Kesadaran Memilih Pemimmpin (Baik)

Bagi publik, kesadran tertinggi dalam memilih pemimpin merupakan kemampuan mengenali, mempelajajri, memahami, menyukai dan menyintai. Namun ketika proses normal itu terjadi, maka publik pun cenderung mengunakan ilmu gembling.Tanpa diancam dengan “fatwa haram” dari otoritas agama, publik telah tahu dan sadar; politik gol pout merugikan demokrasi. Namun, apakah para peyelengara negara, otoritas agama, dan parpol juga sadar bahwa jago-jago caleq dan capres mau maju dalam pemilu 2014 ini telah menjadi pilihan

terbaik atau layak sehingga publik tidak harus golpout? Ukuran layak berbasis pada kualitas keperibadian (dimensi etik) dan kualitas kinerja (dimensi etos) yang mencakup kemampuan kecakapan dan keterampilan.

Jika syarat di atas tak terpenuhi, pemilu 2014 tak lebih dari pengulangan pemilu-pemilu sebelum era reformasi, yang hasilnya tak lebih dari tokoh-tokoh salon; sibuk bergincu dan berfarfum tau mau mengenal bau keringat rakyat dan lumpur penderitaanya. Mereka hannya bisa “gemblingan” (berlagak hero) di depan kamera tapi ciut nyalinya dalam memperjuangan aspirasi publik.

Kesadaran memilih diawali dengan pembacaan atas sosok ppemimpin. Di sini, sosok pemimpin dihadirkan sebagai “teks” besar dan terbuka yang dibaca secara kritis. Publik mengkonfirmasi itu menemukan jawaban yang diharapkan, semakin besar kemungkinan publik menjatuhkan pilihan. Ini bsa berlansung pada sosok pemimpin memiliki tabungan nilai kebaikan yang dihasilkan dari kerja bermakna sosial.

Kriteria pemimpin baik pun dirumuskan, misalnya (1) dapat dipercaya, (2) memiliki kemampuan baik intelektual (visioner), teknis atau manajerial, (3) berkomitmen secara sosial /jiwa kerakyatan, dan (4) berintegritas. Ruang ingatan publik cenderung belum kaya atas data-data pemimpin ideal macam itu. Bukan dalam pengertian konsep, melainkan realitas. Publik tidak memiliki refrensi banyak tentang sosok manusia yang layak jadi pemimpin ideal. Mereka hannya mengenal tokoh-tokoh itu lewat media. 

Pengenalan yang berjarak sosial, geografis, dan psikologis ini sejatinya tidak menjadi modal yang memadai untuk menentukan pilihan. Celakanya, dalam relasi tak otentik itu publik itu didorong memilih caleq dan capres. Untuk capres, mereka tau beberapa nama karena popularitasnya. Namun, umumnya mereka tahu persis kinerjanya, kecuali pengetahuan yang sepengal-pengal. 

Misalnya capres-capres tertentu adalah mantan jendaral, politis (ketua partai), dan pengusaha. Hasil kerja sosial mereka bermakna bagi publik umumnya tidak diketahui secara detail. Lebih parah lagi pengetahuan publik terhadap calon-calon anggota DPR, DPRD dan DPD. Mereka lebih banyak tahu dari poster, baliho, selebaran iklan-iklan. Beberapa caleq yang populer, seperti pesohor, memang dikenal karena sering muncul di media massa. Namun, publik tak memiliki pengetahuan yang lengkap atas kinerjanya sebagai politikus. 

Ia bisa dipahami karena para pesohor itu jadi politikus tak melalui sejarah yang panjang tetapi dadakan karena punya uang dan popularitas. Padahal popularitas tidak selalu berbanding lurus dengan kapasitas. Selain dalam pemilu 1955, dimana parpol-parpol secara otentik menjadi wahana perjuangan politik publik, sesungguhnya publik tak mengenal calon-calon pemimpin bangsa secara detail dan otentik. Relitas tokoh yang mereka terima dan kenal adalah realitas bentukan media. 

Pada akhirnya publik cenderung mengunakan ilmu gembling, sambil berdoa pilihannya tidak meleset. Pemilu 2014 pun tak lebih dari ritus politik yang tragis; publik tak lebih dari ententitas kesepian yang selalu ditinggalkan para calon penguasa, setelah “bulan madu” politik selama lima menit pun berlalu.

Seharusnya kenyataan pahit diatas disadari parpol sebagai garda depan demokrasi. Dari parpollah sejatinya segala diawali. Maka, mestinya parpol hadir sebagai lembaga sosial politik budaya yang gigih bekerja mengembleng kader-kader yang kelak maju dalam pileq dan pilpres. 

Benarkah parpol sudah bekerja menyelegarakan pendidikan politik bagi kader ataupun publik? Mereka sudah lama mengidap mentalitas instan sehingga hannya bekerja menjelang pemilu. Mereka mengira dirinya sosok Bandung Bondowoso (tokoh legenda yang mampu membangun candi dalam semalam); seolah bisa disulap dalam proses cepat.




 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author