Spanduk dan berbagai hiasan lainnya
seperti poster,billoard , dan baliho, bukankah hannya sekedar media luar ruang
yang berfungsi untuk mempromosikan sebuah kegiatan.
Pada bagian tertentu,
spanduk juga memberikan gambaran atas ide dan imaji yang berkelindan di suatu
kota mana pun. Ia menjadi sebuah salah satu indikator indentitas sebuah kota.
Bentuk hingga isi spanduk merefleksikan berbagai aktivitas penghuninya.
Aktivitas ekonomi, keagamaan,politik , pendidikan sosiokultural, hingga tema
kebudayaan. Dari spanduk kita menengarai apa saja yang dilakukan masyarakat
sebuah kota, hobi, dan kecenderungan
hidup hingga perangai atau bahkan derajat sebuah kota itu sendiri.
Hampir disetiap pinggir pada setiap
pinggir jalan di pusat kota, tengah kota hingga sudut kota ditemuka spanduk
yang terpampang dengan berbagai ukuran yang disediakan. Spanduk ini hadir
dengan hasrat untuk mengambarkan ide dengan harapan masyarakat yang membacanya
turut mengamini ide tersebut. Ia menjadi
sarana untuk memersuasi publik yang masih dianggap efektif, baik radio, telivisi,
maupun internet, bermunculna untuk menyanginya.
Menjadi
Senjata Industri
Dalam konteks ekonomi dan industri,
spanduk adalah senjata promosional yang sudah ratusan menjadi salah satu pilhan
utama. Tulisan dan gambar artistik dalam spanduk, dengan berbagai tehnologi dan
desain yang kian cangih, memberikan tawaran pada publik tentang satu prooduk
dari industri.
Kehadiran yang permanen, dan hampir tidak peduli peduli waktu
dan situasi, itu, dalam tingkat tertentu telah menjadi teror. Teror yang
menghantam mata dan kesadaran publik hingga ia tidak sadar sudah tenggelam
menjadi korban dari permainan citra itu dan mengikuti ajakan halus di balik
kata dan gambar tersebut. Membelanjakan sebagaian pendapatannya untuk produk industri
yang ditawarkan.
Bagi kota atau pemerintahnya, kkehadiran spanduk semacam itu
tampaknya tidak terlalu menganggu. Karena spanduk promotif itu seperti cermin
yang menandakan betapa hidupnya kota- kota yang bersangkutan: betapa kegiatan
ekonomi, sosial, politik, hingga budaya berlansung dengan dinamis. spanduk
menandakan luas dan besarnya transaksi
yang dilakukan oleh masyarakat sebuah kota.
Metropolisnya sebuah kota pun
dihitung dari seberapa banyak dan dalam hubungan transaksional terjadi di
antara penduduknya. Dengan demikian pula kota memiliki perhatian terhadap
kebudayaan. Maka, kota memiliki kecenderungan untuk mewartakan berbagai
aktivitas yang berhubungan dengan kebudayaan, mulai dari pentas puisi, teater,
seminar kebudayaan, hingga pagelaran seni tradisional.
Alat
Ideologi
Membaca spanduk bukan hannya kegiatan
mencari informasi dan identitas kota, tetapi juga narasi dari situasi yang telah dan tengah terjadi.
Spanduk yang dipasang dipingir-pingir jalan ataupun spanduk yang dibawa dalam
sebuah aksi demontrasi (politik), misalnya. Aksi unjuk rasa selalu identik
dengan spanduk.
Spanduk dijadikan sebagai bagian dari alat-alat komunikasi
unrtuk menyampaikan aspirasi. Tulisan-tulisan dalam spanduk berisi dukungan,
pujian, apresiasi,hingga cacian,ungkapan atas kesenjangan dan resistensi pada
sebuah kebijjakan.
Sapardi Djoko Damono (1998) dalam
sajaknya ketika sebagai kakek di Tahun 2040, kau menjawab pertayaan cucumu,
menyebut spanduk sebagai dia untuk mengekspresikan gagasan lewat kata penuh
kesopanan hingga makian dan sampai pada cercaan. Sapardi menulis,”..lalu
menguratkan baris pertama bab yang baru. Seraya mencat spanduk dengan teks yang
seru. Terpicu oleh kwan-kawan yang ditembus peluru…” Spanduk merefleksikan
kondisi kota tahun 1998 yang berdarah, tragis dan emosional.
Dalam konteks revolusi Indonesia,
pergolakan ide-ide pun terbaca dari spanduk.
Gie (2005), sebuah film sejarah revolusi,
member ilustrasi kegunaan spanduk itu. Dalam konteks politik praktis, pemilihan
kepala daerah selalu identik dengan spanduk yang bertulisan nama calon, partai
pendukung, dan program kerja yang nanti akan direalisasikan jika terpilih.
Begitu juga dengan politik pemerintah dalam mengkampanyekan program-program
yang sudah dilaksanakan dan belum atau yang tengah berlansung pada masanya.
Spanduk menjadi alat politik dan ideologi, sekaligus penegas sebuah identitas.
Sebagai kota penuh gairah intelektual,kota yang berkebudayaan, kaya moralitas,
atau juga sebaliknya: kota yang sedang mengalami krisis dan degradasi moral.
Oleh : Ahyar Rosidi
0 komentar:
Posting Komentar