Tradisi Ngejot, Ajakan Bermurah hati dari Lombok

Tradisi Ngejot, Lenenk Lotim (Foto Ahyar ros)

Lombok tak hannya dikenal dengan sebutan sekeping pulau Surga tersembunyi dari timur, namun sangat kondang dengan sebutan ribuan masjidnya. Sejauh kaki melangkah jalan raya di Lombok, beraneka urnamen dan artisitektur masjid akan kita jumpai.  



Tak heran jika, banyak peneliti dan wisatawan asing menyebutnya dengan julukkan, "Bumi Seribu Masjid".  Dibalik bilangan 3.500 bangunan masjid itu, Pulau Lombok kaya akan kearifan lokal, yang hingga kini tak lekang oleh zaman. Moderitas lantas tak melenturkan khazanah tesebut. Seperti apakah warga Lenek, Aikmel menjaga kelestarian budaya Ngejot di Lombok?    

Ratusan warga jalan beriringan, sebagian besar adalah ibu rumah tangga, remaja dan anak-anak, berkumpul di lapangan Dusun Karang Tojang, Desa Lenek Pesiraman, Kabupaten Lombok Timur. Sekitar 55 kilometer arah timur Kota Mataram, NTB. 

Menjelang azan magrib berkumandang, mereka mengikuti ritual Ngejot (bertandang), yang dalam tradisi suku Sasak ini adalah mengantarkan santapan berbuka puasa yang dilaksanakan menjelang akhir lebaran Idul Fitri di Lombok. Menebar kebaikan, saling menghormati, dan berkakti pada orangtua, pemimpin adalah makna tersirat dari tradisi Ngejot ini.

Satu tahun lalu, tepatnya di Dusun Karang Tojang, Lombok Timur. Saya bersama seorang sahabat jurnalis Lombok Post, Fathul, berdiri dilapangan Dusun Karang Tojang, sore itu, langit terlihat cerah. Acara hampir dimulai, ratusan warga berkumpul dilapangan, disebuah area khsusus, petak yang diberi pembatas dengan tali dilengkapi tikar leso (tikar terbuat dari pandan), sebagai alas duduk mangku adat, kepala desa, dan penghulu. 

Menurut cerita dari Syarifuddin (41) pria asal Lenek, tradisi Ngejot telah dilakukan oleh para orang tua dan nenek moyang di desa-nya sejak dahulu. Ngojet ini terus dirawat, hingga kini, agar silaturahmi dan ajaran kedamaian yang telah dibangun orang tua terdahulu terjaga dengan baik”.  Cerita pria yang akrab disapa Gayep ini pada saya.  

Sebelum memasuki area ini, setelah berwudhu, beberapa pemuda membawa abah-abah (santapan berbuka puasa), yang disimpan didalam dulang (wadah), berjalan mengitari area khusus itu sebanyak tujuh kali. Kepala desa yang menerima abah-abah menyampaikan kata sambutan, dan (ijab Kabul). Penghulu memimpin pembacaan doa. Kepala Desa juga menyerahkan beras, gula pasir, buah dan pangan lokal Lombok lainnya pada warga.

Prosesi adat selesai, warga pun dengan membawa dulang (wadah) di kepala berjalan beriringan pulang. Barang bawaan itu diserahkan kepada orang tua, kakak, adik dan kerabat terdekat di lingkungannya.

Tanda bakti seorang anak
Tradisi Ngejot ini biasanya di gelar di Gubuk Jero. Ini adalah tempat yang masih dianggap sakral di desa itu. Pada sebuah pepaosan (bale-bale adat), tempat tokoh desa adat setempat duduk selama ritual berlansung. Dalam satu dekade terakhir ini ada rangkaian yang berubah dari acara itu karena sempat, yang biasa digunakan relatif sempit. Selain itu makanan hantaran diberikan pada keluarga terdekat, kepada tokoh agama, tokoh adat dan pemerintah di lingkungannya.


Ratusan perempuan beriringan menuju tradisi Ngejot (Foto Ahyar ros)

Rangkaian yang berubah itulah, yang ingin dirajut kembali agar hubungan harmoni masyarakat dengan tokoh di desa terjalin dan terjaga dengan baik. Ngejot di maknai sebagai rasa syukur warga (manusia) pada Allah SWT yang telah memberikan kehidupan. Ini dilambangkan dengan mengitari pepaosan sebanyak tujuh kali. Ini sebagai simbolisasi bumi dan langit yang terdiri atas tujuh lapis.

Spirit Persaudaraan
Dalam tata pemerintahan, Ngejot sebagai wujud nyata saling ketergantungan dan kontrak politik antara pemerintah dan rakyat untuk saling asuh dan asah. Dari aspek sosial, Ngejot bisa pula dimaknai sebagai manifestasi dari hubungan antar strata sosial, yang bermakna tidak ada sekat kaya dan miskin, karena yang berada pun menerima makanan dari keluarganya yang miskin. Semua melebur, menyatu dan merajut kebersamaan akan keberhasilan menyelesaikan panggilan rukun Islam ke tiga itu. 

Ngejot juga digambarkan bakti pada orang tua, penghormatan adik ke kakak, menjalin hubungan silaturahmi, kerukunan dan kedamaian. Nilai-nilai itu pula yang tersurat dan tersirat selama Bulan Suci Ramadhan, seperti berjuang melawan hawa nafsu, yang dalam kehidupan komunal etnis Sasak (suku asli Lombok) antara lain di wujudkan dalam bentuk saling laik dan ayo (bertandang atau silaturahmi), saling sapa, dan salin tandak antara sesama (memberi).

Dengan spirit persaudaraan itu, menjelang tiba waktu berbuka puasa kaum ibu dan remaja putri dengan membawa dulang (wadah) piring bersusun berisi lauk pauk disangga di kepala, mengitari gang perkampungan mengantar hidangan pada handai taulannya (tetangganya) dan kerabat lainnya. 

Dalam setiap Ramadhan tradisi Ngejot dijadikan sebagai momentum warga Lenek, Lombok merekatkan hubungan yang telah terputus, dan terkoyak, sehingga Ngejot sebagai wadah merekatkan kembali ajakan untuk merawat semai kedamaian itu sendiri.

Usai acara Ngejot berlansung, saya berdialog dengan seorang warga Lenek. Dari obrolan bersamanya, saya menemukan alasan yang cukup menghentak, Ngejot adalah cara sederhana mereka saling mendoakan dan berbakti ke orang tua, dan pemimpin (tokoh agama, adat) mereka. Nilai keikhlasan, ketulusan, serta merawat tradisi sesuatu yang tak ternilai dengan materi. 

Saya menyaksikan bahwa cinta pada sesama adalah nilai-nilai universal yang kemudian menjaga hati semua orang untuk selalu bertaut. Saya menyaksikan bahwa kasih sayang antar sesama adalah jantung dari sehatnya hubungan antar sesama manusia. Ketika anggota masyarakat saling menyayangi, mereka akan menjadi kesatuan yang utuh. Mereka saling membantu, saling memperhatikan, demi menjaga satu sama lain.  

Merayakan Ngejot adalah contoh baik tempat kita belajar bermurah hati, merawat kebaikan dan kedamaian antar sesama warga demi terjaganya keharmonisan antar sesama. Bukankah berbuat baik itu cukup mudah? Aku beruntung Ramadhan itu ikut menyaksikan prosesi Ngejot. Jika ditanya tahun Ramadhan ini mau ikut, itu jangan ditanya. Insyallah saya ikut lagi.


“Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba Blog #RamadhanDiLombok 2017 yang selenggarakan oleh Republika dan Pemerintah Nusa Tenggara Barat”

   


0 komentar:

Posting Komentar

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author