Sumber: Google |
After orchard ini sebetulnya nama sebuah kota di
Singapura yang menjadi salah satu destinasi yang laris dikunjungi
oleh para touris yang hendak ber picnic ke Singapura. Bagi banyak Singapura berarti Orchard Road. Adalah surga belanja yang nyaman, hijau, aman, dan tata tertib, sebuah negeri impian tempat rekreasi merdeka, simbol tawa, libur dan hura-hura.
Pertama kali aku mendengar judul buku After orchard dari seorang
seniorku, (Yusuf Tantowi) katanya, buku tersebut terbilang bagus sehingga dalam hatiku, aku harus
bisa membeli buku After Orchard. Hasil sebuah catatan iseng-iseng Margareta Astaman di blognya. Itulah nama penulis buku ini dia merupakan salah
seorang mahsiswa Indonesia yang mendapatkan beasiswa S1 di Nanyang
Tecnological University (NTU) of Singapura.
Saya pikir buku yang cover depannya berwarna putih
dan di tenggahnya mengambarkan After orchard, gambaran tentang After orchard
sebuah kota yang bersih, tertib dan merupakan salah satu diantara kota termewah
di dunia, itu wajah dan cerita yang di ceritakan dalam buku After orchard ini. Yang tidak kalah pentingnya lagi adalah bagaimana buku berukuran kecil ini
bisa memberikan sebuah motivasi sekaligus inspirasi bagi kita akan betapa
berartinya education dan bagaimana menjadi seorang manusia yang di
tuntut agar menjadi manusia yang berperistasi.
Dalam beberapa hal memang menjadikan buku ini sangat
cocok sekali di baca bagi teman-teman yang statusnya masih
pelajar,atau pun mahasiswa, mulai dari gaya berceritanya dengan
mengunakan bahasa yang ringan dan santi mengunakan bahasa keseharian, sehingga
membuat kita membaca menjadi menyenangkan.
Kalau boleh saya pinjam kata-katanya Sumardy, seorang
konsultan mengatakan “ membaca buku ini seperti meminum segelas Margarita enak dinikmati, walau bahasa yang menggunakan bahasa
yang simple tetapi tetap menggigit dengan sentuhan humornya.
Memang menarik dari buku ini adalah si penulis mampu
memberikan gambaran tentang sebuah pengalaman yang di alaminya
selama menempuh kuliah di Nanyang Tehnologi University (NTU) of Singapura. Bagian lebih dari pada isi buku ini juga bagaimana rata-rata
penduduk Singapura. Yang jumlahnya kurang lebih 4,3 juta
jiwa pemerintahnya selalu menuntut mereka untuk menjadi warga negara yang
berperistasi di dalam segala bidang, tradisi dan etos kerja negara
Singapura seakan menjadi kebanyakan isi cerita buku karangan Margareta
Astaman ini.
Seperti misalnya dalam hal tuntutan negara Singapura bagi semua
rakyatnya, diantara contohnya pertama warga
Singapura diberikan beban untuk mejadi orang yang berperistasi dan mengharumkan
universitas seharum-harumya. Perinsipnya yang paling getol adalah kegagalan
bukanlah hal yang bisa di terima, hannya manusia yang bisa gagal, bakat
tidak pernah gagal dan apalah gunanya hidup kalau tanpa berperistasi
dalam hidup.
Kedua pelaksanan hukum di Singapura tanpa mengenal
konpromi sehingga menjadikan Singapura menjadi Negara yang maha tertib
yang kondusif bagi pembangunan, semua orang harus mengukuti prosedur yang sama,
tidak ada untuk salip kanan salib kiri. Dan sayangnya kadang terlupakan
birokrasi di buat manusia bukan robot.
Ketiga dalam hal pendidikan seorang dosen selalu bersikap
konstruktif dalam mencurahkan perhatian terhadap semua mahsiswa, sitem
pendidikam di Singapura memang sangat jelas aturannya yang gagal yang layak
di hukum dengan perlakuan yang mendorong prilaku nekad, namun jika berhasil
akan di berikan penghargaan yang adil dan setinggi-tingginya.
Kehidupan persekolahan Tidak hannya menurunkan ilmu pada
murid-muridnya, tapi budaya tentang pemahaman budaya dan lingkungan
sosial dimana mereka bersekolah. Dan secara perlahan-lahan akan mempelajari,
apa prioritas hidup, apa yang menyenangkan orang lain, apa yang baik dan
apa yang menyeramkan.
Setiap orang diberi kesempatan yang sama bagi setiap
orang yang memamfaatkannya akan di beri reward dan kesempatan untuk berhasil
lebih tinggi lagi dan bagi yang gagal akan dieleminasi dan selamanya tak akan di
beri kesempatan untuk memperbaiki diri. Dan para guru juga sering memberikan
sebuah sistem pendidkan sering menjadi guyonan.
Untuk para muridnya bagi mereka yang ingin melanjutkan
studi dari SMP. Dan jika masuk JC setarap dengan SMU, loe boleh bernapas lega,
jika masuk politehnik setarap dengan DI loe wajib deg-dengan, dan jika
masuk ITE (institute of Technical Education ) setarap dengan keujuruan, loe
mati dan yang paling di tanamkan juga dalam Singapura mereka sering menyebutnya
budaya Gancheong sebuah perasaan takut telat dan ketergesaan
yang mengakar (mereka tidak mau kalah cepat dari teman-teman sekelas untuk
belajar).
Di Singapura memang hannya yang terpintar dari
yang terpintar yang bisa masuk menjadi pegawai Negeri pemerintahan, sejak mereka
di Junior College (setingkat SMU) bakat yang sudah di deteksi mereka yang
gemilang di hadiahkan beasiswa ke luar negeri begitu lulus, tapi memang karena
tuntutan pemerintah Singapura kepada penduduknya terlalu ketat dan setiap
wangra Negara di nilai dari seberapa besar peristasi yang yang ia torehkan
untuk bangsa, sehingga angka bunuh diri terbesar terjadi di Singapura.
Tapi betapa bagusnya pun sebuah tidak luput dari sebuah
kekurangan dan lebihan terutama dalam buku After orchard ini seperti
misalnya dalam alur penceritaanya terlalu lurus artinya dalam buku ini
membutuhkan sebuah penceritaan yang mendramatisir sehingga membuat para membaca
seakan terlarut dengan setiap alur yang di dramatisir tadi.
Perensensi : Ahyarros
Judul : After orchard
Penulis
: Margareta Astaman
Penerbit : Kompas
Tahun Terbit : 2010
Tebal
: 193
Halaman
Buku tersebut saya resensi Tanggal, 12 Jnauari 2011
0 komentar:
Posting Komentar