Bersama Awardee LPDP IPB |
Saya termasuk salah satu dari sebagian besar orang yang
selalu berkecil hati, ketika mendengarkan kesempatan terbuka untuk melanjutkan
S2 dalam negeri atau luar negeri. Sejak awal yang terpikirkan adalah dari mana
mendapatkan biaya itu. Bagaimana tidak demkian?, untuk menyelesaikan S1 pun,
saya harus memakan waktu enam tahun. Bekeja sambilan untuk biaya kuliah alas an
utamaku. Saya masih beruntung tidak kena
Droup Out (DO) dari Kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram.
Saya tidak pernah menyangka. Asal iseng-iseng menulis di
sosial media seperti disebuah Portal Kompasiana.com manjur membantuku untuk
menaklukkan para pemberi donator beasiswa S2. Salah satunya Lembaga Dana
Penggelola Pendidikan (LPDP) dan masih banyak lagi beaiswa lainnya. Mungkin
semua diantara kita yang masih percaya dengan sebuah keberuntungan, ia tak
datang begitu saja menyapa, ia ibarat teka-teki yang tiba-tiba datang menyapa
tanpa diundang.
Namun keberuntangan harus disapa dengan kerja keras
(ketekunan) dengan penuh berjuang dan berlelah lelah. Diriku termasuk pribadi
yang tidak punya kemauan keras untuk melanjutkan pendidikan ke S2. Biaya
menjadi alasan pertamaku, jika pun mau pilihannya harus menjual sapi dan
sepetak sawah dikampung.
Satu bulan sebelum wisuda S1, seorang ahabat menyodorkan
informasi beasiswa di negeri Kanguru (Australia). Dengan rasa pesimis, saya
menolak dengan alasan, terkendala bahasa Inggris. Tidak mungkin memenangkan
beasiswa S2 dengan kemampuan bahasa dibawah rata-rata. Pesimis sudah ibarat
menjadi teman akrabku waktu itu, ditambah dengan alas an sudah bekerja
menjadikan alasan kuat tidak melanjutkan S2.
Kondisi ini membuat merasa nyaman, menyelesaikan S1 dan
bekerja . kira –kira itu harapan sebagian sarjana muda. Lagi pun sebagian teman
mendukung untuk bekerja itu lebih menyenangkan. Satu buan menerima gaji
bulanan. Sementara melanjutkan S2 harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Untuk menyelesaikan S2 di dalam negeri, minimal harus menyiapkan puluhan juta
bahkan sampai ratusan juta.
Mahalkan untuk sekelas anak kampung?. Di sela-sela
pekerjaan menyelesaikan menulis buku Kopi Lombok, tiba-tiba saya mendapatkan telpon dari
seorang kawan Muhammad Zainul Yasni (Penerima Beasiswa LPDP) menyarankanku
untuk mencoba mengikuti test beasiswa LPDP. Dengan berat hati, saya mencoba
mengiyakan sarannya.
Karena Kompasiana
Satu persatu saya mulai menyiapkan berkas TOEFL dan
termasuk mengumpulkan arsip-arsip tulisan di Kompasiana (www.kompasiana.com)
yang menjadi pilihan admin dan puluhan tulisan lainnya. Termasuk empat buku
yang telah saya tulis bersama teman-teman Program Unggulan Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB). Tak lupa juga satu persatu judul tulisan tersebut, saya
cantumkan di Curricullum Vitae.
Waktu itu, beasiswa LPDP menjadi para memburu beasiswa
dalam negeri semua anak negeri ini saling berebutan memasukan form lamaran. Salah satu keuntungan beasiswa PDP ini, tidak
mensyaratkan nilai skor TOEFL tinggi, sedangkan dari anak-anak daerah terluar 3T
(terluar, terdepan, terdalam). Di satu sisi, saya merasa diuntungan dengan
kebijakan tersebut.
Rangkaian semua syarat telah saya jalani penuhi semua
sampai pada seleksi ulang berkas dan wawancara. Pada sesi wawacara, arsip
Kompasiana telah saya satukan menajadi satu bundel dalam map. Seperti dugaanku sebelumnya, seorang Profesor
asal Universitas Teknologi Bandung (ITB) menanyakan aktivitas selama kuliah
bahkan sampai bekerja, ia melayangkan perial kompasiana. Saya mengutip kata
Profesor tersebut,
Sang Profesor; Sejak kapan kamu mulai gemar menulis di
Kompasiana dan apa manfaatnya untuk anda?
Ahyar; Sejak menjadi mahasiswa semester tujuh. Pertama,
saya ingin belajar berbagi cerita-cerita sederhana tentang banyak hal mengenai
daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) kedua, saya kutipakan sebuah ayat, Khairunnas Liamfusahum Linnas, (Sebaik-baik
manusia, adalah manusia yang bermanfat bagi orang lain.
Sang Profesor; Bisa anda tunjukan tulisan di Kompasiana?
Ahyar; ya bisa Prof.
Seraya saya letakkan arsip kompasiana di meja sang Profesor. Salah satu
dari tim wawacaraku membaca satu persatu arsip tersebut. “Sangat bagus sekali, saya pun sering membaca
tulisan-tulisan di Kompasiana”. Ucapnya.
Kira-kira begitulah petikan pada saat saya mengikuti
seleksi wawancaraku saat itu. Hingga dipengujung menit wawacara, sang Profesor
menjabat tangan saya dengan aura yang mendatangkan keyakinan. Insyallah saya
diterima.
Singkat cerita, dua minggu setelah seleksi wawancara
itu, tepatnya 5 Agustus 2014, pengumman di website dan inbox email LPDP
menyatakan saya lulus dalam seleksi beasiswa S2. Namaku tercatat sebagai salah
satu penerima beasiswa LPDP dan menyisihkan ratusan pendaftar lainnya.
Jika saya kenang saat itu, sampai saat ini tak henti-hentinya
mengucap rasa syukur. Terima buat tim Kompasiana.com yang telah menyediakan
sebuah portal terbuka bagi anak negeri ini dengan konsep Citizen Jurnalism
(jurnalime warga). Saya sendiri tidak pernah menyangka, jika karena bukan
menulis di Kompasiana.com, keajaiban mendapatkan beasiswa sulitku dapatkan.
Saya hannya anak desa dari pulau kecil Lombok yang tidak
pernah bermimpi seperti anak muda lainnya untuk mendapatkan beasiswa. Saya
percaya keajaiban tak akan mendekati begitu saja, kita harus berani mengetuk
pintu-pintu keajaiban tersebut. Orang yang selalu berharap keajaiban muncul
setika, sementara kaki selalu berat menciptakan keajaiban itu. Keajiban dimulai
dari hal sederhana, bermula dari hal sepele yang sangat dekat dengan kita.
Bogor, 7 Oktober 2015
this's nice story
BalasHapus