“Orang boleh pandai setinggi
langit, tapi selama ia tidak menulis ia akan hilang didalam masyarakat dan dari
sejarah” (Pramoedya Ananta Toer).
Menulis adalah profesi yang tidak pernah kenal kata
pensiun. Setua apa pun seseorang, asalkan bisa membaca dan menulis, tetap bisa
menjadi penulis. Menulis artikel atau opini menjadi pilihan yang menjanjikan
dimasa akan datang. Perlu diingat bahwa di Indonesia saja, ada ratusan surat
kabar, seperti majalah, media online, dan penerbitan buku yang terbit setiap
harinya. Bukankah ini adalah peluang emas bagi para penulis, untuk menorehkan
gagasan cerdasnya dan berbagi pikiran dengan khalayak. Ada manfaat yang kita
dapatkan dari hannya sekedar membudayakan tradisi menulis (opini) dan artikel
di surat kabar atau sosial media.
Pertama,
gagasan kita bisa dibaca banyak orang, sehingga mampu mempengaruhi dan
mencerahkan publik. Dalam bahasa agamanya, melalui menulis, kita sudah
menanamkan investasi amal saleh berupa penyebaran ilmu pengetahuan bermanfaat
bagi orang lain. Kedua, melalui
tulisan atau opini yang dimuat di media cetak dan elektronik, kita mengalami
kepuasaan bathin dan kepuasaan intelektual. Itulah kenapa menulis menjadi
sangat penting untuk ditradisikan dalam budaya kita, dan alasan inilah yang
membuat saya untuk terus ingin belajar mengasah keterampilan menulis.
Dalam rentan perjalanan hidup saya. Membaca surat
kabar sudah menjadi bagian kesadaran diri yang tak terpisahkan dari keberadaan
hidup saya. Persoalannya cukup sederhana, hidup saya sangat bergantung pada
keberadaan informasi surat kabar dan boleh dikatakan, saya berhutang budi pada
koran. Koran adalah “Qur’an kedua” bagi saya. Dari koran, saya belajar menjadi
pembaca yang baik dan dari pembaca pemula, saya belajar keterampilan menulis
artikel dan opini media koran lokal di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Tulisan yang telah dimuat dikolom opini media lokal (Suara NTB, Lombok Post)
membuat saya merasa senang. Rasa puas secara bathiniah terbukti dari rasa
senang yang luar biasa, setelah mengaktualisasikan pikiran melalui tulisan yang
mampu dimuat di surat kabar, sehingga dapat dibaca publik. Mengharapkan honor, bukan
menjadi alasan utama menulis, karena menulis di media lokal waktu itu, tidak
menyediakan honor bagi penulis. Apalagi penulis pemula, tulisan yang dimuat pun
sudah merasa senang (kepuasan bathin). Adalah satu kebanggan hati apa bila ada
seorang penulis baru pertama kali menghasilkan artikel yang dimuat di sebuah
surat kabar.
Saat ini, saya bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lembaga Studi Kemanusiaan
(Lensa). Sebuah lembaga lokal yang konsen melakukan pemantauan terhadap isu kebebasan
beragama di NTB. Isu kemanusiaan, perdamaian, dan advokasi kelompok minoritas (kelompok
Ahmadiyah, dan Syi’ah menjadi konsen lembaga ini). Selain itu, saya menjadi
volunteer di lembaga lokal, tapi isunya masih berkaitan dengan isu kemanusiaan
(LBH APIK, Akapela).
Di lembaga inilah, saya dilibatkan sebagai penangungjawab
media, menulis artikel dan update berita terkini. Namun kemampuan menulis saya
dalam menyajikan artikel dan opini yang berkaitan dengan isu kemanusiaan dan
perdamaian masih belum memadai. Saya masih kesulitan dalam mengemas ide dan menentukan
angle (sudut pandang), kalimat
efektif yang tepat untuk dijadikan artikel dan opini. Ini juga menjadi alasan
utama saya mengikuti beasiswa pelatihan menulis Tempo Institute 2017.
Jika saya
diberikan kesempatan mendapatkan beasiswa klinik menulis opini Tempo Institute.
Komitmen saya adalah menulis artikel dan opini untuk isu perdamaian, dan kemanusiaan.
Merawat keberagaman itu harus disuarakan lewat tulisan kalimat efektif. Yang juga
penting, pengunaan gaya bahasa yang menarik dan tangkas, tidak membingungkan
pembaca.
Sejak kecil, saya menempuh pendidikan di Pondok
Pesantren Darul Furqon, Nahdlatul Wathan (NW), Mengkuru, Lombok Timur, NTB.
Pada 2008, saya melanjutkan pendidikan S1 di fakultas Syari’ah (hukum Islam), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Mataram.
Di IAIN, saya pernah aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Royu’na, Jaringan
Islam Kampus (Jarik), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). LPM Royu’na, Jaringan
Islam kampus, memberikan pengalaman tersendiri dalam pengembangan pengetahuan, dan
mengasah skill menulis dari pertemanan
antar aktivis mahasiswa, hingga saat ini saya bekerja dan bergelut dengan isu
kemanusiaan dan perdamaian.
Motivasi
dan komitmen
Ini motivasi dan komitmen saya kenapa mengikuti
program beasiswa pelatihan menulis opini Tempo Institute 2017.
Pertama, saya niatkan beasiswa pelatihan menulis opini Tempo Institute 2017 ini untuk memperkuat skill dan tehnik menulis opini yang baik. Usai pelatihan
saya hajatkan untuk berbagi dengan jaringan pesantren, pemuda lintas agama, dan
komunitas peduli perdamaian (Lombok). Lebih penting lagi adalah dari skiil menulis opini akan saya jadikan
sebagai alat dalam mengkampanyekan idu kebaragaman (pluralisme), kemanusiaan, dan perdamaian dilingkungan pesantren di
NTB, dan umumnya Indonesia.
Kedua, saya tertarik mengikuti pelatihan
menulis opini Tempo Institute 2017 agar mendapatkan bimbinan lansung dari
redaktur opini Tempo. Bagaimana tehnik menulis, menentukan batas tulisan, riset
bahan tulisan, membangun perspektif dan argumen dalam menulis opini dan tips
lolos ke meja redaksi menjadi sesuatu yang sangat berguna. Menjadi peserta aktif,
berpartispasi dalam diskusi antar peserta dan aktif selama pelatihan mendapat
bimbingan dari mentor pelatihan menulis Tempo Institute 2017.
Ketiga, sebagai alumnus pondok pesantren yang tinggal di
kampung. Saya niatkan ilmu dan pengalaman yang saya dapatkan di program
pelatihan menulis opini Tempo 2017, sebagai upaya untuk menangkal kelompok
gerakan Islam radikal. Menulis opini dan artikel menjadi alternatif yang sangat
efektif. Mengadakan diskusi dan praktik lansung menulis opini pada santri di
pesantren adalah pintu masuk untuk memperkenalkan isu kemanusiaan, perdamaian,
dan pembelaan hak-hak kelompok minoritas di Indonesia. Jika saya diberikan
kesempatan mendapatkan beasiswa pelatihan menulis opini Tempo 2017, saya akan
mengajarkan pengalaman dan skill
tersebut di komunitas pemuda lintas agama, pondok pesantren Nahdlatul Wathan
(NW), dan komunitas mahasiswa di NTB.
Terakhir, untuk mengikuti pelatihan menulis opini Tempo
Institute 2017, saya memiliki kesulitan dalam pembiayaan kontribusi pelatihan
sejumlah Rp 3. 500.000. Kalau transportasi dari Lombok – Jakarta (menuju lokasi
pelatihan yang telah ditentukan Tempo Institute), dan kebutuhan selama tinggal
di Jakarta, saya akan membiayai sendiri. Tentunya, program
menulis opin ini, akan sangat membantu saya dalam mengemas opini dengan kalimat
efektif,, hingga menjadi perhatian publik. Sebagai komitmen awal menjaga
ke-utuhan dan kemajmukan Indonesia.
Isu keberagaman, perdamaian, kemanusiaan,
dan keadilan menjadi isu paling penting untuk senantiasa dijaga dalam bingkai kebinekaan
Indonesia yang majmuk. Selesai mengikuti pelatihan menulis opini Tempo 2017. Pengalaman
dan ilmu yang didapatkan selama mengikuti pelatihan menulis opini Tempo
Institute ini. Adalah menjadi keharusan bagi saya untuk berbagi praktik menulis
pada komunitas Pemuda Lintas Agama (Akapela), Pemuda Nahdlatul Wathan, teman-teman
pesantren, Lembaga Studi kemanusiaan (Lensa), LBH APIK, dan Pondok Pesantren
Darul Furqon, NW Mengkuru dan khususnya untuk komunitas-komunitas NTB.
Bogor 7 Januauri 2017
0 komentar:
Posting Komentar