Dalam kemelut para ulama seharusnya kompak. Dan yang
berwajib kabarnya merasa perlu memiliki ulama sendiri. Tapi berhubungan ulama
setempat sepenuhnya memihak pada rakyat, maka muncullah ulama yang di ulama kan
tadi. Dalam manipulasi merupakan pekerjaan harian. Membohongi orang
dengan cara kalau bisa lebih canggih, hingga kebohongan itu seolah sebuah
kebenaran, dianggap sah, baik dan tidak perlu dipertanyakan status
rohaninya. Setiap hari kita menemukan prilaku macam ini dalam politik
kita.
Bohong dengan cara sederhana, caranya diulang-ulang, dan
membosankan, bahkan membuat orang muak, tak menjadi soal. Asal kebohongan itu
bisa memperdaya orang lain, dia sudah anggap baik juga.Setiap hari kita menemukan betuk
politik macam ini. Kalau kebohongan tak manjur, maka kebohongan itu dibantu
pemaksaan dengan aneka macam. Ini juga dianggap bara ng biasa. Dan tiap hari
kita menemukan tindakan seperti ini.
Tak mengherankan orang lantas mengidenifikasikan politik dengan
kebohongan, kekerasan dan segenap tipu daya. Orang lantas bilang politik itu
menghalalkan segala cara. Dalam politik, posisi ulama sering dimanipulasi.
Berhubungan itu
ulama mayoritas ulama di NTB sebagai pemegang legitimasi moral, dan pemerintah memerlukan
pula legitimasi seperti itu, maka ulama pun di kooperasi. Mereka mau? Ada yang
mau, karena dekat dengan kekuasaan itu enak. Kecuali ada fasilitas menarik,
mereka pun kecipratan wibawa dan kekuasaan.
Ulama yang inti tujuan hidupnya bukan mengejar popularitas diri,
bukan mengejar keuntungan politik dan ekonomi, jelas waspada. Dan akhirnya
dengan kebeningan hati nuraninya menolak terlibat politik sangat sering begitu
keras, kasar dan ingin menang sendiri tujuannya. Ulama intelektual. Sebagai intelektual
ulama mengabdi bukan pada kekuasaan melainkan pada kebenaran. Jika ia melihat
kebenaran terinjak, ulama sebagai intelektual yang bening hatinya, bening niat
hidupnya, memperotes.
Jika keadilan terlantar, ulama memperjuangkannya. Ia bisa
berjuang sendiri. Tapi bisa juga lewat kelompok, atau lewat partai. Ulama yang
dekat kekuasaan, bagaimanapun bakal tidak kritis terhadap apa yang
mestinya disikapi secara kritis.
Jika kekuasaan memihak kemanusiaan dan keadilan serta kebenaran,
kedekatan ulama tak dikecam. Tapi jika ulama berjinak-jinak dengan kekuasaan
yang serba keras, serba menindas, dan melalaikan rasa keadilan, kebenaran dan
kemanusiaan, ia mungkin batal. Ulama yang tidak canggih bermain politik tetapi
campur aduk hidupnya dengan para pemegang kekuasaan, biasanya diganyang.
Tujuannya mejernihkan, bisa jadi ia laut dalam kekeruhan politik.
Ia tak bisa berbuat sesuatu dalam sistem yang sudah mapan, rapid
an kuat, dan bisa mengubah apa saja. Dalam situasi politik macam itu ulama
dalam keadaan kesulitan. Masuk dalam kekuasaan,resikonya malah larut. Menjauh
dari kekuasaan, dikira menentang. Dikira tak mau menjaga keselarasan hubungan
ulama dengan umara.
Keselarasan wajib dijaga. Keharmonisan wajib ditegakkan. Persatuan
dan kesatuan, jelas wajib dijaga bersama. Tak dianjurkan ulama sudah tahu.
Ulama sebagai pewaris nabi. Dan nabi-nabi siapa pun beliau harus selalu
berjuang mejernihkan hubungan manusia yang bathinnya keruh dengan mereka yang
jernih, agar bersatu padu, utuh dan harmonis. Nabi-nabi susah payah
berjuang,menderita dan jarang yang hidup mewah.
Materi bukan cita-cita utama yang hendak diraih para nabi. Maka,
ahli waris para nabi semestinya tak pula tergiur dengan materi. Tuntutan mereka
agar mampu membikin jernih apa yang keruh. Dan itulah yang mesti
dilakukan. Maka dalam situasi keruh jangan sebentar-sebentar menunduk
menyatakan setuju atas ini dan itu, apalagi bertentangan dengan hati nurani.
Masyarakat tidak bisa melihat siapa-siapa lagi yang pantas
diandalkan buat member perlindungan. Masyarakat tidak melihat satu pihak pun
yang diduga bisa bersuara jernih, dan melurusakan segenap keburukan selain
kepada para ulama dan ulama. Kalau lantas ulama dan ulama ini diam lantas
apa bedanya dengan orang awam yang tak berilmu. Wallahu A’lam bis Shawab
Ahyar Rosidi Sekertaris LPM Ro’yuna IAIN
Mataram 2008-2009 Sekarang Mahasiswa Fakultas Syari’ah dan aktif di HIMMAH NW.
Cipayung Bogor, 25/4/2012.
0 komentar:
Posting Komentar