Peran EBT bagi Pembangunan Berkelanjutan di Tanah Air


Ilustrasi, sumber foto; www.Intisarionline

Peran energi terbarukan dalam membangun peradaban manusia tidak dapat diabaikan. Sayangnya, baik masyarakat maupun pengambil kebijakan kerap kali lupa bahwa sumber enegi disediakan oleh alam. Alam juga berperan  dalam menetralisasi limbah dari aktivitas ekonomi manusia. Eksploitasi berabad-abad terhadap berbagai sumber daya alam terutama sumber-sumber energi fosil akibat tingginya hasrat manusia untuk terus meningkatkan kesejahteraan ekonomi justru menurunkan kemampuan alam dalam menjamin keberlansungan kehidupan manusia di bumi ini.

Baik negara maupun negara berkembang memiliki pandangan bahwa laju pertumbuhan ekonomi harus dipacu demi menjaga ketersediaan lapangan pekerjaan yang berkelanjutan. Degradasi alam serta ketergantungan terhadap energi fosil tidak terelakkan lagi. Ketergantungan ini terlihat dari besarnya peran bahan bakar fosil dalam perekonomian, sehingga mengalami kejutan baik dari sisi permintaan maupun penawaran akan berdampak pada arus investasi dan perdagangan bahkan kondisi sosial politik. 

Hal inilah yang mendorong dilakukannya efisiensi energi di sisi permintaan dan pemanfaatan energi terbarukan sebagai alternatif. Tak dapat dihindari bahwa saat ini sekitar 1, 5 miliar penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ketika kesejahteraan mereka meningkat, konsumsi energi mereka terus juga mengalami pertumbuhan. 

Maka tantangan nyata yang harus dihadapi adalah pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah atau state (negara) menyediakan sumber energi dalam jumlah cukup dengan harga terjangkau dan aman bagi keberlanjutan lingkungan. Ketersedian energi ramah lingkungan sudah tidak dapat ditunda lebih lama, mengingat konsumsi dan produksi enegi fosil memiliki peran terpenting dalam perubahan iklim. 

Pembakaran sumber enegi fosil melahirkan emisi karbon dioksida (CO2), yang merlupakan sumber utama “gas rumah kaca” (GRK) sehingga meningkatkan suku permukaan bumi. Data emisi CO2 menunjukkan perkembangan memprihatinkan. Pada pertengahan tahun 2013 emisi GRK telah mencapai titik tertinggi dalam kurun waktu sekitar dua tahun, dengan pembakaran sumber energi fosil, baik untuk elektrifikasi dan transportasi, menjadi sumber utama penyebabnya.  

Selain berdampak bagi iklim, hasil kajian juga mengungkap bahwa perubahan iklim juga berdampak buruk bagi sektor enegi itu sendiri. Semakin nyatanya kerusakan lingkungan dan peruabahn iklim mmendorong gerakan global untuk mengutamakan kembali pola pembangunan dari yang terfokus pada akselerasi pertumbuhan menajdi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. 

Berbagai dunia melakukan kampanye soal ini, termasuk salah satunya Indonesia. Kampanye pembangunan berkelanjutan untuk menyuarakan diberlakukannya model sistem ekonomi alternatif, yang memasukkan lingkungan alam sebagai salah satu faktor modal, seperti halnya kapital, dan tenaga kerja dalam tatanan ekonomi.

Secara konseptual pentingnya, menjaga keseimbangan antara pertumbauhann dan kelestarian lingkungan yang mudah dipahami. Namun, pada tahap pelaksanaan, tantangan tidak semudah yang diperkirakan banyak orang. Pengambilan beranggapan bahwa mereka dihadapkan pada pilihan antara memerangi kemiskinan melalui percepatan pertumbuhan ekonomi versus pelestarian lingkungan. 

Pencinta lingkungan menyakini bahwa mengejar pertumbuhan akan berdampak buruk bagi lingkungan. Oleh sebab itu, harus ada regulasi yang ketat terhadap aktivitas-aktivitas ekonomi. Di sisi lain, terdapat pula pihak yang berpendapat bahwa pertumbuhan merupakan syarat perlu untuk meningkatkan kesejahteraan, dan kondisi ekonomi yang lebih sejahtera akan menjamin kelestarian lingkungan. 

Sehingga akibatnya kegiatan-kegiatan ekonomi pun harus ditempuh. Tawaran lainnya adalah mengakomodasi pelertarian lingkungan sekaligus pertumbuhan. Beberapa negara Eropa telah mendulang sukses mengurangi emisi CO2 melalui cara ini. Dalam kasus energi, untuk menurunkan akselerasi polusi sambil mejaga stabilitas pasokan, sisi lain penambil kebijakan dalam pengembangan sumber energi baru dan terbarukan (EBT). 

Secara umum EBT sangat berdampak baik terhadap lingkungan. Di sisi lain, berbagi efek negatif dari pemanfaatnya, yang tidak banyak diketahui masyarakat. Meskipun dampak negatif fan peran EBT dalam bauran energi global terus meningkat. Berbagai negara di dunia, terutama negara-negara maju yang sudah memanfaatkan energi baru terbarukan. 

Pentingan peran energi dalam pembangunan berkelanjutan, di satu sisi dan terbatasnya pasokan energi bersih masih menjadi perdebatan panjang antar kelompok negara-negara maju. Negara-negara maju sudah mulai mengembangkan EBT, sedangkan negara berkembang melihat bahwa sebagai sumber energi murah, bahan bakar fosil harus tetap dibela termasuk dengan cara pemberian subsisdi, yang pada akhirnya menghambat EBT. 

Energi baru dan terbarukan berperan lansung dalam penciptaan lapangan pekerjaan, kemanaan, perubahan iklim, produksi pangan serat peningkatan pendapatan masyarakat. Dengan demikian akses terhadap energi menjadi hal yang mutlak dan berkelanjutan, enegi diperlukan untuk memperkuat perekonomian, melingdungi ekosistem sambil mencapai kesetaraan.

Dalam konteks Indonesia eksplorasi baik mineral, batu bara, minyak, gas bumi, EBT maupun pembangunan pembangkit ketenagalistrikan memiliki dampak penting terhadap lingkungan, meskipun skala besaran masing-masing aktivitas berbeda-beda. Penyelengara negara memandang bahwa sektor minyak dan gas bumi merupakan komuditas penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peran penting dalam ekonomi nasional. 

Namun undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi menyatakan bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha migas bukan semata mata berdasarkan kemungkinan industri, namun juga harus berwawasan lingkungan.

Untuk mencapai energi berkelanjutan, sebenarnya pengembangan EBT bukanlah satu-satunya cara. Efisiensi energi justru merupakan cara termurah, tercepat, dan paling ramah terhadap lingkungan. Dari sisi suplai, meningkatan efiensi energi dengan sendirinya mengurangi kebutuhan untuk berinvestasi di sektor energi dan menurunkan intensitas aktivitas ekstraksi. 

Namun upaya efeisennsi energi juga tidak mudah karena inovasi dalam konsumsi energi kurang mendapat perhatian dan investasi yang dibutuhkan dapat menjadi hambatan, baik bagi perusahan maupun rumah tangga. Selain itu, sosialisasi teknologi baru membutuhkan waktu lebih lama daripada jangka waktu perusahaan yang ingin segera memperoleh keuntungan dari produksi teknologi baru.

Efisiensi energi sangat krusial bai Indonesia, mengingat meskipun rasio elektrifikasi masih rendah, indoensia lebih boros ketimbang Malaysia dan Thailand. Kendati demikian, masih terdapat ruang besar bagi Indonesia untuk mengejar penghematan. Peremajaan industri manufaktur domistik yang mengkonsumsi sekitar 50 persen total konsumsi nasional harus dilakukan, mengingat karena rata-rata umur pabrik manufaktur di Indonesia berusia 40 tahun, sehingga cenderung boros energi.

Di sisi lain, ppemerintah juga dapat meningkatkan kapasitas Litbang, pemberlakukan audit energi, pelebalan peralatan rumah tangga, serta peningkatan edukasi (pendidikan) masyarakat terutama di kota-kota kecil dan wilayah terpencil. Edukasi serta peran kultur akhirnya dan sosial juga faktor-faktor yang tidak dapat diabaikan. Pada akhirnya, seluruh pemangku kepentingan di tanah air harus menyadari bahwa kebijakan publik merupakan kunci untuk memastikan bahwa sektor energi berperan positif dalam pembangunan.

Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi Blog #15HariCeritaEnergiterbarukan  dan            konservasi energi yang diselengarakan oleh www.esdm.go.id

Sumber dan bahan bacaan.
Majalah Prisma (Jurnal Pemikiran Sosial Ekonomi) 2016
Takashi Inoguchi, Kota Dan Lingkungan. LP3ES, 2003
Catatan kuliah di Sosiologi Pedesaan IPB Bogor. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author