Berawal
dari sebuah obrolan saya dengan salah seorang teman baru menyelesaikan program
pasca sarjana di satu kampus negeri di Jogja. Di balik cerita kesuksesan
menempuh kuliahnya boleh dibilang memeras keringat, tenaga dan menghabiskan
biaya yang tidak sedikit juga jumlahnya. Pada akhirnya ia memilih pulang
kampung ke Mataram. Ceritanya, sudahnya mencari kerja
Istilah “sarjana pengangguran” memang sering kali terasa menyingung
perasaan kita apalagi calon-calon sarjana muda yang sebentar lagi akan
meninggalkan dunia kampus ataupun yang sudah menyandang gelar sarjana, tapi
pekerjaan kunjung belum didapatkan, jika bukannya menyudutkan apalagi sampai
diwacanakan.
Akan tetapi, rasa tersingungan itu tentunya tidak perlu terjadi
begitu saja. Sebab boleh jadi akan lebih menyudutkan kita bila hal ini
didiamkan terus, seakan tidak akan yang peduli dengan nasib seorang sarjana
muda.
Istilah ini demikian begitu populer hingga ke pelosok dan pedalaman desa.
Setidak-tidaknya begitulah yang saya amati ketika saat ini lewat data dan
fakta. Akhir-akhir ini semakin banyak sarjana kita yang “menganggur” dan bahkan
pulang kampung, bukan karena ingin membangun dan memberdayakan masyarakat desa
untuk tanah-tanah mereka sesuai dengan keahlian yang mereka peroleh ketika
mereka di perguruan tinggi mereka masing-masing, tetapi karena kegagalan dan
frustasi, di karenakan belum mendapatkan lapangan pekerjaan yang menjadi impian
mereka selama berada dalam lingkungan kampus.
Tergambar kekecewaan diwajahnya, dan orang-orang dikampungnya pun
merasakannya mestikah harus demikian?. Masalah “sarjana pengangguran” merupakan
masalah yang semua dan memiliki kompleksitas yang begitu tinggi mulai definisi
pengangguran yang demikian rumit hingga banyaknya persepsi yang salah mengenai
hal tersebut.
Kebanyakan “sarjana pengangguran” sesugguhnya bukanlah sarjana
dalam arti yang sesungguhnya. Melainkan manusia-manusia yang memiliki ijazah
sarjana, akan tetapi tidak memiliki kemampuan, termasuk keterampilan bekerja
yang seharusnya dikembangkan oleh ijazah dan gelar yang disandang sarjana
tersebut.
Akan tetapi perlu kita semua sadari bahwa keadaan yang demikian bukan kesalahan
sarjana yang bersangkutan, tetapi lebih banyak diakibatkan oleh kesalahan
sistem peyelenggara pendidikan tinggi kita, yang kurang melatih para mahasiswa
untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang seharusnya dituntut oleh persiapan
pengetahuan keahlian yang bersangkutan yang sifatnya soft skill, atau boleh
Jadi juga, tawaran kegiatan pelatihan untuk persiapan penerapan ilmu
pengetahuan yang dilaksanakan perguruan tinggi tidak begitu menarik bagi
mahasiswa yang “tergila-gila”
dengan kebebasan dan supremasi politik.
Dalam perspektif Islam, seorang sebenarnya tidak boleh menganggur atau
merasa dirinya menganggur sebab kerja merupakan bentuk keberadaan manusia.
Dengan demikian, jika filosofi Perancis Rene
Descartes terkenal dengan ucapannya, aku berpikir maka aku ada” karena
berpikirnya baginya merupakan bentuk keberadaan manusia.
Maka dalam Islam atau dikalangan akademisi dan sarjana ungkapan itu
sebenarnya berbunyi “aku berbuat atau bekerja maka aku ada” bukankah menganggur
merupakan siksaan dan penderitaan bathin? Sarjana yang “menganggur” sebenarnya
lebih banyak menganggur dalam arti merasa dirinya menganggur karena pekerjaan
yang dipahaminya dalam arti yang sangat sempit, terbatas pada pegawai negeri
(PNS), karyawan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), TNI atau Polri sedangkan
pekerjaan lain dianggap bukan kerja yang paling tepat untuk mereka.
Dunia kerja memang lebih cenderung terfokus pada masalah ekonomi semata,
banyak kesempatan yang sifatnya tersedia di dunia kerja sangat tergantung pada
pertumbuhan ekonomi, tidak hannya tergantung pada penduduk. Akan tetapi dunia
kerja juga merupakan masalah ideologi, masalah sikap, dan dari pandangan kita
masing-masing dalam mempersipakan diri untuk menghadapi dunia bekerja yang
begitu tinggi kompetisinya.
Dengan demikian, maka selain rekontruksi system
pendidikan kita dan penyedian lapangan kerja, pembaharuan pandangan mengenai
kerja merupakan keniscayaan, dikalangan sarjana dan masyarakat kita di era
globalisasi ini. Dalam suatu rumusan perguruan tinggi sebenarnya dapat menghasilkan empat
keluaran. Pertama,
anggotta baru bagi profesi-profesi tertentu seperti, dokter, pengacara, petani,
pedagang.
Kedua, peneliti yang mempunyai kemampuan
untuk mengembangkan pengetahuan lebih lanjut tertutama dalam bidang pengetahuan
yang dimilikinya. Ketiga,
dosen atau guru yang
mempunyai kemampuan untuk mendidik, harus mempersiapkan anak-anak peserta didik
mereka untuk tenaga yang
ahli dalam bidangnya masing-masing.
Keempat,
orang yang terpelajar, yaitu mereka yang tidak berusaha untuk bekerja dalam
bidang keahlian yang terbatas, melainkan hendak memamfaatkan keluasaan wawasan
pikiran mereka dan pengetahuan yang luas yang diperoleh di perguruan tinggi
untuk sebisa mungkin berperan sebagai tokoh masyarakat dalam kepemimpinan
politik, agama, ekonomi dan bidang-bidang yang lain yang menuntut pandangan
luas termasuk di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Jika semua pikiran diatas ini dapat kita terima, maka pengangguran atau
yang merasa menganggur sebenarnya tidak perlu terjadi ataupun berkecil hati,
dan memilih pulang kampung setelah mendapat gelar sarjana tentulah tidak lagi
merupakan aib yang memalukan apabila ia menciptakan lapangan pekerjaan sendiri
di desa mereka masing-masing dengan skill yang dimiliki dan didapatkan
diperguruan tinggi.
Hal ini merupakan konsekuensi dari pekerjaan yang bertanggung jawab
bagi pengembangan masyarakatnya di masa yang akan mendatang. Bukankah sarjana
adalah manusia tanpa pengangguran?. Wallahu
a’lam bisawab.
Ahyar Rosidi Mantan Sekertaris LPM Ro’yuna 2008-2009, HIMMAH NW
Mataram, Ahad 18 Pebruari 2012.
0 komentar:
Posting Komentar