Setelah mendengar ucapan Ibu, saya tidak ada harapan lain, selain
harus menuruti kata-kata ibu. Ketika ke sekolah, saya sering ditanya seorang
sahabat dekat. Mau melanjutkan kemana? Dengan nada sangat sedih, saya pun harus
mengatakan tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi, itulah kata ibu.
Sampai pada hari pembagian rapot (hasil nilai terakhir) di
madrasah, saya memilih pulang sendiri, jalan kaki melewati pematang sawah
menuju rumah. Dan hari itu merupakan kali terakhir, saya merasakan menjadi
santri, setelah itu waktu banyak saya habiskan untuk membantu orangtua disawah
dan mencari rumput untuk ternak (sapi dan kambing).
Waktu itu, saya ibaratkan
hidup tanpa tujuan yang tidak pasti. Seperti yang pernah saya ceritkan sebelumnya, sebagian besar anak
muda di kampung saya, meraka lebih memilih merantau menjadi TKI ke Malaysia dan
Arab Saudi. Dari hasil merantau itu, mereka menikah, bnagun rumah dan membeli
motor.
Tak pernah terpikir untuk menjadi TKI, melanjutkan sekolah ke
perguruan tinggi, adalah tekadku waktu itu. Saya malu dengan kata-kata
ibu.
“Jika ingin melanjutkan sekolah ke pergueuan tinggi, maka harus
dengan biaya sendiri”.
Kata itu menjadi cabuk bagiku untuk kerja keras dalam berbagai
keterbatasan. Sementara saya bekerja menjadi kuli bangunan, buruh sawah dan
berbagai macam pekerjaan saya kerjakan. Niatnya sisa uang itu bisa mencukupi
biaya kuliah semester pertama.
Dalam satu bulan hasil dari kerja itu, tak bisa
saya tabung, karena harus membantu ibu untuk membeli kebutuhan keluarga. Dengan
demikian saya berpikir niat untuk melanjutkan studi sangat tidak mungkin,
apalagi dengan tak ada dukungan dari orangtua.
Memilih Jadi TKI
Tahun 2004, tahun ini adalah pilihan ini paling terberat yang
dalam hidup saya. Mimpi melanjutkan pendidikan kandas. Namun sejak itu, saya
percaya bahwa pendidikanlah yang mengubah hidup saya. Ketika memilih menjadi
TKI dengan tujuan ke Malaysia, satu persatu syarat, saya selesaikan, mulai dari
pembuatan paspor di kantor migrasi Kota Mataram.
Taman Sri Yacob (Tempat bekerja di Malaysia) |
Berkat kebaikan tetangga, saya mendapat uang pinjaman Rp 5 juta,
saya pergunakan untuk mengurus perlengakapan termasuk sampai keberangkatan
menggunakan kapal laut. Niat saya merantau waktu, hannya satu, nabung untuk
melanjutkan kuliah. Niatku satu tahun, berada di Malaysia sudah bisa
mengumpulkan uang.
Hari pertama sampai Malaysia, saya lansung bekerja di sebuah
bangunan lantai. Bekerja dihari pertama juga menjadi kesulitan yang dihadapi.
Hari demi hari, saya lalui hingga tidak terasa satu bulan berlalu, hari yang
ditunggu, karena mendapatkan gaji dari hasil kerja selama satu bulan. Untuk
bulan pertama gaji bekerja selama satu bulan, hannya sisa Rp 10 ringgit (25
ribu curs Indonesia) dari 500 ringit (satu juta dua ratus, waktu itu).
Gaji rendah kali ini membuat, saya harus bisa menyisihkan untuk
tabungan perbulan. Pada bulan ke dua, tidak ada perubahan sama sekali. Pada
akhirnya saya bertemu dengan majikan saya, agar bisa minta kerja di tempat
lain. Dengan berbagai alasan, saya bisa pindah kerja baru sebagai tukang cat gedung.
Setelah kerja ditempat ini, baru bisa menabung dan mengirimkan orangtua di
Lombok.
Untuk menjaga mimpiku terus terjaga, saya berlangganan koran
utusan rakyat dan membeli beberapa buku yang bisa saya baca setelah bekerja.
Rencana satu tahun di Malaysia pun puspus, saya harus menambah satu tahun lagi
agar bisa menyelesai hutang biaya keberangkatan waktu itu. Pada pertegahan
2007, saya memilih balik ke Indonesia, dengan sedikit tabungan, bisa saya
pergunakan masuk kuliah di kota Mataram.
Beberapa teman kerja asal Lombok, Jawa, Madura selalu menggap
keputusan pulang untuk kuliah, merupakan keputusan mustahil. Mereka
beranggapan, jika pernah menjadi TKI akan sulit untuk bisa kuliah, karena biaya
kuliah tidak sedikit. Kata-kata itu, saya jadikan semangat untuk terus
bermimpi, walaupun harus meneteskan air mata mendengar olokkan itu. Al-hasil,
saya memilih pulang ke Lombok.
Dari Titik Nok (Kuliah)
Bulan Agustus 2007 kali pertama, saya kembali, dengan pesawat dari
Sepang Airport menuju transit Bali, kemudian kemabli melanjutkan penerbangan ke
Bandara Rembige Lombok. Dua hari sampai di rumah, saya mengutarakan niat
melanjutkan kuliah ke orangtua, tapi waktu itu, masih kurang setuju atas
kemauan saya. Justru orangtua menyarankan agar saya balik lagi ke Malaysia.
Saya tak kehilangan akal dan siasat, dengan berbekal sedikit tabungan dari
hasil bekerja, saya mencari informasi tentang kampus-kampus di NTB. Nama-nama kampus telah saya dapatkan, kemudian, saya baca seksama
apa saja syaratnya. Semuanya saya pelajari sambil menunggu bulan Agustus untuk
pendaftaran mahasiswa baru.
Dari nama-nama kampus yang tersedia, waktu itu
saya memilih target agar bisa masuk di salah satu kampus negeri di Kota
Mataram. Karena penerimaan mahasiswa baru masih tersisa lima bulan, sisa
waktunya saya pergunakan untuk kerja serabutan di sawah tetangga (buruh petani)
dan kuli bangunan.
Diskusi bersama Aktivis LPM Royu'na IAIN Mataram |
Tiba masa ikut seleksi masuk perguruan tinggi, saya pergi ke Kota
Mataram mengunakan angkutan umum, jarak tempuh dari kampung saya sekitar 2 jam.
Target awalnya masuk di Universitas Mataram, harus gagal, karena terkendala
umur, yang telah melebihi satndar mahasiswa S1.
Kata panitia penerima mahasiswa
baru, umur saya telah melewati umur kelas regular. Dan saya pun ambil pilihan
kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram. []
Lombok, Juli 1 2015
0 komentar:
Posting Komentar