Menulis berbeda dengan
berbicara. Menulis setidaknya membutuhkan keterampilan khusus yang harus
dipelajari dan senantiasa dilatih. Sementara berbicara mungkin cuma butuh
pembiasaan saja. Indera yang dibutuhkan ketika belajar berbicara terdiri dari
mata, telinga, dan lidah. Mata untuk melihat gerakan yang dilakukan orang yang
akan kita contoh untuk bicara, terutama melihat gerakan mulut dan mimik muka.
Telinga untuk mendengar kata yang diucapkan, dan lidah berusaha untuk
mengikutinya dengan kata yang kita upayakan untuk dikeluarkan.
Itu sebabnya, anak kecil yang sehat dan normal
(matanya dapat melihat, telinganya dapat mendengar, dan lidahnya bisa
digerakkan untuk berkata) maka umumnya akan dengan mudah mengikuti. Itu
memerlukan pembiasaan sembari mengasah kemampuan dan reflek tiga indera tadi.
Jadi, anak kecil yang ingin belajar bicara tak memerlukan belajar huruf-huruf
terlebih dahulu, tak butuh juga dengan seabrek teori menulis, dan bagaimana merangkai
kata yang baik. Ia, akan dengan spontan mengikuti setiap huruf yang diucapkan
orang lain (entah ibunya, ayahnya, kakaknya, atau temannya. Mereka (termasuk
kita) bisa belajar bicara tanpa keterampilan yang rumit. Mengalir apa adanya.
Sementara menulis, ini
memerlukan keterampilan tambahan. Bahkan motivasi tambahan pula. Karena apa?
Karena menulis bukan bakat, karena menulis memang sangat berbeda dengan
berbicara. Banyak orang bisa berbicara, bahkan fasih, meski ternyata ia buta
huruf. Sementara orang yang bisa menulis, sangat mustahil bila ia penderita
buta huruf. Mungkin ini pula yang membedakan kemampuan setiap orang dalam
menulis. Intinya, nggak semua orang bisa menulis, meski berbicaranya sangat
fasih dan bahkan retorikanya bagus. Oya,
meski bicaranya tidak bagus, tapi minimal ia memang bisa bicara.
Bisa berkomunikasi secara
verbal (kata-kata) dengan orang lain. Iya nggak? Jadi menurut saya sih, orang
yang bisa menulis adalah orang yang seharusnya merasa bahagia. Karena apa?
Karena bisa melakukan keterampilan yang jarang dilakukan oleh orang yang sehat
dan normal lainnya. Umumnya, semua orang yang sehat dan normal bisa berbicara,
tapi tak semua dari mereka bisa menulis. Ini pun dikelompokkan jadi dua:
pertama, orang yang tidak bisa menulis sama sekali alias buta huruf; dan kedua,
orang yang tidak bisa menulis dalam pengertian menyampaikan pesan lewat
tulisan. Dari dua kelompok itu, mereka sama-sama bisa berbicara, tapi nggak
bisa menulis. Betul ndak?
Ayo Kita menulis!
Alirkan ide-idemu untuk
berkarya lewat tulisan. Rugi banget kalo sampe nggak mencoba untuk bisa
menyampaikan pesan yang kita inginkan lewat tulisan. Padahal, itu sangat unik,
menyenangkan, dan menarik dibanding berbicara. Kita emang bisa menyampaikan
pesan lewat kata-kata (berbicara), tapi tak selamanya pesan bisa sampe dengan
mudah. Jika kamu menelepon seseorang, ingin mengerahkan kemampuanmu untuk
menyampaikan kehebatanmu dalam berbicara untuk mempengaruhi dia, sementara
ponselnya pas kamu nelepon nggak diaktifkan, itu artinya ada hambatan. Apa yang
ingin kamu sampaikan menemui jalan buntu. Minimal harus menunggu sampe ponsel
temanmu diaktifkan.
Dan lagi nih, kamu tentunya
nggak bisa terus-menerus berada dalam kondisi siap untuk menelepon. Adakalanya,
kamu justru berada dalam kondisi harus menyampaikan pesan lewat tulisan.
Misalnya kamu sibuk, sementara untuk memberi tahu teman kamu dengan berbicara
di telepon akan memakan waktu, apalagi kalo kamu seneng ngobrol.
Maka, langkah
efektif adalah dengan mengirim SMS ke ponselnya, atau mungkin kirim e-mail,
atau bisa aja nulis memmo untuknya karena ketika kita sampe ke rumahnya dia
nggak ada. Kita tempelin deh memmo berisi pesan tertulis kita. Tapi, itu pun
masih dengan catatan: ia aktifkan ponselnya; buka e-mail, dan tak sedang keluar
kota. Berarti ini soal kendala teknis. Terlepas dari itu, keterampilan menulis
tetap harus dimiliki. Minimal sebagai keterampilan pelengkap untuk menyampaikan
pesan bagi yang sudah terbiasa dan mahir retorikanya dalam berbicara. Setuju?
Sobat, nggak usah dibikin rumit
ketika kita akan menulis. Saya juga termasuk yang bisa menulis bukan berawal
dari teori. Saya menulis, kalo saya pengen nulis apa yang membuat saya lega
ketika menuliskannya. Saya menulis surat buat teman dan orangtua saya, menulis
puisi, menulis catatan harian, bahkan saya menulis cerpen meski ketika dibaca
lagi seringnya nggak nyambung.
Tapi, saya berkeras ingin bisa menulis. Waktu
SMP, ketika seneng nulis, saya nggak punya mimpi jadi penulis. Saya hanya
seneng aja setiap kali membaca buku sejak SD. Dalam pikiran saya, “Saya bisa
membaca dan mudah untuk mengerti pesan yang disampaikan penulisnya, pasti si
penulis itu adalah orang yang hebat dalam menyampaikan pesan secara tertulis.”
Sejak saat itu saya secara sederhana ingin juga bisa menulis. Tapi tetep belum
kepikiran ingin jadi penulis. Biasa aja gitu.
Hasilnya? Alhamdulillah,
rupanya pembiasaan dalam menulis apa saja yang ingin saya tulis, sekaligus
sebagai latihan ‘alamiah’ untuk melancarkan jari tangan saya menulis (waktu itu
saya belum punya mesin tik, apalagi komputer). Kebiasaan saya menulis bukan
hanya melancarkan jari tangan saya menulis di kertas, tapi sekaligus melatih
pilihan kata yang hendak saya tulis dan juga melancarkan sistematika dalam alur
penulisan pesan yang saya inginkan. Inilah uniknya keterampilan menulis.
Setidaknya menurut saya, lho.
Jadi, biasakan untuk melatih
menulis.
Terus dan terus. Nggak usah ada beban dulu. Pokoknya nulis. Jangan
takut salah, nggak perlu khawatir tulisannya nggak enak dibaca, yang penting
mencoba dan terus belajar. Salah-salah dikit sih kita bisa menghibur diri
dengan nyontek semboyan di iklan pembersih pakaian, “Nggak ada noda, ya nggak
belajar”. Menulis itu butuh ketekunan, jangan patah semangat jika baru nulis
sekali dan jelek. Itu belum cukup, kalo kamu nggak terus melatih diri untuk
menulis. Bukankah benteng Mesir tidak ditaklukkan dengan sekali peperangan?
Bukankah ketika kita belajar menuliskan abjad dan angka saja nggak sekali
langsung bisa? Ya, belajar menulis tidak instan, tapi harus ditekuni dan sabar,
serta penuh semangat, plus motivasi kuat.
Sebenarnya bicara juga
membutuhkan keterampilan tambahan, meski awalnya ‘naluriah’, tapi tetap kudu
dipelajari bagaimana santun dalam berbicara, berkata yang baik, dan apa yang
harus dikatakan dengan tepat kepada siapa yang diajak bicara. Nah, untuk
tingkat lanjutannya sih memang harus belajar juga. Sama seperti menulis. Tapi,
langkah awalnya aja yang beda. Start-nya yang beda. Kalo berbicara,
secara ‘naluriah’ sejak kecil kita yang sehat dan normal langsung udah belajar
dan bahkan bisa bicara, sementara menulis (menuliskan abjad dan angka), minimal
rata-rata bisa nulis secara umum adalah ketika kita diajarin di sekolah (meski
sebelum sekolah kita udah pada bisa bicara). Tul nggak?
Waktu kecil juga kita udah bisa
menulis abjad dan angka, tapi inget ya bahwa pengetahuan tersebut saja belum
cukup untuk menyampaikan pesan lewat tulisan jika nggak belajar bagaimana cara
merangkai kata yang baik. Nah, jadi beda kan? Ehm, jadi menulis emang keterampilan
yang unik dan sekaligus menarik. Setidaknya ini menurut saya, lho.
Sobat,
sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin tekankan bahwa ada yang perlu
diperhatikan dan diingat, bahwa jika kita nggak bisa menulis dengan baik, maka
pesan itu pun sulit juga dimengerti oleh pembaca tulisan kita. Sebagai pemberi
pesan (komunikator), tentunya kita harus sebaik mungkin dalam menyampaikan
pesan agar mudah dipahami oleh komunikan alias si penerima pesan.
Tentunya,
untuk semua itu yang dibutuhkan bukan hanya kebiasaan kita menulis, tapi juga
ilmu dan wawasan buat tambahan kita. Yup, agar pesan yang kita sampaikan juga
dimengerti, bahkan dipahami dengan mudah oleh penerima pesan. Soal ini, insya
Allah akan saya jembrengin di lain kesempatan. Setuju ya?
0 komentar:
Posting Komentar