Terinspirasi dari kalimat
motivasi tersebut membuat saya terus merakit mimpi dan tidak pernah putus asa
untuk terus berharap agar melanjutkan pendidikan ke perguruan Tinggi. “Bukan
menjadi TKI lagi”. Bila saya tengok ke belakang, apa yang saya dapat saat ini
sebetulnya sudah berada dalam awal mimpi itu. Misalnya, dulu saya bermimpi
untuk sekolah tinggi, dan Alhamdulillah pun tercapai.
Semua ini berawal dari
keberanian untuk merakit mimpi atau cita-cita. Namun bukan sekedar impian,
melainkan sebuah mimpi yang diperjuangkan dengan teguh dan habis-habisan.
Menurut saya, harapan dan impian yang diingat-ingat terus dalam hati adalah doa
kita. Makanya, bermimpilah setinggi-tingginya, jangan pernah merasa impian kita
karena sesungguhnya Tuhan Maha mendengar, walau impian itu kita pendam jauh
dalam hati.
Tahun
2004 hari pertama saya bekerja di Malaysia, saya berdiri dilantai dua belas
sambil menuliskan mimpi-mimpi itu. Saya menyebutnya “Mimpi TKI Jadi Mahasiwa”.
Pada sebuah lembar kertas, saya menuli banyak impian dan target yang ingin saya
capai selama bekerja menjadi TKI. Saat itu, saya tuliskan semua yang muncul
dalam pikiran. Saya biarkan mengalir begitu saja, menuliskan poin demi poin,
satu persatu taget. Salah satu kata yang menarik dalam lembaran kertas itu
“Mengejar Beasiswa” kira-kira begitulah mimpi besarku pada saat itu, hingga
saat ini saya sudah menyelesaikan status sebagai mahasiswa di Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Mataram.
Bagi
orang kampungku menjadi mahasiswa itu merupakan sesuatu yang terbilang istimewa,
apalagi bisa kuliah dengan mendapatkan beasiswa. Tak heran jika sebagian besar
keluarga dan teman bermainku mengira hal itu sangat mustahil sekali. Apalagi seorang
anak buruh tani saya yang lahir dipinggiran selatan pulau Lombok atau daerah
yang sering orang mempelesetkannya (N)asib (T)idak (B)aik (NTB), sulit bin
aneh.
Jangankan untuk bermimpi masuk perguruan tinggi, untuk makan keseharian
pun susah. Itulah ungkapan yang sering saya dengar dari ibuku. Tak heran, 2004 harus
meninggalkan kampung halaman untuk merantau ke luar negeri (TKI) di Malaysia,
hannya untuk mengais rizki untuk mengejar mimpi itu menjadi “Mahasiswa”.
Hannya
pendidikanlah yang bisa membantu anak kampung seperti saya untuk keluar dari
belenggu kebodohan dan ketertinggalan. Dan, ketertinggalan itu pula yang telah
melecutkan saya menerobos dengan tajam demi masa depan.
Semua pengalaman selama merantau
menjadi TKI membantu saya menerbangkan cita-cita tingi-tingi. Tapi, apalah
gunanya cita-cita tinggi kalau berhenti jadi angan-angan saja. Bukan cita-cita
namanya kalau tidak diperjuangakan dengan habis-habisan. Menurut saya kunci
keberhasilan mengapai cita-cita adalah gabungan dari kuatnya niat “man jadda wajada, man shabara zhafira”,
doa dan keihlasan. Sungguh-sunguh tanpa doa tidak lengkap.
Awal
2008 akhirnya saya pulang untuk mengejar mimpi itu, mimpi yang selalu terpatri
dalam jejak langkahku. Berbekal semangat, kerja keras dan tabungan seadanya,
saya pun diterima di salah satu kampus negeri di Kota Mataram. Tulisan mimpi
pada lembaran kertas itu menjadi semangat tak ternilai dalam perjalanan
hidupku. Tapi prinsip saya, tuliskan saja duluan semua impian kita (merakit
mimpi).
Dengan menuliskan, berarti kita sudah merencanakan mimpi itu menjadi
nyata di depan pelupuk mata kita. Itu artinya jauh lebih baik daripada melewati
masa demi masa tanpa ada target. Lebih jauh saya merasa yakin, jika kita teguh
dengan impian itu, maka kita akan memberikan usaha terbaik dari apa yang bisa
kita bisa.
Merakit Mimpi
Data
statistik NTB menunjukan angka putus masih tinggi setiap tahunnya mencapai
4.000 anak terdidik tingkat sekolah dasar ditambah lagi angka buta huruf
sekitar 222 ribu penduduk NTB. Dalam usia 10-44 tahun tidak bisa baca tulis, lalu
apa yang harus saya lakukan untuk orang disekeliling saya, terutama di NTB? Pertama, melakukan bimbingan (memberikan
motivasi) betapa pentingnya pendidikan
dan anak-anak muda harus didorong untuk berani merakit mimpi dalam jangka
panjang, yakni dengan cara mereka harus sekolah sampai Perguruan Tinggi.
Karena bermimpi dan berani berbuat, apalah
makna sebuah mimpi dan rencana, jika tak disertai dengan tindakan. Tindakan
dalam berbuat dan bergegas dari semua ketertinggalan dalam arti satu kata
“Perubahan”. Perubahan akan samar-samar jika tak dibarengi tindakan.
Kedua, ke depan yang
dibutuhkan adalah generasi muda yang mau berbuat (turun tangan), tanpa banyak
bicara dan mengunakan kesempatan dalam memajukan daerah meraka berada.
Dalam
empat tahun berjalan kami bersama anak-anak muda di NTB mengagas “Komunitas
Kampung Media”. Sebuah komunitas anak muda yang gemar menulis, mengabarkan pada
dunia cerita dan kisah-kisah inspiratif dari kampung. Tak hannya itu melakukan
bimbingan dan pelatihan menulis kreatif pada anak-anak kampung. Mendirikan rumah
baca, rumah menulis, sebagian dari upaya memberikan motivasi pada anak-anak
kampung, amgar mereka tak berpikir kampungan, semua cerita ditulis pada website
www.kampung-media.com/www.mellbaonews.blogspot.comdan www.ahyarrosi.blogspot.com.
Akhir
dari tulisan ini saya mengutip, kata seorang kawan mengingatkan saya bahwa kita
tak bisa melupakan fakta masa lalu, tetapi kita bisa mengubah makna dari
kejadian masa lalu itu, namun merakit mimpi itu menjadi bagian yang harus
diimpikan dan diperjuangkan.
Ikhtiar
maksimal disertai dengan doalah yang kemudian akan menjawab bahwa dulu mimpi
itu, suatu saat akan menjadi kenyataan, itulah kenapa saya ikut beasiswa LPDP
karena saya yakin dan optimis orang kampung seperti saya punya kesempatan untuk
berubah untuk lebih baik. Wallahualam bissawab.
[1]Kata Mutiara
Arab; “Barang siapa bersungguh –sungguh akan berhasil dan barang siapa bersabar
akan beruntung