Seri Sukses Tanpa Gelar Dari Gubuk ke New York (Andrias Harefa)


Sumber: google
Setiap orang dapat menempuh jalan menuju sukses sesuai dengan pilihan keyakinannya sendiri.
Kusnadi lahir di Gubuk, sebuah kecamatan di Purwodadi, Jawa Tengah. Orangtuanya memiliki toko kelontong di dekat Mrapen, yang tak bisa disebut besar. Kecintaannya pada Karate membuatnya tak ingin masuk universitas.
Tamat SMA di Semarang tahun 1979, ia menjadi pelatih Karate di mana-mana. Karate menjadi nafkah hidupnya. Seorang pelatih yang melihat kesungguhan hatinya untuk belajar Karate memberinya nasihat, “Kalau mau jadi Karateka jangan tanggung-tanggung. Belajar di tempat asalnya, Jepang.”
Nasihat itu diterimanya, maka ia pun berangkat ke Tokyo tahun 1983. Cita-citanya cuma satu: menjadi pelatih Karate yang andal dan hidup dari Karate. Apalagi di Jepang pelatih Karate menerima gaji besar. Sebelum berhasil mencapai cita-citanya, untuk

bertahan hidup ia rela menjadi tukang cuci piring di restoran. Lalu jadi pembawa bundel-bundel koran yang dijual di stasiun-stasiun kereta api bawah tanah, karena duitnya lebih banyak.

Pernikahannya dengan Neireida, pelatih Karate asal Amerika di Negeri Sakura itu mengubah haluan hidupnya. “Harga diri saya sebagai laki-laki tidak bisa menerima bahwa gaji saya lebih kecil dari istri,” katanya terus terang. Dan ia mengajak istrinya pulang ke Gubuk, Purwodadi, dengan membawa 60 dolar AS di kantong. Dan, untuk menyenangkan Neireida, ia mengajak sang istri ke Bali. Tanpa maksud yang jelas, ia membeli kain tenun ikat dan batik. Semuanya barang bekas. Ia membuat desain dan menjahitnya menjadi pakaian jadi. Lalu mereka kembali ke Gubuk.

“Kalau kita hidup di New York, saya nggak mau kerja lagi. Sebab kesempatan baik saya di Tokyo hilang. Kamu yang cari makan, saya tinggal di rumah,” demikian tanggapan istrinya ketika diajak ke New York. Kusnadi menyanggupinya. Keteguhan hatinya ke New York setara dengan keteguhan yang membawanya ke Tokyo beberapa tahun sebelumnya.

November 1985, mereka tiba di New York dan untuk sementara tinggal di rumah mertuanya. Ia hidup dengan menjual buku saku dan kaset-kaset bekas di kaki lima. Pakaian desainnya dari tenun ikat dan batik bekas dijual di flea market (pasar kaget) di East Village, depan St. Mark. Jualan pakaiannya ternyata laku. “Pakaian yang modalnya 5 dolar bisa saya jual 15-20 dolar. Hasilnya setelah dipakai untuk kebutuhan sehari-hari, ada sisanya untuk pulang ke Indonesia dan modal 300 dolar AS saya pakai lagi untuk belanja di Bali,” tuturnya dalam sebuah wawancara di Harian Kompas, tahun 1992.

Kusnadi tidak pernah mempersoalkan apakah ia berbakat atau tidak untuk berbisnis. Yang ia tahu bahwa ia punya keyakinan kuat dapat hidup di tempat yang diinginkannya, baik di Tokyo maupun di New York. Yang ia tahu adalah bahwa ia bersedia bekerja keras untuk mencari nafkah. Baik ketika di Tokyo maupun di New York, ia pernah menjadi tukang cuci piring di restoran. “Mau jadi pelayan di New York, bahasa Inggris saya nggak lancar,” akunya. Jadi penguasaan bahasa Inggris bukanlah determinan utama keberhasilannya.

Ia juga mampu beradaptasi dengan belajar dari lingkungannya yang baru. Sewaktu menjadi pencuci piring di New York, ia hanya berjualan pada hari Sabtu dan Minggu. Dan setelah menelusuri jalanan dengan naik bus, subway (kereta api bawah tanah), melihat-lihat kaki-kaki lima, flea market, toko-toko pakaian, department stores di hampir seluruh kota, ia yakin dapat hidup dengan berjualan pakaian saja.

Lalu Kusnadi mulai mengumpulkan modal. Selama sekitar 4 tahun ia menabung hasil mencuci piring di restoran pada hari Senin hingga Jumat, dan Sabtu sampai Minggu ia berjualan es krim  keliling blok-blok di New York. Hasilnya lebih besar. Dua hari jualan es krim ia mendapatkan 600 dolar. Karena itu, ia kemudian bisa kembali belanja kain dan menjahitkan pakaian desainnya di Bali dengan modal 3.000 dolar AS.

Kusnadi juga belajar bahwa untuk orang New York khususnya dan orang Amerika pada umumnya, uang bukan persoalan. “Asal ada kesan alamiah dan motif-motifnya sesuai dengan selera mereka. Warna-warnanya dekat dengan warna tanah. Warna kuning dan hijau tidak disukai. Kalau ini diperhatikan, harga tidak menjadi soal. Pernah juga satu setel pakaian yang saya tawarkan 40 dolar, orang tidak mau beli. Tapi ketika saya naikkan menjadi 200 dolar, malah laku. Terutama karena saya mengatakan bahwa ini adalah satu-satunya yang ada di dunia (one of a kind). Berbisnis di New York juga harus memberikan kesan besar. Karena itu ketika masih tinggal di rumah mertua, bila ada telepon, saya dan Neireida selalu menjawab, “Kusnadi Butik”. Kalau mereka tahu bahwa butiknya Kusnadi itu hanya rumah tinggal, milik mertua lagi, wah bisa hancur saya,” katanya menyimpulkan pelajaran yang diperolehnya dari segmen pasar yang dilayaninya.

Sekalipun Neireida semula mengatakan tak mau bekerja lagi di New York, namun perjalanan menentukan lain. Karena tuntutan pentingnya memahami syarat dan prosedur ekspor-impor ke dan dari Amerika, Neireida kemudian menangani masalah ini. Hal itu semula terpaksa dilakukan karena Kusnadi tak bisa mengurus masalah pakaian jadi dan tenun ikat bekas seberat 70 kg yang ditahan pihak bea cukai Amerika. Mereka berdua harus mengumpulkan ribuan dolar untuk dapat menebusnya. Jadilah mereka mitra bisnis, yang tetap bersama sekalipun memutuskan untuk mengakhiri ikatan perkawinan mereka dan bersiap membina keluarga baru dengan pasangan masing-masing (Kusnadi kemudian menikah dengan seorang gadis asal Indramayu yang pernah tinggal di Bandung). Neireida mengurus soal-soal izin dan hubungan dengan butik-butik yang menjual tenun ikat mereka di Amerika dan Kanada.

Kini Kusnadi memiliki dua butik, di New York dan di Los Angeles. Ia mendistribusikan produknya melalui 1.650 butik di Amerika dan Kanada. Semua proses produksi dilakukannya di Bali lalu di ekspor ke Amerika. Di salah satu butik langganannya di Beverly Hills, tempat para bintang Hollywood, ia bisa menjual sepotong pakaian seharga 6.000 dolar AS. Salah satu topi dari tenun ikat berlabel Kusnadi pernah dipakai Mick Jagger dan kelompoknya dalam suatu pertunjukan di California. Tahun 1991 omzetnya mencapai 1,2 juta dolar dan sekarang mungkin sudah puluhan juta dolar AS. Jumlah yang luar biasa mengingat modal awalnya hanya 60 dolar.

Kusnadi mempekerjakan lebih dari 100 karyawan di Bali, tempat mereka mendesain dan menjahit pakaian. Ia menghabiskan waktu sekitar dua bulan di Bali dan dua bulan berikutnya di Amerika. “Separuh dari yang bekerja di pabrik saya adalah kawan-kawan saya di Gubuk. Saya ajak ke Bali dengan keluarganya. Anak-anak mereka saya sekolahkan dan saya berjanji akan menyekolahkan mereka sampai universitas. Selebihnya dari pelosok-pelosok desa di Bali, yang namanya tidak akan dikenal para turis. Walaupun mereka hanya lulusan SD, namun dalam soal bikinan saya mereka luar biasa. Saya juga punya dua rumah di dua desa terpencil di mana saya membuat batik. Kawan-kawan saya di sana ada 10 orang di tiap rumah,” demikian Kusnadi menuturkan sumberdaya manusia yang dimilikinya.

Ketika ditanya apakah ia merasa sudah berhasil dalam bisnisnya, Kusnadi mengatakan tidak tahu. Ia agaknya masih melakukan perjalanan “ke dalam dirinya” setelah gagal dalam perkawinan yang pertama. Yang jelas keyakinan pokok (belief) Kusnadi bahwa ia dapat hidup di New York dengan menjual baju telah terbukti benar.

Jika Anda adalah “anak kampung” yang “hanya” berijazah SMA, tidak memiliki modal usaha lebih dari 60 dolar  dan tidak fasih berbahasa Inggris, Kusnadi mungkin dapat menjadi tokoh inspiratif. Walau tak harus menjadi Kusnadi yang lain, Anda dapat menempuh jalan menuju keberhasilan sesuai dengan pilihan keyakinan Anda sendiri, bukan? Semoga.

*) Andrias Harefa
Author: 40 Best-selling Books; Speaker-Trainer-Coach: 22 Years Plus
Alamat www.andriasharefa.com – Twitter @ aharefa

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author