Warga
dikampungku biasa menyapaku Ahyar, tapi panggilan lengkapku, Ahyar Rosyidi.
Saya lahir pada 11 April 1985 tepatnya di sebuah dusun Sangupati, Desa
Mengkuru, Kecamantan Sakra Barat, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Saya
memiliki lima bersaudara dan saya anak paling bungsu. Empat dari saudara tak
satu pun yang menyelesaikan sekolah menengah, hannya sampai SMP saja.
Kalau
melanjutkan ke perguruan tinggi, jangan ditannya. Saudara dan bahkan kedua
orangtuaku, selalu memberikan alasan terkendaa biaya. Terlahir
dari keluarga petani sederhana dengan lahan sawah seluas 50 are. Tapi, saya
sangat bersyukur dari keluarga sederhana ini, saya banyak belajar banyak hal,
salah satunya, kerja keras, dan tekun dalam mengejar mimpi.
Dimasa kecil
dihabiskan untuk membantu orangtua untuk menyelesaikan pekerjaan di
sawah. Mencangkul,
membajak sawah, mencabit rumput untuk pakan ternak adalah pekerjaan keseharian
warga di desa. Begitu juga halnya dengan, saya bersama keempat saudara saya.
Umur 7 tahun, saya masuk sekolah pesantren yang tak jauh dari rumah. Pondok
Pesantren Darul Furqon, Nahdlatul Wathan (NW), Mengkuru, namanya. Dari kecil,
saya tak pernah minta banyak kelebihan dari ibu dan bapak, karena saya selalu
mengerti keadaan ekonomi rumah yang tidak menentu.
MA NW Mengkuru, Sakra Barat |
Pendidikan
di pesantren telah menjadi penopang untuk selalu bersyukur dalam berbagai
kesulitan. Dari masuk Ibtidakiyah (SD), sampai Aliyah (SMA). Untuk menambah
keterampilan ektrakulier,
saya aktif belajar menjadi pengurus OSIS, Palang Merah Remaja (PMR), Pramuka, dan pengembangan Bahasa Inggris bersama teman satu angkatan di pesantren.
Di
pesantren, saya tak banyak mengikuti lomba, seperti kaligrafi, pidato dan
kegiatan lainnya. Yang
masih saya ingat sampai saat ini, saya pernah menjadi juara pertama daam bidang
kaligrafi dan seni indah. Waktu itu, saya sangat senang bukan main, walau pun
hadiah dari panitia dalam bentuk sabun, give,
buku dan pas gigi pepsodent.
Sekolah
di pesantren dan jauh dari perkotaan sangat berbeda dengan sekolah di kota.
Untuk mengikuti ujian kahir di kelas 6 Tsanawiyah, kami harus numpang di salah
satu sekolah di Madrasah yang telah terakreditasi. Waktu itu masih namanya
ujian Negara. Jarak tempuhnya bisa menempuh satu jam dari sekolah saya. Itu
kami lalui sampai menyelesaikan sekolah di Aliyah.
Dengan
segala keterbatasan itu, saya lalui dengan penuh kesabaran. Suatu hari, saya
pernah memiliki niat untuk mencari sekolah lain setelah Tsanawiyah, tapi karena
terkendala biaya, niat itu, saya urungkan untuk menetap di sekolah yang sama.
Masa-masa belajar di pesantren, merupakan masa yang membentuk karakter awal
saya. Belajar dan berperoses bersama ratusan santri adalah hal langka yang bisa
saya dapatkan.
Sedikit
dari teman-teman sekelas mampu bertahan sampai menyelesaikan sampai Aliyah.
Sebagian besar anak muda di desa saya lebih memilih bekerja merantau ke luar
negeri. Namun yang menjadi alasan mereka tak menyelesaikan sekolah adalah nikah
di usia muda.
Saya
banyak menyimpan kenangan pada masa menempuh sekolah saat belajar di Pondok
Pesantren Darul Furqon, Mengkuru. Kenangan yang saya banggakan, dan tak akan
saya lupakan sebagaimana saya tak melupakan jasa para kyai yang selalu
mengajarkan ketekunan, kerendahan hati dan keikhlasan.
Maka masa itu adalah
pembentukkan keperibadian saya, in
the prime of life. Begitu ungkapan kyai saya. Saya kira, semua orang yang
pernah belajar di pesantren akan merasakan hal yang sama. Tak mudah bagi
seorang Ahyar keluarga petani untuk menyelsaikan sampai jenjang Aliyah
(SMA).
Bagiku,
menyelesaikan sekolah dengan berbagai kesulitan. Kebiasaan di pesantren, oleh
pihak pesantren memberikan dua pilihan untuk membayar SPP satu tahun. Pertama,
orangtua bisa membayar dengan padi 30 kilo atau dengan mengunakan uang seharga
gabah itu.
Tapi karena kesulitan dengan keluarga, bapak lebih memilih membayar
SPP saya dengan kakak mengunakan gabah (padi kering). Di
pondok pesantren ada keringan khusus, bagi mereka dalam satu keluarga
menyekolahkan lebih dari satu anak, maka ia cukup membayar satu saja.
Dengan
seperti itu, keluarga saya merasa terbantu. Untuk memenuhi kebutuhan baju
seragam, sepatu, dan buku dan keperluan lainnya. Saya harus merelakan tak masuk
dalam dua hari berturut-turut. Semua itu, saya lakukan agar biaya buku dan baju
seragam bisa membantu orangtua.
Bersama Relawan Turun Tangan, Jakarta |
Jika
tiba libur, hari adalah paling senang saya, kesempatan ini, saya pergunakan
untuk mengambil upah di sawah tetangga, seperti menyangkul, panen padi dan
menjadi kuli bangunan. Semua ini, saya jalani dengan niat, tidak berhenti
sekolah.
Pernah suatu ketika orantua tak uang untuk membayarkan SPP saya
bersama saudara. Sementara bapak hannya bekerja di sawah dengan mendapatkan
yang sangat kecil. Saya
harus meilih untuk tidak masuk, saya ikut tetangga bekerja selama empat hari,
dan SPP mampu saya bayar lunas. Dalam soal sekolah orangtua saya tak pernah
mendorong saya untuk masuk sampai perguruan tinggi.
Baginya, menyelsaikan
sekolah sampai pendidikan Aliyah pun sudah sangat tinggi. Ibu berharap saya
secepatnya bisa menyelsaikan sekolah agar kelak membantu beliau di sawah. Waktu
pun berlau, 2004 adalah tahun penentu bagiku.
Tak
terasa selama 12 tahun, saya habiskan waktu untuk belajar di pondok, waktu yang
terbilang lama, dan berbagai kesulitan saya mampu lewati dengan berbagai
keterbatasan. Alhamdulillah, saya menyelsaikan sekolah di bangku Aliyah dengan
predikat sangat memuaskan.
Satu bulan, sebelum menyelesaikan pelajaran di
Pondok Pesantren, saya banyak mendengar teman kelas, yang akan melanjutkan ke
perguruan tinggi. Saya
pun memiliki mimpi yang sama seperti mereka, sepulang ke rumah, saya utarakan
mimpi itu pada ibu.
Namun ibu tak mengizinkan melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi, karena alasan tak ada biaya. Bahkan waktu itu ibu pernah
katakan sama dengan nada sangat marah. Bunyinya kurang lebih begini;
‘Kalau
mau sekolah lagi, carilah biaya sediri. Ibu tak mampu biaya kau sekolah lagi”.
Suara ibu dengan nada marah. []
Lombok, Juli 1 2015
0 komentar:
Posting Komentar