Berbekal "Mantra" dari Darul Furqon


Sembilan Tahun Kemudian
Aku mengayuh sepeda menuju taman bunga kecil itu. Semuanya terlihat indah pagi itu. Puncak bukit yang ditumbuhi pepohonan yang rimbun, langit biru perkasa bersaput sebingkah awan, dan gemercik air danau yang aku lewati sejak mengayuh sepeda dari pagi hingga siang itu. Pedal sepeda terus berdetak-detak seraya kakiku mengayuh. 

Hujan rintik, mengikuti kisan angin menempa lambaian dedaun pohon cempaka yang menjulang tinggi, bunganya harum semerbak kasturi. Segenap pohon di pinggir jalan aspal aku lewati terus berjatuhan menyambut musim kemarau. Sepeda ontel. Aku hannya tersenyum sendiri. 

Oh Tuhanku engkau memang suka membuat kejutan dengan secara kebetulan. Sembila tahun lalu, aku tidak pernah membayangkan, akan bisa menginjakkan  kaki kampus luas penuh bunga dan megah ini. Sudah puluhan tahun, aku merindukan bisa berada di tempat besar seperti ini. Inikah berkah dan kejutanmu padaku?

Aku terus mengayuh sepeda menuju gedung yang dikelilinggi bunga-bunga dan taman kecilnya. “Yee, aku bisa petik bunga untukmu. Suara kikik anak SMA yang sedang bercumbu ria di taman luas itu. Suasana itu mengingatkanku waktuku, ketika masih menuntut ilmu di pesantren Darul Furqon, NW Mengkuru, Lombok Timur. Rinduku selalu bersemayam pada tempat ini.

Aku menikung tepatnya di sebelag gedung rektorat Andi Hakim Nasoetion (mendiang Rektor IPB). Aku terus mengayuh sepeda untuk menuju ruas taman yang belum aku jelajahi. Aku kembangkan kedua lengan, sambil menghirup udara kembali yang sangat kental mengendap di ingatanku. Bau halaman rumput yang baru dipotong dan aroma bunga cempaka yang berguguran membuat suasana segar.

Aku melihat daun-daun cemara, bunga seroja, pohon durian dan pokok sawit daun mudanya mulai bermunculan. Bahkan, aku melihat seekor Tupai berloncatan dari dahan-dahan pepohonan yang kokoh. Aku berhenti mengayuh sepeda, dan duduk mengambil buku diary di tas ransel. Diary yang selalu menemaniku. Dari dulu, aku selalu senang membuat catatan-catatan kecil, walau pun satu baris.


Ilustrasi, Reuni Darul Furqon
Sepasang tupai berlari saling berkejaran dekat kakiku, lalu menyuruk-yuruk ke bawah tumpukan daun yang gugur. Hidungnya yang ditumbuhi kumis panjang mengendus kesana-sini. Sesekali kedua tupai ini, salin berkejaran di dekat kakiku, sambil melentikkan ekornya yang seperti kemonceng tali rafia. 

Matanya mengawasi tanganku yang memegang roti, iseng-iseng, aku lempar ke salah satu tupai betina. Seekor Tupai jantan menjuju roti  dan menggendolnya ke sarang. Aku bersandar ke dinding pohon kayu yang berada di dekatku. Betapa hikayat hidupku hannya tekad pada sebuah kesabaran semata, dan berdoa pada sebuah keajaiban.

Tanpa itu bagaimana, aku bisa menggarunggi hidup hingga detik ini. Tanpa itu rasanya tidak mungkin, aku bisa berkelana melintas Malaysia, Singapura (TKI), dan kembali ke kampung halamanku (Lombok). 

Satu bulan, setelah pulang dari Malaysia, aku tak pernah memiliki mimpi sama untuk melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi. Pada suatu hari, aku membongkar buku catatan lama yang masih tersimpan rapi. Pada lembaran awal, aku menemukan kata-kata bunyinya begini "Man sara al darby washolah" (Barang siapa yang punya kemauan di atas kemauannya, maka Allah SWT akan memudahkan jalannya), dan masih ada beberapa untaian hikmah, yang hingga sekarang masih tersimpan rapi. 

Setelah aku membaca, kalimat tersebut, aku pun memberanikan diri masuk di IAIN Mataram.  Saat ini, aku berada di Institut Pertanian Bogor (IPB), tempat yang tidak pernah aku rencanakan sebelumnya. Hari ini juga, mimpi itu telah aku catat dalam buku diary –ku. Sebagaimana aku memulai dari catatan lusuh di pesantren waktu dulu.

Jauh sebelumnya, sebelum keluar dari pesantren Darul Furqon, Mengkuru. Niat untuk melanjutkan kuliah menjadi harapanku satu-satunya. Aku hannya dibekali pesan oleh Guru (TGH. Abdul Aziz Ibrahim), yang sampai saat ini menjadi mantra ajaib,  dikala, aku terasa lunglai tak berdaya. Pesan itu seakan menjadi penunjuk jalan terang dalam kebingunganku. Se-ingatku pesan itu berbunyi begini:

Wahai anakku…
Suatu saat, akan tiba masa ketika kalian dihadang badai cobaan dalam hidup. Bisa badai di luar diri kalian. Maka hadapilah dengan tabah dan sabar, dan bersungguh-sungguhlah adalah kunci dari keberhasilan kalian.

Anak-anakku…
Bila badai datang. Hadapi dengan penuh kesabaran. Laut tenang ada untuk dinikmati dan syukuri. Sebaliknya laut badai ada untuk ditaklukkan, bukan untuk ditanggisi. Bukankah karakter pelaut andal ditatah oleh badai yang silih berganti ketika melintas lautan tak bertepi.

Anak-anakku…
Pegang teguh kata-kata ini, kemana pun hendak kalian melangkah, jangan pernah lupa pada rumah di mana kalian pernah dibesarkan. Jika kalian semua telah keluar dari pondok ini, lanjutkanlah ke pendidikan yang lebih tinggi. Doaku selalu untuk kalian, dan bermimpilah wahai anak-anakku. Semoga Allah SWT memberkahi langkah kalian.

Inilah pesan dan sekaligus mantra, ketika hatiku tak menentu arah..
Hidup dan perjalananku selama ini membuat, aku insaf untuk menjinakkan badai hidup dengan pesan, bersabar dan bersunguh-sungguh. Jarak sabar dan bersunguguh-sungguh tidak bersebelahan, namun memiliki jarak. Jarak yang bisa hannya satu sentimeter, tapi juga bisa ribuan kilometer. Atau bahkan jarak ini bisa ditempuh dengan hitungan detik, tapi juga bisa puluhan tahun.

Aku percaya, sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh pangkal sampai ujung yang paling ujung. Sabar yang bisa membuat sesuatu ang tidak mungkin menjadi mungkin, bahkan seakan-akan itu sebuah kejadian dan sebuah keruntungan merupakan buah buah dari kerja keras, doa, sabar yang berlebih-lebih. Sabar itu awalnya terasa pahit, tapi akhirnya lebih manis daripada madu.   

Pesan ini singkat dari pesantren terkesan sederhana, namun bagiku. Pesan ini menjadi bagian dari perjalanaku selama ini, terpatri dalam jejak-jejak hidupku untuk mengapai sebuah mimpi kecilku dari Pondok Pesantren Darul Furqon, Nahdlatul Wathan Mengkuru. Tak terasa hampir sepuluh tahun, aku meninggalkan tempat suci itu, tempat bermula bersemainya mimpi-mimpi itu. 

Dalam pikiran kecilku, suatu saat santrimu ini, akan datang mencium tangan dan menimba barokahmu. Teriring doa, semoga Allah SWT memberikan ayahanda TGH. Abdul Aziz Ibrahim, diberikan keafitan sepanjangan hayat. Untuk guruku. Duduk merenung pada masa lalu memang indah, hingga tak terasa, hari telah menandakkan sore. Wallahullab bisawab. []    

Menjelang Subuh, Bogor, 9 November 2015

2 komentar:

  1. Luar biasa cerita inspiratif...mntap

    BalasHapus
  2. Cerita di zaman persekolahan,begitu indah Dan manis untuk di kenang.bisa duduk dan berkumpul bareng teman2.
    PONDOK PESANTREN DARUL FURQON NW MENGKURU selalu di hati kami.
    Semoga jaya selalu untuk Salamanya.

    BalasHapus

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author