”Perjaanan adalah belajar melihat dunia luar, juga belajar untuk melihat ke dalam diri. Pulang memang adalah jalan yang harus dijalani semua pejalan. Dari Titik Nol kita berangkat, kepada Titik Nol kita kembali.”
– Agustinus Wibowo –
“Cermin, ya. Tak salah jika orang bilang hidup itu adalah sebilah cermin. Dunia di matamu sesungguhnya adalah cerminan dari hatimu sendiri. Caramu memandang dunia adalah caramu memandang diri. Jika dunia penuh kebencian dan musuh ada di mana-mana, sesungguhnya itu adalah produk dari hatimu yang dibalut kebencian.”
– Agustinus Wibowo –
Banyak orang yang berkelana begitu jauh, menyeberangi lautan,
melewati daratan mendaki pegunungan, namun dari semuanya yang mereka lakukan
tidak pernah menemukan makna dari suatu perjalanan. Seakan perjalanan yang
dirasakan hanya terhabiskan dengan sensasi berfoto, makan-makan, yang menjadi
sekedar kumpulan kisah dan deretan foto yang bisa dipamerkan kepada orang
lain.
Dari sinilah timbul pertanyaan sesungguhnya apa yang dicari oleh
para pejalan (Traveller)? Melalui untaian kisah pengalaman perjalanan
seorang lelaki muda bernama Agustinus Wibowo ini kiranya sangat tepat untuk
menjawab pertanyaan tersebut, dengan segala catatan pengalaman yang penuh
dengan teka-teki, hingga menemukan satu demi satu makna dibalik perjalanan yang
selama ini terabaikan.
Bagi seorang Agustinus sesungguhnya setiap pejalan punya tujuannya
sendiri-sendiri. Setiap pejalan punya satu titik yang ingin dicapainya, punya
mimpi yang ingin diraihnya dan punya makna yang ingin ditelusurinya sadar
ataupun tidak.
Dalam bukunya “Titik Nol” Makna Sebuah Perjalanan
adalah sebuah catatan tentang perjalanan panjang seorang lelaki muda bernama
Agustinus Wibowo. Selama 10 tahun Agus meninggalkan Lumajang, dimulai dari
menuntut ilmu di Beijing hingga kemudian menceburkan diri ke negara-negara
eksotis di Asia Tengah.
Dari Titik Nol inilah petualangan Agustinus dimulai. Berawal dari
sebuah mimpi untuk berjalan dari Beijing ke Afrika Selatan. Dari dusun gersang
berdebu di sudut selatan Xinjiang yang dijuluki Kilometer Nol ini, dimana ia
melangkahkan tekad untuk menyeberang ke Tibet, kemudian Nepal, India dan
Pakistan.
Dari sinilah langkah awal perjalanan panjang menembus atap dunia,
melintas barisan gunung dan padang, memuaskan mimpi untuk menemukan berbagai
kisah tersembunyi di ujung dunia.
Di bagian awal buku ini ada kisah perjumpaan Agustinus dengan
orang-orang peziarah Tibet yang begitu tabah merangkak berpuluh-puluh
kilometer, dengan orang-orang Nepal yang begitu tangguh mendaki gunung, dengan
kota-kota yang sudah mulai memoles diri mengikuti arus modernitas dan tentang
Lasha yang mengecewakan karena sudah benar-benar komersil.
Di Titik Nol, langit biru menangkap, lembah-lembah nirwana
menghias ditengah kepungan gunung-gunung yang menjulang bersama barisan bukit
gersang . Tempat ini begitu suci, ketika manusia hanya boleh menatapnya saking
keramatnya. Disinilah Agustinus melakukan perjalanan untuk merasakan kematian
yakni Ziarah Kailash.
Rute yang ditempuh 5.600 meter, dengan merayap bersimpuh pada
lutut. Aku merangkak dalam haru membuncah. Derai air mata membuat Agustinus
menyadari Ziarah menurut orang Tibet adalah perjalanan yang paling suci dan
ekstrem. (Kutipan dari buku Titik Nol).
Kembali ke titik nol, Agustinus melanjutkan mimpinya, Ia menyadari
ditengah kehidupan Mahasiswa yang monoton ini, Ia mempertahankan mimpinya
jangan sampai padam. Mimpi untuk melihat dunia melalui titik puncak everest,
menyaksikan garis kurvanya yang curam, perjuangan antara hidup dan mati, Ia dan
para pendaki menapaki lintasan itu dengan embusan napasa yang terengah-engah
hanya untuk beberapa menit menancapkan bendera dipuncak Himalaya.
Tiba-tiba aku kembali ke titik nol memaknai diri merasa begitu
kecil, ketika berada dipuncak dengan melihat kemegahan Everest dan
Pencipta-Nya. Setelahnya ada cerita tentang India tentang negeri yang
begitu ramai, padat dan tidak teratur serta penuh dengan tipu daya.
Di sini keharuan menyeruak, bagaimana sebuah kota yang baru saja
dihantam gempa ternyata masih berisi orang-orang yang penuh semangat dan tidak
pernah berlama-lama tenggelam dalam kesedihan setelah bencana.
Hingga Agustinus harus terhenti untuk mewujudkan mimpi perjalanan
panjang melintas benua itu. Didapatinya sebuah kabar, ibunda terkena kanker. Ia
akhirnya kembali ke tanah kelahirannya; pulang. Di samping ibunda dia bersujud,
luruh semua cerita perjalanan panjang dan kebanggaannya menaklukkan banya
negara yang keras dan kejam.
Di samping ibunda dia hanya jadi seorang anak yang selalu merasa
belum berbakti, hanya bisa merasa kerdil melihat kekuatan hati seorang wanita
yang sudah membesarkannya dengan keringat dan air mata. Tapi justru di samping
ibundanyalah dia mengerti tentang makna perjalanan yang selama ini
dicarinya. Membaca buku Titik Nol ini seakan membaca skenario sebuah
perjalanan yang jauh lebih dalam.
Tentang perjalanan ke dalam diri sendiri yang direfleksikan dengan
perjalanan panjang ke beberapa negara yang tak lazim. Alur buku ini dikemas
begitu apik seperti kurva; ada ketegangan, ada keharuan, ada kelucuan dan tentu
saja ada perenungan yang dalam. Skenario tentang perjalanan yang benar-benar
penuh makna. Selebihnya banyak kisah yang pantas untuk direnungkan, tentang
makna sebuah perjalanan.
Judul buku : Titik Nol; Makna sebuah Perjalanan
Penulis : Agustinus Wibowo
Penerbit : Gramedia Pustaka
Tahun terbit : 2013
0 komentar:
Posting Komentar