Menempuh Jalan (Tuhan)


Photo Ahyar ros "Islamic Centre"
 Islam sebagaimana agama lain, merupakan agama penyebar dakwah, agama yang mengajarkan ke jalan Allah SWT, (Tuhan). Namun dakwah Islam harus dilakukan dengan cara bijak, penuh hikmah dengan pelajaran (al-mau’idah) dan contoh (al-uswah) baik. Seruan berdakwah itu harus dilakukan setiap orang cukup sebagian orang saja. Ajakan menuju jalan Allah SWT merupakan nilai sangat luhur. Suatu ajakan untuk beribadah kepada Allah serta mampu mengaktualisasikan nilai-nilai ilahiah.
Setelah shalat manusia diharapakn iklas, sabar serta berbuat baik kepada manusia dan mahluk lain, tanpa membedakan identitas.
“Serulah kepada jalan-Mu dengan hikamh dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhan-Mu, dialah yang lebih tau tentang siapa yang tersesat di jalan-Nya dan Dialah yang lebih Tahu tentang orang-orang yang mendapat petunjuk (Surah An-Nahl, 16;125). Dikalangan pesantren, ayat ini terkatagori muta’addi; kata kerja (fi’il) yang membutuhkan kata obyek (maf’ul). 

Namun, dalam ayat itu tak disebutkan siapa yang harus diajak ke jalan Allah. Sebagian ulama tafsir menambahkan “manusia” sebagai obyek dalam surat 16;125 tadi. Seruan ini untuk Nabi Muhammad SAW, tetapi berlaku bagi pengikut nabi lainnya.

Begitu pula obyek ayat tersebut. Meski tak disebutkan, diatafsirkan secara umum, yaitu manusia. Lalu, manusia yang belum mengenal atau belum melalui jalan Allah. Bukan manusia yang sudah mengenal, apalagi yang sudah menempuh jalan Allah. Jika demikian, kenapa harus diajak menempuh jalan Allah lagi?. 

Dlam hal ini, penulis berpendapat, pengajian-pengajian di masjid langgar, pengajian akbar, apalagi di TV, bukan termasuk dalam katagori dakwah surah 16;125 itu. Pengajian itu terkatagori pembelajaran ilmu keagamaan (al-ta’lim) bukan (al-da’wah). Dalam Islam, pembelajaran ilmu agama berkedudukan tinggi dan sangat mulia.

Ironisnya, banyak penceramah yang tidak proporsioanl; semestinya memberi pelajaran dan pengetahuan agama, tetapi materi ceramah malah dakwah. Mengajak orang miskin bersabar, tetapi si penceramah kaya raya. Mengajak sederhana, tetapi ia hidup mewah. Ironisnya lagi, bukan ilmu agama atau dakwah yang di sampaikan, tetapi lelucon berbungkus agama. 

Efektifitas penyisipan lelucon bisa diperdebatkan. Ada yang setuju, ada yang menolak. Penulis sebagai yang setuju sebagai metode pembelajaran dan ceramah. Namun, lebih banyak lelucon juga naif. Sebab, pendengar lebih teringat lelucon, bukan inti ilmu agama dari si penceramah.

Fanatisme Buta Agama
Ada pula penceramah yang tidak disisipi lelucon dipenuhi dengan provokasi berbalut dalil agama sehingga para pendengar membenci kelompok lain. Hasilnya bukan pencerahan keagamaan, melainkan sikap fanatisme buta suatu kelompok pada kelompok lain. Selalu merasa benar menyalahkan kelompok lain. 

Padahal, menjadi benar tak harus menyalahkan orang lain. Dakwah bisa berbentuk non ceramah, yaitu dengan tindakan. Organisasi keagamaan di NTB misalnya Nahdlatul Wathan (NW), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah juga memiliki agenda dakwah. Mendirikan lembaga perekonomian, pendidikan rumah sakit, mendukung KPK melawan koruptor, menolak terorisme, termasuk bagian dari dakwah Islam.

Saat ini, hal-hal itu semestinya menjadi proritas dakwah. Ajakan menuju ke jalan Allah juga harus dengan cara bijak, penuh hikamh, serta dengan pelajaran dan contoh yang baik. Tak seharusnya mengajak orang menuju jalan Allah, tetapi yang dilakukan cara-cara yang tidak benar. Semisalnya, mengusir, melukai dan bahkan membunuh mereka yang hendak diajak ke jalan Allah.

Dalam konteks ini, para pegiat ormas yang terkadang kerap memakai cara kekerasan harus mereformasi pola dakwah lama ke metode yang lebih toleran pada kelompok lain. Sebab model dakwah seperti itu terbukti ditolak masyarakat (jamaah) tak hannya masyarakat non-muslim umat Islam juga ikut menolak. 

Hingga dari persfektif ini pula anjuran mengajak ke jalan Allah harus dengan cara yang baik, bijak mengedepankan etika moral agama Islam. Jika tetap meilih cara-cara anarkis, maka semakin kuat pula penolakan itu. Jika santun, menghargai keberagaman (Pluralitas) di NTB, tentukan akan disambut masyarakat. Al-hasil mari kita akhiri kekerasan dalam bentuk apapun, kedepankan musyawarah itu lebih bermakna. Wallahualam bissawab.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author