Pohon Kopi Lereng Gunung Tambora (Foto Ahyar) |
April 1815 Gunung Tambora
meletus sangat dasyhat.Letusan yang tercatat sebagai salah satu letusan gunung
berapi terbesar di kolong jagad. Tak kurang 10 ribu nyawa langsung melayang
dalam sekejap. 90 ribu nyawa lainnya
tercatat sebagai korban
susulan. Semburan Tambora menutupi atmosfir bumi, menyebabkan matahari enggan
bersinar di belahan bumi Eropa sepanjang tahun sesudah terjadinya letusan.
Setahun tanpa musim panas, membuat Eropa terguncang hebat.
Bencana kelaparan terjadi di
banyak tempat. Letusan Tambora benar-benar laksana kiamat. Tapi Tambora bukan
hanya kisah soal letusan. Alamnya yang eksotik serta komoditi pertaniannya yang
kaya, juga punya kisahnya sendiri. 25 ribu penduduk yang menetap di lingkar
Tambora bergantung penuh pada kemurahan alam disana. Kopi salah satu komoditi pertanian
unggulan Tambora. Hamparan kebun kopi mudah kita temui, terutama di bagian
lereng sebelah utara.
Itu sudah ada sejak zaman
Belanda. Para pekerjanya datang dari Pulau
Jawa. Entah didatangkan paksa
atau sukarela. Jejak orang Jawa masih tertinggal nyata. Lihat saja dari
nama-nama camp (afdelin) di sana. Seperti Afdelin Sumber Rurip dan Afdelin
Sumber Rejo. Jelas merujuk kepada nama khas Jawa Luas perkebunan kopi di lereng
tambora peninggalan Belanda itu ditaksir 500 hektar. Selain hamparan
perkebunan, Belanda juga mewariskan gudang prosesing, puluhan rumah pegawai dan
gedung kantor.
Biji Kopi sudah kering di lereng Tambora (Foto Ahyar) |
Semua warisan itu cenderung
telantar. Baru pada 1977 mulai terasa
bergeliat, tatkala datang PT. Bayu
Aji Bima Sena dari Jakarta mengelola hamparan kebun kopi Tambora. Tentu saja
atas ijin penguasa di Jakarta. Seiring itu, masuknya para transmigran asal Lombok
dan Bali membuat kawasan Tambora makin terbuka. Puluhan ributransmigran dating secara
bergelombang sejak paruh kedua dasawarsa 1970. Cukup banyak dari para
transmigran yang kemudian dengan serius bergelut merintis usaha budidaya kopi
di lahan yang mereka kelola.
Pada 2001, tak jelas benar apa
sebabnya, PT. Bayu Aji menghentikan operasi perkebunan kopi mereka. Ratusan
hektar lahan, miliaran aset dan sekitar 150 pegawai menjadi tak bertuan. Setahun
kemudian, pemerintah Kabupaten Bima mengambil alih pengelolaan kawasan. Kala
itu kondisinya sangat mengenaskan. Tanaman Kopi yang produktif hanya 80 hektar.
Setiap hektarnya hanya bisa menghasilkan 150 kilogram biji kopi mentah. Tingkat
produktivitas yang terhitung rendah. Itupun masih ditambah persoalan penjarahan
kopi oleh masyarakat sekitar.
Alih-alih menguntungkan, pemerintah
kabupaten Bima harus cukup banyak mengelontorkan dana untuk menyehatkan kembali
usaha perkebunan kopi warisan Belanda itu. Kini setelah 10 tahun berlalu,
perkebunan kopi Tambora bisa sedikit bernafas kembali. Luas tanaman kopi yang
produktif bisa mencapai 146 hektar. Setiap hektarnya menghasilkan Total produksi
setahun rata-rata 30 ribu ton. Memberi pemasukan bagi daerah Rp 200–350 juta pertahun.
Potret ini masih jauh dari ideal. Karena yang bisa dihasilkan sejatinya bisa
lebih
berkali lipat dari itu.
Biji Kopi Tambora yang belum matang (Foto Ahyar) |
“Pengawasan pemerintah di sini lemah
sekali, perkebunan kopi ini cenderung disia-siakan,” terang Wahyudin, Kepala
Desa Oi Bura, di Kecamatan Tambora. Apa yang Wahyudin kemukakan ada benarnya.
Soal produktivitas misalnya, capaian 30 ribu ton pertahun terhitung kecil,
seharusnya bisa 2-3 kali lipat dari itu. Alhasil, setumpuk pekerjaan rumah
harus dibereskan untuk memastikan kopi Tambora siap bersaing di pasaran
nasional bahkan global. Potensi kopi Tambora memang besar.
Nama Tambora pun layak menjadi
branding . Hanya itu semua bisa jadi sia-sia, jika tak ada terobosan kebijakan
yang berani dan konsisten untuk meningkatkan dayasaing dan nilai jual kopi
Tambora. Dan itu harus dilakukan secara seksama dan dalam waktu yang
sesingkatsingkatnya. (Ahyar)
Wah suka ngopi ya mas. Saya pernah ke Moyo dan Satonda, sepertinya tak terlalu jauh dari Tambora. Tapi waktu itu hanya numpang melintas saja. Semoga suatu saat bisa kembali menikmati kopi ini kalau ada kesempatan mendaki Rinjani dan Tambora. Salam lestari :)
BalasHapus