Saya H. Nurlam, 60 tahun,
petani tembakau dari Lombok Timur. Sejak mulai bertani tembakau pada 1999,
tidak pernah saya bermitra dengan perusahaan. Saya tanam dan saya jual ke pengepul
karena rasanya lebih mudah, tidak merepotkan. Meskipun harganya lebih rendah
dari perusahaan tapi tidak perlu digrade, yang bagus dan yang jelek jadi satu.
Kalau ke perusahaan harganya bisa lebih tinggi tapi itu bagi daun tembakau yang
masuk grade bagus. Dua tahun belakangan ini saya
masuk jadi mitra perusahaan. Tapi saya hitung-hitung dulu, kalau lebih untung
menjual ke luar saya jual keluar. Kalau lebih untung menjual ke perusahaan saya
jual ke perusahaan.
Tidak ada tuntutan dari perusahaan, yang penting pinjaman
modal bisa saya lunasi. Pada 2011 saya jual Rp 35 ribu per kilogram krosok,
tanpa harus digrade. Kalau jual ke perusahaan mungkin tidak bisa dapat
rata-rata sekian per kilogramnya. Pengepul lah yang menjual ke perusahaan, dan
mereka bisa bermain di sana. Itulah tembakau, penuh permainan saat penjualan,
sehingga kita harus pakai logika dalam bertani tembakau.
Tahun 2010 saya rugi 20 juta
dalam 2 hektar, Rp 6 juta minjam di perusahaan. Kalau sewa tanah saya pakai
sistem kontrak tiga tahunan. Saya bayar Rp 37,5 juta per hektar per tiga tahun.
Dengan sistem ini saya merasa lebih enak mengatur karena lebih panjang waktu
berpikir. Kalau misalnya terjadi anjlok pada 2010, saya bisa dapatkan untuk
sewa tanah pada 2011.
Dalam pertanian, yang paling
banyak hasilnya adalah tembakau. Tembakau tidak ada bandingnya.
0 komentar:
Posting Komentar