Membaca, Menulis Tradisi yang Hampir Terlupakan

Ketika kita menengok pada sejarah masa lalu para ulama kita, maka kita dapat memastikan hampir semua ulama trsebut mewariskan ilmu Dan kitabnya. Sangat mungkin mereka mereka terinsiprasi oleh firman Allah SWT dalam surat al-Alaq “iqra’bismirabbikalladzi khalaq, sebuah anjuran untuk kita semua untuk membaca dan menulis. Membaca bisa diistilahkan sebagai suatu perintah dan kewajiban agar manusia senantiasa belajar sepanjang hayatnya. Membaca juga tidak hannya bermaksud menjadikan bacaan itu bermamfaat bagi diri kita sendiri, melainkan menyebarkan, mengembangkan hasil bacaan tersebut sebagai imformasi yang berguna bagi orang lain. Dengan semakin sering kita membaca dan menulis akan semakin berfaedah jika hasil bacaan itu bisa dikemas dalam bentuk  tulisan, sehingga ilmu pengetahuan tetap awet, terjaga dalam masa yang lama dan bisa memberikan mamfaat kepada generasi selanjutnya. 

Slogan “Buku adalah Jendela Dunia” budayakan Membaca Buku, slogan ini tidak lain  maksudnya adalah untuk menumbuhkan minat kita dalam membaca buku dalam bentuk apapun. Bila seseorang ingin maju, maka sangat tepat bila ia mengadopsi budaya membaca dan menulis sebagai kebiasaan dan kebutuhannya. Kebiasaan ini menjadikan seseorang berpengetahuan dan berwawasan. Seperti halnya orang dibeberapa negara maju seperti halnya di Singapura, Malaysia, Jepang, Australia, Eropa dan Amerika tentu saja mereka semua terbiasa hidup dengan budaya membaca dan menulis.

Tokoh nasional seperti Soekarno, Moh Hatta, Gus Dur mereka menjadi orang besar bukan secara kebetulan, tetapi adalah karena mereka mengadopsi budaya membaca dan menulis melalui otodidak, belajar secara mandiri, dan belajar di lembaga pendidikan formal yang berbudaya. Sementara Pramudya Anantatur, Buya Hamka, Haji Agus Salim tidak pernah menempuh pendidikan formal tinggi, namun lewat budaya tulisan secara otodidak telah tumbuh menjadi ilmuwan, budayawan dan tokoh intelektual yang sangat berkualitas.

Bagi para kalangan akademisi kita, membaca dan menulis merupakan ruh, artinya jika seorang mahasiswa tak dapat menampakkan taringnya dalam aktivitas tersebut maka eksistensi dan kontribusinya kurang diakui menulis akan menjadi mudah bagi mereka yang sudah terbiasa menuangkan ide-ide yang berada di pikiran dalam bentuk tulisan, sehingga tidak jarang bagi mereka yang tulisannya bagus akan dimuat dimedia massa baik koran maupun media kampus. Namun sebaliknya akan berbeda bagi mereka yang tidak terbiasa dengan budaya menulis, akan sangat sulit untuk menuangkan idenya dan gagasannya tersebut.
Bahkan ada sebagian dari mahasiswa  dibeberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta yang menganggap bahwa menulis itu hanya sebatas diperlukan saja, seperti membuat tugas, paper dan skripsi. Sehingga menjadikan membaca dan menulis sebagai kebutuhan sesaat, disamping itu juga ada beberapa faktor lain yang masih menginggapi di benak mereka sehingga enggan untuk melakukan aktivitas membaca dan menulis begitu juga pada sebagian dosen menulis bukan lagi dijadikan sebagai budaya untuk meningkat intelektual mereka, melainkan menulis dijadikan sebuah proyek. Hal ini dikarenakan oleh; pertama, masih kuatnya budaya “nerimaan” merasa cukup dengan apa yang telah diterima dari guru atau dosen, sedangkan di luar jam sekolah jarang sekali mencari wacana tambahan baik lewat buku atau media baca lainnya. Ini dikarenakan orientasi yang terkonstruk pada diri siswa rata-rata hanya sebatas sekolah an-sich, sehingga materi bacaan harian mereka hanya terbatas pada materi sekolah saja.

Kedua, belum siap untuk menghadapi arus modernisasi, mereka mengikuti arus modernisasi dari segi fisik saja tanpa diimbangi dengan daya pikir kritis, misalkan yang berhubungan dengan (fashion, life style, materi) yang ujung-ujungnya ialah konsumerisme. Hal ini disadari atau tidak, para siswa maupun mahasiswa dan dosen sekarang ini sebagai aktor intelektual telah kehilangan identitasnya.

Mungkinkah itu bisa tradisikan?
Pertayaan inilah yang paling untuk direnungkan bersama, menjadiakn aktivitas membaca dan menulis sebgai tradisi itu akan berdampak positif bagi kemajuan pikiran kita. Dengan membaca dan menulis sebenarnya dapat membuka dan memberikan wawasan berfikir, merangsang imanjinasi serta menciptakan kreativitas. Menuntun kritis dan objektif dengan berbagai perspektif. Membuat fikiran lebih reflektif, tidak reaktif, sehingga tidak monoton dan stagnan.

Tapi seiring dengan perkembangan zaman, kata-kata itu hampir tak terdengar gaungnya lagi ditelinga kita, entah hilang ditelan waktu, siswa lebih cenderung menghafal dan mempraktekkan budaya yang muncul oleh acara televisi dari pada kebudayaan membaca itu sendiri Sebenarnya ada unsur positif yang disiratkan oleh kebudayaan modern dengan membudayakan membaca, contoh saja tradisi yang telah dicanangkan di Jepang dengan gerakan “20 minutes reading of mother and child”. Yakni membiasakan untuk membaca sehari minimal 20 menit dari ibu dan anak. program ini dicanangkan agar masyarakat Jepang lebih tergugah untuk lebih gemar mencintai buku dan membacanya, menjadikan membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan dan mengasyikan.

Ada pepatah Inggris mengatakan “we first make our habits, then our habits make us” (Sebuah watak akan muncul, bila kita membentuk kebiasaan terlebih dahulu). Artinya, bila kita ingin mempunyai kegemaran membaca buku, maka membaca buku perlu dibiasakan. Nah, yang diperlukan sekarang ini ialah kebiasaan yang dilakukan dalam aktivitas sehari-hari, minimal membaca 20 menit perhari atau bisa lebih mulai dari buku atau bisa berlangganan koran agar menambah pengetahuan, disamping itu juga tumbuhkanlah rasa keingintahuan akan segala sesuatu hal, membangun spirit diri dari dalam maupun luar diri, dalam rangka menumbuhkan dan membangun masyarakat baca (literacy civilized).

Untuk menciptakan budaya membaca dan menulis. Perlu diciptakan pembangunan “paradigma” dalam diri kita masing-masing bahwa membaca dan menulis adalah suatu kebutuhan sehari-hari. dengan konsep tersebut, niscaya spirit akan tergugah. Spirit yang positif dan adanya keinginan untuk merubah diri sejak dini bisa dijadikan senjata dalam melaksanakan aktivitas membaca dan menulis, Sehingga munculnya anggapan tentang membaca dan menulis hanya kebutuhan sesaat bisa dihilangkan dari benak kita,

ditengah-tengah kemajuan teknologi informasi saat ini, sangat ironis jika kita hanya diam terpaku dan tak menghasilkan karya apapun. Kita seharusnya merasa kagum terhadap Tan Malaka seorang penulis yang dapat menorehkan pena walaupun dalam penjara sekalipun beliau dapat menelurkan gagasan-gagasan yang berjudul “dari penjara ke penjara”. Nah, Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita membaca dan menulis hari ini? Tinggal kita renungkan bersama. Wallahu a’llam bisswab...
Ahyar Rosidi Mantan Sekertaris LPM Ro’yuna IAIN Mataram, Himmah NW
Juma’at, 8 Maret 2012



0 komentar:

Posting Komentar

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author