Ini Kisahku (2)



Setelah mendengar ucapan Ibu, saya tidak ada harapan lain, selain harus menuruti kata-kata ibu. Ketika ke sekolah, saya sering ditanya seorang sahabat dekat. Mau melanjutkan kemana? Dengan nada sangat sedih, saya pun harus mengatakan tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, itulah kata ibu. 

Sampai pada hari pembagian rapot (hasil nilai terakhir) di madrasah, saya memilih pulang sendiri, jalan kaki melewati pematang sawah menuju rumah. Dan hari itu merupakan kali terakhir, saya merasakan menjadi santri, setelah itu waktu banyak saya habiskan untuk membantu orangtua disawah dan mencari rumput untuk ternak (sapi dan kambing). 

Waktu itu, saya ibaratkan hidup tanpa tujuan yang tidak pasti. Seperti yang pernah saya ceritkan sebelumnya, sebagian besar anak muda di kampung saya, meraka lebih memilih merantau menjadi TKI ke Malaysia dan Arab Saudi. Dari hasil merantau itu, mereka menikah, bnagun rumah dan membeli motor.  

Tak pernah terpikir untuk menjadi TKI, melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi, adalah tekadku waktu itu. Saya malu dengan kata-kata ibu. 

“Jika ingin melanjutkan sekolah ke pergueuan tinggi, maka harus dengan biaya sendiri”.

Kata itu menjadi cabuk bagiku untuk kerja keras dalam berbagai keterbatasan. Sementara saya bekerja menjadi kuli bangunan, buruh sawah dan berbagai macam pekerjaan saya kerjakan. Niatnya sisa uang itu bisa mencukupi biaya kuliah semester pertama. 

Dalam satu bulan hasil dari kerja itu, tak bisa saya tabung, karena harus membantu ibu untuk membeli kebutuhan keluarga. Dengan demikian saya berpikir niat untuk melanjutkan studi sangat tidak mungkin, apalagi dengan tak ada dukungan dari orangtua.

Memilih Jadi TKI
Tahun 2004, tahun ini adalah pilihan ini paling terberat yang dalam hidup saya. Mimpi melanjutkan pendidikan kandas. Namun sejak itu, saya percaya bahwa pendidikanlah yang mengubah hidup saya. Ketika memilih menjadi TKI dengan tujuan ke Malaysia, satu persatu syarat, saya selesaikan, mulai dari pembuatan paspor di kantor migrasi Kota Mataram. 


Taman Sri Yacob (Tempat bekerja di Malaysia)
Berkat kebaikan tetangga, saya mendapat uang pinjaman Rp 5 juta, saya pergunakan untuk mengurus perlengakapan termasuk sampai keberangkatan menggunakan kapal laut. Niat saya merantau waktu, hannya satu, nabung untuk melanjutkan kuliah. Niatku satu tahun, berada di Malaysia sudah bisa mengumpulkan uang.

Hari pertama sampai Malaysia, saya lansung bekerja di sebuah bangunan lantai. Bekerja dihari pertama juga menjadi kesulitan yang dihadapi. Hari demi hari, saya lalui hingga tidak terasa satu bulan berlalu, hari yang ditunggu, karena mendapatkan gaji dari hasil kerja selama satu bulan. Untuk bulan pertama gaji bekerja selama satu bulan, hannya sisa Rp 10 ringgit (25 ribu curs  Indonesia) dari 500 ringit (satu juta dua ratus, waktu itu).  

Gaji rendah kali ini membuat, saya harus bisa menyisihkan untuk tabungan perbulan. Pada bulan ke dua, tidak ada perubahan sama sekali. Pada akhirnya saya bertemu dengan majikan saya, agar bisa minta kerja di tempat lain. Dengan berbagai alasan, saya bisa pindah kerja baru sebagai tukang cat gedung. Setelah kerja ditempat ini, baru bisa menabung dan mengirimkan orangtua di Lombok.  

Untuk menjaga mimpiku terus terjaga, saya berlangganan koran utusan rakyat dan membeli beberapa buku yang bisa saya baca setelah bekerja. Rencana satu tahun di Malaysia pun puspus, saya harus menambah satu tahun lagi agar bisa menyelesai hutang biaya keberangkatan waktu itu. Pada pertegahan 2007, saya memilih balik ke Indonesia, dengan sedikit tabungan, bisa saya pergunakan masuk kuliah di kota Mataram. 

Beberapa teman kerja asal Lombok, Jawa, Madura selalu menggap keputusan pulang untuk kuliah, merupakan keputusan mustahil. Mereka beranggapan, jika pernah menjadi TKI akan sulit untuk bisa kuliah, karena biaya kuliah tidak sedikit. Kata-kata itu, saya jadikan semangat untuk terus bermimpi, walaupun harus meneteskan air mata mendengar olokkan itu. Al-hasil, saya memilih pulang ke Lombok.

Dari Titik Nok (Kuliah)
Bulan Agustus 2007 kali pertama, saya kembali, dengan pesawat dari Sepang Airport menuju transit Bali, kemudian kemabli melanjutkan penerbangan ke Bandara Rembige Lombok. Dua hari sampai di rumah, saya mengutarakan niat melanjutkan kuliah ke orangtua, tapi waktu itu, masih kurang setuju atas kemauan saya. Justru orangtua menyarankan agar saya balik lagi ke Malaysia. 

Saya tak kehilangan akal dan siasat, dengan berbekal sedikit tabungan dari hasil bekerja, saya mencari informasi tentang kampus-kampus di NTB. Nama-nama kampus telah saya dapatkan, kemudian, saya baca seksama apa saja syaratnya. Semuanya saya pelajari sambil menunggu bulan Agustus untuk pendaftaran mahasiswa baru. 

Dari nama-nama kampus yang tersedia, waktu itu saya memilih target agar bisa masuk di salah satu kampus negeri di Kota Mataram. Karena penerimaan mahasiswa baru masih tersisa lima bulan, sisa waktunya saya pergunakan untuk kerja serabutan di sawah tetangga (buruh petani) dan kuli bangunan. 


Diskusi bersama Aktivis
LPM Royu'na IAIN Mataram
Tiba masa ikut seleksi masuk perguruan tinggi, saya pergi ke Kota Mataram mengunakan angkutan umum, jarak tempuh dari kampung saya sekitar 2 jam. Target awalnya masuk di Universitas Mataram, harus gagal, karena terkendala umur, yang telah melebihi satndar mahasiswa S1. 

Kata panitia penerima mahasiswa baru, umur saya telah melewati umur kelas regular. Dan saya pun ambil pilihan kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram. []

Lombok, Juli 1 2015

0 komentar:

Posting Komentar

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author