Merlihat dari jendela
dalam apartemenku. Langit mulai cerah, sinar Matahari mulai menyapa belahan
utara daratan Eropa. Walau begitu, udara pun tak mau kalah dengan hembusan
dinginnya, berhembus salju. Salju berjatuhan melalui celah-celah gedung tinggi
yang tersusun rapi dengan khas arsitektur Eropa. Saya seakan tak percaya, bahwa
saya menapakkan kaki di tanah Eropa.
Hari ini, 17
September 2015, cuaca di Kota Belfast cukup dingin. Suhu mencapai 6 derajat
celcius. Padahal, ini belum musim Winter (musim dingin). Jujur
saja, sampai saat ini, saya masih belum percaya bahwa udara dingin ini akhirnya
bisa kunikmati. Putus asa hampir mematikan impianku untuk memutuskan kuliah ke
luar negeri melalui jalur beasiswa.
Tidak mudah bagi
seorang anak kampung yang tinggal di pelosok timur Indonesia. Dengan latar
belakang pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Nahdatul Wathan (NW) Pancor,
Lombok Timur. Hingga punya mimpi untuk melanjutkan studi S2 dengan beasiswa ke
belahan bumi Eropa. It seems like an extremely impossible thing.
Memimpikan sesuatu
itu memang mudah, namun percaya pada apa yang kita impikan itulah yang sulit.
Terkadang dalam hal berdoa sekalipun, kita sering tak percaya apakah impian
atau cita-cita yang kita sisipkan dalam doa kita. Kita harus sadar diri bahwa,
kita mampu mencapai impian itu. Dan hari ini, saya pun telah membuktikan
kekuatan sebuah mimpi.
Tapi mimpi itu tak mudah saya dapatkan. Setelah
menyelesaikan S1 di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP),
Pancor. Saya perjuangkan mimpi itu dengan komitmen dan kerja keras. Mulai
belajar bahasa Inggris ke Pare. Saya selalu meyakini,
bahwa memiliki mimpi tinggi itu tak ada salahnya.
Foto didepan Belfast University (Inggris) |
Seperti katanya Presiden
Soekarno, “Bermimpilah setinggi langit! Karena, jikap engkau terjatuh, maka akan
jatuh diantara bintang-bintang!” Ingatanku berputar ke 4 tahun yang lalu. Di
mana, saya tak tanggung-tanggung untuk menuliskan nama-nama kampus top dunia
dalam daftar cita-citaku. Harvard University, Stanford University, Cambridge
University, Oxford University, University College London, dan banyak lagi
kampus top berkelas dunia.
Semua nama itu, saya
susun rapi di setiap sisi tembok kamarku. Entah bagaimana orang lain berusaha
memahaminya. Jika melihat potongan-potongan poster itu. Bagiku itu selalu menjadi
pemacu semangat disaat lesu dan patah semangat menghinggapi pikiranku. Ketika
semangat mulai kendor, atau bahkan kurang fokus.
Gambar-gambar itu selalu
berhasil melenturkan yang tak stabil. Semua itu ibarat vitamin yang menyehatkan
kondisi tubuhku yang tengah didera lunglai. Pesan guruku, “Jangan
kau simpan impianmu hanya dalam ingatan! Tulislah! Karena ingatan bisa lupa,
sementara tulisan tidak!”.
Setelah dua tahun lamanya, saya terus merawat mimipi
dan semangat itu. Setelah menyelesaikan studi S1, saya mengambil pilihan untuk
mendalami bahasa asing (Inggris). Dengan target untuk mengejar beasiswa S2 ke
Eropa. Dari sinilah semua
cobaan itu bermula. Akan, saya ceritakan dalam tulisan ini tentang cobaan itu.
Berat..!! Bukan karena impian itu sendiri, tapi karena awalnya impian itu tak
sepenuhnya didukung oleh orang-orang terdekatku, diragukan oleh keluargaku.
Mungkin dianggap terlalu berat, terlalu tinggi. Kuliah ke luar negeri dengan
beasiswa bergengsi. Ini adalah hal baru di mata mereka. Hal baru bagi
orang-orang di kampungku.
Namun begitulah, saat
mereka memandangku dengan keragu-raguan, saya terus berusaha untuk
meyakinkannya bahwa impianku adalah sangat mungkin.
Kita boleh berasal dari
kampung, tapi impian dan cita-cita kita tak boleh kampungan! Ini sungguh
menjadi tantangan bagiku untuk harus membuktikan bahwa anggapan mereka atas
impianku adalah “Absolutely wrong”. Karena impianku cukup
tinggi, maka untuk mewujudkannya tentu butuh usaha yang tinggi, keringat yang
lebih banyak, energi yang lebih banyak, persiapan yang lebih matang, waktu yang
lebih lama, biaya yang lebih besar, serta doa yang maksimal pula, serta
konsistensi yang sungguh-sungguh.
Karena usaha tak pernah membohongi hasil. Bagiku, cukup sudah
sampai S1, saya membebani orang tuaku dengan tagihan-tagihan biaya kuliah. Jika
sebelumnya mampu menafkahi mereka, setidaknya saya bisa mengurangi beban mereka
(orangtuaku) dengan jalan yang lain. Hingga akhirnya, hanya doa mereka yang
saya harapkan untuk terus mengalir kepadaku.
Hari ini, saya berdiri
tegak di salah satu kampus berkelas dunia di belahan utara Eropa, Queen’s
University Belfast, United Kingdom (UK). Walau bukan kampus utama impikan, tapi
ini sangatlah tepat untukku dalam menimba ilmu sebanyak-banyaknya. Telah
kuserahkan langkahku kepada Allah SWT, kemana pun saya diantarkanNya, akan saya
syukuri dan jalani. Karena apa pun yang kita dapatkan hari ini bukan rencana
kita sebelumnya.
Namun itu, adalah
cara Allah SWT untuk menunjukkan kita bahwa. Dia memiliki rencana yang jauh
lebih indah. Kupatrikan niatku, ku luruskan hajatku. Karena niat adalah penentu
dari segala usaha. Begitulah niat! Berada di awal, namun penentu hasil akhir.
Banyak yang sukses dalam hal proses, namun gagal dalam hal niat atau tujuan!
Aduhai, alangkah malangnya..!!
Usaha yang tak terhitung sebagai amal
ibadah! Tuhan, anugrahkan selalu keikhlasan dan berikanlah ilmu yang
bermanfaat untukku, masyarakatku, agamaku, dan juga bangsaku!
Muhammad Zainul Yasni
Awardee LPDP & Alumni STKIP Hamzanwadi, Himmah NW Pancor &
Northen
Ireland UK, 17 September 2015.
0 komentar:
Posting Komentar