Marwan Hakim Sedang Memberi Motivasi |
Kita
membuat sejarah atas diri dan lingkungan sekitar kita. Sejarah masa lalu boleh
buruk, tetapi kita tidak boleh meninggalkan sejarah yang sama untuk penerus
kita,” kata Marwan
Marwan merupakan salah satu
dari lomba penerima apreasi PT. Astra
Internasional tbk dan program
satu Indonesia Awards 2013, ia masuk dalam katagori pendidikan. Empat katagori
lainnya kesehatan, lingkungan, teknologi dan wirausaha. Bersama keluarganya,
Marwan hakim di desa Aikperapa, sekitar 15 kilometer arah selatan gunung
Rinjani, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ia mengambarkan bahwa
kemiskinan, pendidikan rendah dan perkawinan dini menjadi gambaran suram
masyarakat di desanya. Infrastruktur yang buruk pun menambah beban. Listrik
misalnya genap setahun dialirkan ke desa itu. “Kondisi demikian menjadikan kami
susah maju. Keterwakilan warga kami di desa saja susah. Kami terasa punya
kapasitas karena tahu wilayah kami terbentur legalitas,” katanya.
Ia menunjukan ijazah
pendidikan formal untuk mengambarkan legalitas. Hingga 2002, hannya ada satu
sekolah di desanya. bahkan waktu itu hannya ada satu sarjana di Aikmel.
Kehidupan sebagai petani pengarap perkebunan dengan akses terbatas seakan tidak
memberikan warga desa berkembang. Lulus sekolah dasar, warga lansung kembali ke
keluarga, menjadi petani dan peladang.
Untuk sekolah di tingkat
SMP dan SMA, mereka harus menempuh jarak 7 kilometer-10 kilometer ke pusat
kecamatan. Mereka yang punya modal tanah luas memilih menjualnya, untuk
kemudian menjadi tenaga kerja di luar negeri. “Kaum tetua berpendapat, tak ada
gunanya warga berpendidikan tinggi. Kaum perempuan lebih apes karena mereka
rata-rata menikah pada usia muda. Banyak dari mereka yang menjadi TKI katanya.
Mengajar Mengaji
Marwan adalah salah satu
anggota Komunitas Kampung Media, dan Ketua Yayasan Pondok Pesantren Riyadul
Falah berdiri 2002. Ia lansung bertindak sebagai uztaz, ia rutin mengajar
mengaji dan memberikan ceramah. Puluhan anak menjadi peserta pada sore hari
dan, malam hari, pemuda–pemudi bergantian merapat ke pondoknya.
Ia terus berpikir keras
untuk merealisasikan cita-cita mendirikan sekolah. Dengan pendidikan, ia yakin
kondisi desanya akan berubah. Marwan terus memelihara mimpinya. Ia menyemangati
anak-anak agar giat belajar di sela-sela mengaji. “Mengaji saja tak cukup,
orang harus sekolah biar pintar. Supaya mereka bisa bekerja lebih baik dan
kehidupannya lebih sejahtera,” ujarnya.
Dua tahun kemudian,
kata-kat penyemagat itu pun terwujud. Pada suatu siang, ada 11 murid mengaji
tiba-tiba datang kepadanya dengan mengenakan baju seragam. “Pak ayo kita
sekolah,” kata Marwan sambil meniru ucapan anak-anak itu. Marwan menghibahkan
60 are (6.000 meter persegi) tanah keluarganya untuk mewujudkan mimpi anak-anak
desanya mendirikan sekolah.
Ia mendirikan madrasah
Tsanawiyah(setingkat SMP) untuk melengkapi satu SD yang sudah ada di desanya.
Ia mengajak sejumlah teman yang berprofesi guru. Tanpa dibayar sepeserpun, dia
meyakinkan mereka untuk ikut mengubah mimpi menjadi kenyataan. “Mereka hanya
saya biayai uang tarsportasi. Bahkan beberapa anak saya jemput dan antar dua
kli sepekan ke rumahnya,” cerita Marwan.
Sambil mengurus izin
pendirian sekolah ke pemerintah setempat, proses belajar-mengajar dilakukan.
Bantuan fisik sekolah dibangun dengan bantuan donator. Anak-anak didiknya tidak
dibebani biaya sekolah hingga dua tahun. Kini setiap anak didik dibebani uang bulanan
Rp 5,000. Iuran tersebut berbentuk uang ataupun barang. Barang yang diberikan
anak didik beragam, mulai dari ayam, batang kayu, hingga panen di kebun.
Sejumlah murid sekolah ini juga mendapat bantuan operasional sekolah dari
pemerintah NTB.
Melanjutkan Pendidikan
Marwan bersyukur menjadi
jalan pembuka harapan perubahan nasib ddan kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Ia mengaku sempat kecewa dengan kondisi keluarganya sendiri. Ia tinggalkan sang
bunda selamanya saat belum beranjak dari SMP. Ia mondok di pesantren Darul
Falah Mataram. Namun, ketiadaan biaya mengharuskannya keluar dari sekolah
menegah itu.
“Senang rasanya melihat
anak-anak di sini bisa bersekolah, lulus dan melanjutkan pendidikan lebih
tggi,” katanya. Sekitar 200 orang sudah lulus dari madrasah Tsanawiyah dari 50
orang lulus Aliyah di Riyadul Falah. Beberapa tahun lalu, Marwan mengikuti ujian
persamaan. Dorongan untuk melanjutkan pendidikan itu datang dari teman-temanya.
Ia kini setara lulus SMA. Namun, yang lebih membuatnya bangga, sejumlah alumni
sekolahnya bisa kuliah di sejumlah universitas di Lombok dan beberapa
kota di pulau Jawa. Ia yakin, mereka akn menjadi agan-angan perubahan di
desanya kelak.
Perjuangan Marwan dan
kawan-kawanya tak berhenti sampai di sini. Mereka terus mengobarkan semangat
belajar hinga ke dusun lain. Salah satunya di dusun Bornong, desa tertinggi di
kaki gunung Rinjani. Lokasinya tepat di pinggir kawasan Taman Nasional Gunung
Rinjani. Masyarakat dusun itu meminta kepada Marwan agar membuka sekolah baru
di dusun tersebut. Kondisi infrastruktur yang baik menyusahkan mereka untuk
bersekolah ke dusun Aikperapa.
Marwan mengungkapkan,
semangat anak Bornong tidak kalah tinggi dari anak-anak di dusunnya, padahal,
mereka belum punya ruang kelas yang dapat dikatakan layak. Al-hasil, kegiatan
belajar mengajar dilakukan di lesehan sebuah rumah yang dipinjam dari warga setempat.
“Lonceng sekolah juga terbuat dari piring kaleng bekas yang sudah
karatan.
Di tengah suasana amat
terbatas itu, semangat perubahan waarga terus menggema,“katanya.
Marwan bertekad memperluas
gaung semangatnya itu.
Hadiah dari Astra akan
dipergunakan untuk mengembangkan sekolah. Setiap melihat mata berbinar-binar
dari anak yang menyalaminya, dia melihat masa depan yang lebih baik. Ia membuat
sejarahnya dan sejarah anak-anak setempat.
Pernah dimuat pada halaman
Kompas Sabtu 2 November 2013.
0 komentar:
Posting Komentar