Ilustrasi, Sumber Foto, www. sisternet.co.id |
Untuk menjadi hebat tidak harus menjadi pioneer di bidangnya.
Kisah Steve Jobs, Bill Gates, Mark Zuckerberg, atau Larry Page bisa kita dijadikan
pelajaran. Seperti apa ceritanya, yuk kita simak kisah kreatif mereka.
Dalam buku berjudul The
Myths of Innovation (2010) karangan Scott Berkun disebutkan, inovasi
melibatkan lebih dari sekedar ide-ide besar. Meminjam kata penemu legendaris
Thomas Alfa Edison, keberhasilan penemuan hannya satu persen berkat ide – bisa juga
bakat. Sisanya atau 99 persen karena kerja keras (keringat).
Kita bisa bekaca pada Apple ddan Google, dua raksasa
teknologi yang sukses mengubah wajah dunia. Baik Steve Jobs, si pendiri Apple
maupun Larry Page, snag pendiri Google, mereka bukanlah pioneer di bidangnya. Namun
karena gigih berinovasi, produk mereka jauh lebih sukses ketimbang
produk-produk sang pioner.
Google, bukanlah mesin pencari informasi pertama. Ada Archie
besutan Alan Emtage sebenarnya yang berhak atas sebutan tersebut. Selain itu,
sebelum Google lahir, di dunia maya sudah bertebaran search engine macam Magellan, Hotbot, Yahoo dan Alta Vista. Namun mereka
masih menampilkan berdasarkan urutan abjad atau memberikan data yang belum
terinci.
Page yakin, jika bisa berinovasi menciptkan sebuah mesin
pencari yang lebih baik, yakni pencarian berdasarkan popularitas sebuah situs
daripada situs yang lain, dia akan sukses besar. Hannya, perjuang yang tidak
mudah. Page yang sedang menyelesaikan program doktornya di Univesitas Stanford
mesti bisa mengumpulkan sejumlah website
di dunia maya yang jumlahnya miliaran ke komputernya. Dosen pembimbingnya
sampai geleng-geleng kepala. Mustahil!
Hingga pada periode 1996, Page mengajak sobat karibanya,
Sergey Brin untuk membuat proyek yang mustahil itu. Setahun kemudian Page
menluncurkan mesin pencari bernama BackRub. Saat itu pula mesin pencari
idaman-idaman Page mulai mencapai titik terang. Hal yang disebut mustahil ternyata
bisa direalisasikan dengan kegigihan.
Namun dia merasa nama tersebut kurang sip. Namun setelah
berhari-hari berdiskusi, baru muncullah nama “Gogola”. Artinya, bilangan 1 diikuti oleh 100 angka nol. Pada malam
harinya, page menuliskannya di papan tulis menjadi “Google”, akhirya nama yang
salah tulis ini yang dipakai.
Page dan Brin lalu menawarkan Google ke Yahoo dan Alta Vista.
Tapi ditolak mentah-mentah. Keduanya hampir putus asa sampai akhirnya bertemu, Andy
Bechtosheim, sang innovator teknologi.
Dengan suntikan dana dari Andy, mereka
kemudian mendrikan Google Inc. Dan apa yang terjadi? Saat ini Google sukses
mengerus Yahoo. Mereka menguasai 80 persen pasar dari nilai aset AS 248 miliar
atau berkisar Rp 2.392 triliun. Wow menarik bukan?
Euforia tablet
Kisah serupa juga berlaku juga dengan komputer tablet. Konsep
tablet modern sebenarnya sudah dikembangkan oelh Alan Kay dan Xerox pada 1968. Nama
produknya Dynabook. Produk-produk lain pun menyusul. Sebut saja Gripad besutan
AST) Personal Data Assistant pada
1990-an), hingga Compaq tablet pada 2000-an. Namun, tidak ada satu pun yang
bisa menguncang dunia.
Sampai pada tahun 2010, Steve Jobs memperkenalkan produknya
yakni, iPad ke publik. Idenya sama dengan tablet-tablet sebelumnya, yakni komputer
yang dioperasikan dengan sentuhan layar. Hannya Jobs menamakan sentuhan inovasi
saja. Yang juga pernah dilakukan ke produk-produk Apple sebelumnya; mendesain
ulang sebuah produk sebelumnya tidak populer menjadi lebih mudah digunakan.
Benar saja. Setelah iPad rilis di pasaran, tren dunia komputer
berubah. Dunia dilanda euforia tablet. Hampir semua pabrik komputer pasti
meluncurkan produk tablet pc. Tidak hannya melahirkan tren teknologi baru, iPad
disebut-sebut telah mengubah gaya hidup masyarakat “Inovasilah yang membedakan
antara pemimpin dan pengikut,” Kata Jobs (Kutipan Buku Biografi Jobs).
Mark Zuckerberg dan Bill Gates setali tiga uang. Baik
facebook maupun Microsoft juga bukan pioner di bidangnya. Tapi merela sukses
menginovasikan ide-ide besarnya yang telah lahir sebelumnya untuk menjadi
sesuatu yang lebih baik. “Kebanyak orang berpikir kesuksesan bisnis adalah
tentang ide, padahal bukan. Bagian yang terberat adalah mengamati apakah ide
tersebut bisa diterapkan,kemudian melakukan persiapan untuk mengekseskusi ide
tersebut,” Mack Cuban Chairman AXS TV.
Konglomerat dari Garasi
Satu benang merah yang kerap dijumpai pada orang-orang
inovatif dan kreatif yang sukses, seperti yang dituis buku The Myths of Innovations, adalah kegigihan dalam merintis usaha
dari nol. Seperti terlihat pada para legenda dunia teknologi komputer yang hampir
semua memulai dari hal kecil, dengan modal pas-pasan.
Tengok saja Mark Zuckerberg membangun facebook dari kamar
bilik asrama waktu kuliah di Harvad University. Steve Jobs dan Steve Wozniak
mengawali Apple dari garasi ayah Jobs. Begitu pula Larry Page dan Sergey Briny
nag membangun Googlle dari garasi milik teman.
Kisah Jobs, misalnya. Ppada tahun 1971, dia masih berumur 16
tahun bertemu Wozniak, 21 tahun. Keduanya sama-sama punya keinginan untuk
mengubah komputer berdesain kotak besar yang hannya dipakai oleh perusahan-perusahan
menjadi lebih kecil, sehingga dapat digunakan oleh orang biasa dirumahnya. Maklum
waktu itu tidak ada perusahan yang melakukan demokratisasi komputer agar dapat
digunakan lebih mudah.
Tapi keduanya terbentur modal. Jobs tidak menyerah. Agar bisa
hemat. Ia mengunakan garasi ayah angkatnya dikawasan Palo Alto, California,
Amerika Serikat. Selain itu, pria keturunan Suriah ini juga rela menjual barang-barang
berharganya, seperti kalkulator dan Mobil VW Combi untuk tambahan modal. Bahkan,
karena dirasa kurang cukup, Jobs sampai memulung barang-barnag bekas.
Perjuangan Jobs tidak sia-sia. Setelah berulang kali
mengalami kegagalan dalam pesakitan, akhirnya dia berhasil menciptakan komputer
rumah pertamanya yakni Apple inc.
Cerita hampir sama juga terjadi pada Page dan
Brin. Saat memutuskan untuk serius membesarkan Google, keduanya kebingungan
mencari tempat berkantor. Idealnya adalah menyewa perkantoran. Sayangnya, uang
di kantong tidak mencukupi. Walhasil, mereka menyewa garasi rumah salah satu
temannya. Pada masa-masa awal berdirinya perusahaan, orentasi Page dan Brin
bukanlah uang. Mereka hannyalah ingin membuat sesuatu produk yang lebih
bermanfaat bagi orang banyak.
Berani gila
Banyak perusahan besar menjadi lengah dan lupa berinovasi. Hal
itu dihindari oleh Google. Meskipun telah Berjaya, Google terus memupuk budaya
inovasi di lingkungannya. Setiap karyawan di perusahan ini dituntut berpikir dan
melakukan hal-hal gila atau tidak biasa. Jika tidak melakukan hal-hal gila,
maka, meraka akan dikatakan melakukan hal-hal salah.
Bagi Page, kepuasan adalah ketika ia dengan timnya bisa
mengembangkan inovasi sepuluh kali lipat dari yang telah mereka kembangkan
sebelumnya. Jadi tak hean jika inovasi menjadi inti dari bisnis Google. Gmail
contohnya, layanan email yang menawarkan kapasitas penyimpanan seratus kali
lebih besar ketimbang kapasitas yang diberikan oleh layanan –layanan email
lainnya.
Seolah tak mau berhenti berinovasi, Google juga melahirkan
layanan penerjemah berbagai bahasa serta melahirkan Google Maps, Google Drive.
Selain itu juga Google menciptakan Android, aplikasi mobile yang kini menguasai
dunia. Temutakhir, Google merilis kacamata pintar yang kini ramai jadi
pembicaraan.
Inovasi yang berkelanjutan juga mesti dikuti dengan
komersialisasi agar kesuksesan juga ikut berlanjut. Bill Gates juga mirip Page.
Pria yang tidak lulus kuliah di Harvad ini terobsesi untuk melakukan inovasi terhadap
terhadap ide-ide yang sebelumnya dianggap gila. Sebagai gambaran Bill Gates
sampai rela membeli catatan ide-ide yang pernah ditulis Leonardo Da Vinci pada
msa lalu. Sepertinya ide-ide Da Vinci tengah digodok Gates agar bisa dilahirkan
kembali menjadi sebuah produk sukses.
Tentu saja proses melakukan inovasi berkelanjutan atas sebuah
ide itulah yang terberat dan yang paling menantang. Ingat, seperti kata Thomas
Alfa Edison, ide hannya berperan satu persen sisanya keringat (kerja keras).
Bogor, 29 Agustus 2017
0 komentar:
Posting Komentar