Potret mahasiswa saat ini sepertinya
menarik ulur emosi kita. Di tahun 2011 tak luput dari ingatan, kita sempat
dibuat geram dan terpegun dengan beberapa kasus yang dilakukan oleh mahasiswa
kita selama ini. Dengan tertembaknya Arif Rahman (18), salah seorang aktivis mahasiswa perguruan tinggi
Swasta di Kabupaten Bima, dibuat kita pilu lagi di tambah dengan aksi yang
dibuat Sondang Hutagalungan, mahasiswa hukum Universitas Bungkarno di tahun
yang sudah berlalu.
Aksi Sondang yang membakar diri di depan istana negara. Aksi
ekstrem ini berakhir dengan kematian itu adalah
bagian usahanya membela hak rakyat yang dirampas oleh negara. Sebagian
polisi bersih kukuh mengaakan bahwa aksi yang dilakukan itu adalah bentuk ketidakwarasan
Sondang. Namun hal itu dibantah oleh teman-teman dalam Himpunan aksi mahasiswa
Marhaenisme untuk rakyat Indonesia. Sondang adalah anak yang sehat lahir dan
bathin, ia idealis dan gencar membela hak rakyat dengan aksi-aksi kreatifnya,
cerita yang berbeda terjadi pada Arif Rahman, ketika ia sedang melakukan deme
penuntutan hak-hak rakyat ia harus melayang nyawa.
Dari segi gerakan muncul
pertayaan, mengapa kali ini Sondang mengambil aksi yang sangat ekstrem.
Mengutip bahasanya David Emile Durkheim salah satu pencetus sosiologi modern
mengatakan bahwa bunuh diri merupakan gerakan keberutalan yang terjadi akibat
perubahan sosial masyarakat yang begitu cepat. Itulah yang memunculkan segala
bentuk prilaku penyimpangan, dan yang
palingol adalah menonjol adalah bunuh diri.
Artinya, aksi itu terjadi
karena kekosongan gerakan pada
mahasiswa, sementara diaksi yang berada belum bisa mengerakan para
penguasa dengan cara apapun selain dengan melakukan hal itu. Maka iapun tampil
denga cara yang berbeda agar di tanggapi oleh penguasa.
Teladan
gerakan
Bukan hal yang baru bahwa
bentrokan antara mahasiswa pada ajang demontrasi terjadi karena perbedan
identitas latar belakang organisasi, yang satu mmengklaim basis gerakannya paling
benar, yang lainpun demikian. Lalu muncullah kecurigaan yang berujung pada
anarkisme. Wacana pluralisme dan multikulturalisme belum cukup untuk menjalin toleransi
antar organisasi mahasiswa. Masih dibutuhkan waktu untuk melahirkan gerakan
kolektif antara gerakan yang tidak memperdulikan latar belakang organisasi dan lebih
megutamakan nilai-nilai nasionalisme.
Maka, teladan yang bisa
kita ambil dari Sondang mengakhiri aksi dengan seorang diri dan merapatkan
barisan untuk menyonsong masa depan. Aksi itu kita pikir bukan hannya tamparan
pada pemerintah untuk segera menyelesaikan persoalan HAM, tapi juga tamparan
moral bagi mahasiswa untuk segera bangkit dan bergegas menegakkan perannya
sebagai agen perbubahan dan kontrol (agen of change dan agen of control) yang
selama ini dirobohkan sendiri oleh mahasiswa sendiri.
Mahasiswa yang terjebak
pada politik praktis di kampus harus segera mengevaluasi diri dari keluar dari
jebakan itu. Mereka lelap dengan menara gading ilmu harus bangun dan membantu
mereka termarjinalkan. Point penting dari Sondang dan Arif adalah makna
pengorbanan bagi kepentingan publik dan tidak pernah lelah berjuang demi suatu
keadilan. Mahasiswa yang haus kebenaran
seharusnya tidak tertarik dan tidak memiliki kepentingan terhadap popularitas
uang, serta kekuasaan tertentu.
Harapan
masa depan
Apa pun alasannya, tumpuan
masa depan tetap pada tetap pada generasi muda, termasuk mahasiswa. Memang
mahasiswa menjadi komunitas yang berbeda karena mereka berada pada jenjang
pendidikan yang lebih tinggi dari rata-rata masyarakat, akan tetapi mahasiswa
harus tetap berani berkorban karena makin sulit mencari kaum tua yang begitu
peduli dengan negeri ini.
Adalah pekerjan melelahkan dalam
memilah kaum tua yang benar-benar berdedikasi untuk bangsa ini di tengah
kebiasaan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu, mahasiswa
menjadi harapan akan masa depan baru yang lebih bersih dan berani berkata tidak
pada praktik kotor bangsa ini. Tumpuan utamanya adalah mahasiswa. Artinaya
mahasiswa harus mengakhiri kevakuman gerakan, parsialiasi gerakan, apatisme,
apalagi hedonisme.
Gaya
hidup
Gaya hidup juga menjadi
penyebab tumpulnya gerakan mahasiswa. Kehidupan mahasiswa yang dikelilinggi
budaya kosumtif dan perkembangan teknologi bisa menggurangi perhatian mereka pada
rakyat yang dilanggar hak-haknya. Waktu luang mahasiswa bisa tersedot hannya
untuk bersolek dan konsumsi.
Mahasiswa terjebak pada dramaturgi
pameran seperti dikatakan David Chaney dalam bukunya, lifestyle (1996). Mereka
seakan-akan bertindak diatas panggung teaterikal dan yang kemudian diritualkan.
Apapun kondisinya, lingkungan seakan menuntut mereka untuk selalu tampil modis
dan menarik. Mahasiswa salah satu menjadi penikmat produk-produk kapitalis
meskipun mereka tak jarang melakukan kritik terhadap kapitalisme.
Maka, sudah saatnya
mahasiswa menjadikan momen kejadian dari Sondang yang telah berlalu itu sebagai
ajang refleksi dan, kalau perlu merekontruksi visi dan misi gerakan secara
nasional dengan mendasarkan pada nilai–nilai kolektifitas serta dedikasi.
Mahasiswa perlu membuang jauh gaya hidup yang cenderung individual dan bermuara
pada kesenangan sementara, hedonisme, apatisme, dramaturgisme yang sejenis
dengan itu.
Mahasiswa perlu segera
beranjak dari dari tempat tidurnya yang empuk, beranjaklah, bergeraklah untuk
lebih maju untuk mengendalikan kondisi bangsa kita yang tengah oleng terombang
ambing badai moral. Wallahu a’alam bisawab…
Ahyar Rosidi Mantan
Sekertaris LPM Ro’yuna IAIN Mataram 2008-2009. Sekarang Mahasiswa Fakultas
Syari’ah, aktif di HIMMAH NW dan Lembaga Studi Kemanusiaan (Lensa NTB).
0 komentar:
Posting Komentar