Pertama-tama yang menarik dari buku ini, terutama bukan pada isi tulisannya, tapi sosok sang penulis Tuan Guru Hasanain--dari beberap kalangan saya dengar ia lebih suka disapa Hasanain saja- boleh jadi sosok Tuan Guru yang keluar dari mainstream umumnya para Tuan Guru di pulau Lombok. Pergaulannya melintas sekat pesantren. Namun familiar di kalangan aktivis gerakan sosial, pegiat lingkungan, hingga para pencinta buku. Ia juga aktif memanfaatkan betul teknologi internet untuk menyampaikan pikiran, ide dan kegundahannya.
Satu
lagi, Hasanain tidak tergoda bermain politik praktis, di saat cukup banyak Tuan
Guru terjun ke kancah politik. Bukan berarti Hasanain apolitis (anti politik), tetapi ia mengambil pilihan mengambil
jarak denga kekuasaan dengan sejumlah pertimbangan yang matang, sekalian hampir
besar aktivitasnya terbentang luas dan beragam, dan bersentuhan lansung dengan
kaum politisi dan para pengambil kebijakan. Dengan latar seperti ini, kita bisa
memahami dengan agak longar, mengapa Hasanain, seperti sosok yang terus-menerus
gundah dengan keadaan.
Ia
banyak melontarkan pikiran-pikiran yang menyentak kesadaran. Ia pun cukup kreatif
menawarkan sejumlah jalan keluar. Dengan kata lain, Hasanain adalah adalah
pengamat yang terlibat. Ia bergulat dalam kancah sekaligus pikiran dan
lapangan. Pada kedua kancah ini, ia intens bergulat untuk terus-menerus
melahirkan pikiran dan karya-karya nyata. Hasilnya, semua kita tahu, Hasanain bukan “jago kandang”. Prestasinya
tidak main-main. Ia adalah Fellow Ashoka
Internasional, sebuah nirlaba besar dari negeri paman Sam.
Ia adalah peraih
penghargaan bergensi Syafi’i Ma’arif award (2008) dari Buya Syafi’i Ma’arif tokoh
senior Muhammadiyah. Ia juga dinobatkan
sebagai peraih Magsaysay Award dari
Filipina (2011). Yang terbaru, Hasanain dinobatkan sebagai Tokoh Perubahan
Indonesia 2015 dari Harian Republika.
Buku
ini berisi tak kurang dari 80 tulisan ringan, bisa kita sebut catatan lepas
yang, Hasanain tulis dengan rentang waktu lima tahun terakhir ini. Dari puluhan
tulisan lepas ini, kita bisa mencermati penulisanya punya minat yang besar atas
banyak hal. Dari soal sampah, hingga budaya China. Dari fenomena Air Asia
sampai gagasan pesantren lansia. Menariknya sejauh mana pun “pengembaraan” ide
dan gagasannya Hasanain selalu kembali mempertautkannya dengan kondisi kekinian
kita di NTB.
Hasanain
memang mencintai NTB dengan segenap perasaanya. Ia mencintai NTB dengan segala
persoalan didalamnya. Bagi Hasanain –dan itu tercermin jelas dalam bukunya
ini-NTB tidak punya alasan untuk tidak bisa maju. NTB tidak bisa berdalih ini
itu soal segala macam keterbelakangan saat ini. Hasain menyirami kita dengan
guyuran optimisme. Ia tak mau kita berkeluh kesah terlalu banyak, apalagi
menghabiskan energi untuk saling menyalahkan.
Baginya
optimisme adalah satu utama syarat untuk melangkah lebih pasti dan lebih cepat
membenahi apa yang harus dibenahi di rumah besar NTB kita. Benang merah merawat
optimisme memang kuat menyebut pada hampir keseluruhan tulisan Hasanain. Ia agaknya
sadar seperti halnya energi optimisme ini yang boleh jadi kian meredup di
tengah-tengah kita kini. Sikap kritis bagi Hasanain tidak banyak berguna jika
dilandasi pesimisme menatap masa depan, ungkap Hasanain, sama sekali tidak
memberikan jalan keluar yang produktif bagi pemecah masalah bersama. Bahkan condong
berubah menjadi caci maki atau hujan yang tak berguna.
Buku
Lorong Kerikil Tuang Guru ini menambah koleksi buku-buku NTB yang dalam 2-3
tahun belakangan ini makin banyak mengisi pasar buku lokal kita. Buku-buku tentang
NTB atau buku-buku yang ditulis para penulis NTB sepatutnya mendapat ruang yang
cukup untuk hadir di tengah-tengah publik. Apa yang Lembaga Kajian Publikasi Islam
dan Masyarakat (Leppim) IAIN Mataram, NTB lakukan dengan menerbitkan
tulisan-tulisan lepas TGH. Hasanain ini patut kita apresiasi.
Kita
semua, terutama pemerintah daerah harus lebih serius mendorong lahirnya buku
NTB dan penulis –penuli lokal. Buku terbaik dipilih secara berkala, entah
setahun atau dua tahun sekali diberikan hadiah yang konkret, pemerintah daerah
harus memfasilitasi untuk mencetak atau memperbanyak buku-buku NTB dalam segala
genre. Penerjemaham naskah-naskah bahkan warisan budaya Lombok, Sumbawa, Dompu
dan Bima pun harus dikerjakan segera. Masih banyak ditingkat lokal dengan
mendekatkan pada khalayak. Kekampuan pembangunan suatu daerah tidak semata
ukurannya fisik belaka. Kemajuan mencetak buku lokal adalah simbol kemajuan
daerah dan pada saatnya akan menjadi warisan bersejarah untuk generasi NTB. Wallahualam bisawab.
Judul buku : Lorong Kerikil Tuan Guru
Penulis : TGH. Hasanain Juaini
Cetakan 1 : 2016
Tebal : 195 halaman
Penerbit : Lembaga Pengkajian Publikasi Islam dan Masyarakat
(LEPPIM) IAIN Mataram
Bogor, 24 April 2016
Mantap gen
BalasHapusSandatku.blogspot.com
Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini. Salam kenal..
BalasHapusKeren..
BalasHapus