Mudik Spiritual


Rutinitas  tahunan bernama mudik menjelang Hari Raya Idul Fitri (Lebaran) telah menjadi tradisi yang mendarah daging di daerah relijius berpenghuni 4. 5 juta jiwa ini. 

Praktis, transportasi masal seperti kapal laut,  pesawat  terbang, bus dan lain sebagainya penuh sesak oleh jejalan pemudik. Sontak pula, kemacetan lalu lintas terjadi di mana-mana. 

Karena ruang publik seperti terminal, stasiun, bandara, pelabuhan  serta jalan protokoler yang tak lepas dari hiruk-pikuk pemudik saat ini.

Itulah yang disebut dengan peristiwa mudik kultural. Yakni spirit budaya yang memotivasi seorang untuk bersegera pulang kampung dikala musim Lebaran tiba. Mudik kultural tersemangati oleh keinginan pribadi untuk bersilaturrahmi antar manusia, antaranggota keluarga atau sekedar ber-say helo dengan sesama rekan dan tetangga di tanah kelahiran (kampung halaman). 

Memang tiada yang keliru dengan budaya mudik (kultural) di atas. Hannya saja yang patut dicermati: mudik kultural yang menimbulkan problema sosial seperti memicu kerawanan aksi kriminalitas, kecelakaan lalu lintas, gensi atau pameran kekayaan (kesuksesan) dan lain sebagainya.

Pada trap relejiusitas yang lebih tinggi, tak banyak orang yang mampu meningkatkan derajat sosialnya dari sekedar mudik kultural menuju mudik spiritual. Mudik kultural yang sejatinya lebih berorentasi pada terjalinnya  pola hubungan “kemesraan sosial”  antara sesama manusia; mudah sekali terselewengkan menjadi budaya pamer (riya). 

Jelas, jika ini terjadi efek buruk yang ditimbulkan dari mudik kultural semacam ini menimbulkan kecemburuan sosial. Klimaksnya kuasa memicu terjadinya konflik frontal antar person; bahkan kelompok versus kelompok.

Andai saja setiap orang mampu menghijrahkan kualitas mudik  Lebaran dari sekedar mudik kultural jadi mudik spiritual yang lebih mengi-illahi; dapat dipastikan semangat kebersamaan (satu rasa, satu cita-cita dan satu tujuan hidup) 4.5 penduduk NTB ini dapat terbangun dengan sempurna. 

Bagi prilaku mudik spiritual, Hari Raya Idul Fitri  (Lebaran) tidak akan diterjemahkan sebagai ungkapan perayaan hedonistis, hura-hura atau berfoya-foya; bentuk pelampiasan emosioanl maupun psikis pasca sebulan terkungkung oleh beragam aturan.

Seperti yang diketahui bersama, selama bulan  puasa (Ramadhan), umat muslim dilarang keras makan-minum, berhubungan suami/istri di kala waktu berpuasa dan beragam bentuk larangan lain. 

Bisa jadi akibat ketatnya aturan puasa  di atas, bagi sebagian orang baru merasa “merdeka” pasca Lebaran tiba. Akibatnya kebanyakan dari kita lantas melampiaskan “ makan, minum, berhubungan suami/istri dan lain-lain” pasca puasa selesai. Pada prinsipnya, mudik kultural dan spiritual tidak bisa dipisahkan satu dengan lainya.

Mudik kultural menuntun intuisi (bisikan hati) pada setiap orang untuk pulang  kampung ke tempat asal kelahirannya yang dulu. Orang yang dalam kurun waktu lama berpergian jauh (merantau) ke luar kota /negeri) entah dalam kerangka tugas belajar; bekerja dan atau kepulauan lain pasti akan merindukan kembali pulang ke kampung halaman. 

Sejauh-jauh orang merantau, toh akhirnya ia akan rindu pada kampung  halaman. Semakmur-makmurnya hidup seseorang di negeri sebrang  tentu lebih “nyaman” tinggal di kampung halman sendiri meski hidup pas-pasan. Artinya secara filosofis –reflektif; setiap orang  gemar bermesra-mesraan dengan kenangan masa lalu, yakni asal muasalnya.

Tinggal sekarang bagaimanakah kejeniusan kita mampu mengubah tradisi mudik kultural di atas agar bisa bernilai mudik spiritual. Kualitas mudik spiritual mudik bisa tercapai di kala seseorang menyadari hakikat keberadaanya sebagai “manusia” yang memiliki rasa solidaritas, sikap intelektualitas  dan fleksibilitas sosial dalam berdialektika dengan dinamika kehidupan. 

Puncak kesadaran bermudik spiritual yakni tercapainya keseimbangan (batin, spiritualitas, moralitas) dengan ranah fisik intelektualitas, kesegaran jasad, kesuksesan hidup dan lain-lain.

Klimaks seorang yang bermudik  kultural sekaligus bermudik spiritual; pasti mengalami pencerahan bathin dan intelektual sehingga kian arif dan dermawan dalam hidup bermasyarakat. Di tengah-tengah kondisi daerah kita yang masih cukup memprihatinkan ini, kiranya budaya kultural plus spiritual) di kala Lebaran diharapkan mampu membangkitkan kosmos kesadaran bersama dalam mencapai kesejahteraan.

 Kita semua berharap jutaan penduduk yang masih terjerat kemiskinan dan kelaparan; segera terhindar dari bencana itu. Jangan sampai pula; kita malah berfoya-foya dihari Lebaran sementara disekeliling kita hidup berkesusahan (menderita) lahir dan bathin.

Jangan sampai pula, budaya mudik malah berubah menjadi ajang hura-hura, berprilaku hedonis dan layaknya kaum borjuis. Para pejabat yang mayoritas berkehidupan mewah, bergelimang fasilitas duniawi yang serba “wah” tak perlu pula  memamerkan kekayaan dan kesuksesannya; hingga membikin sakit hati (cemburu, iri) para kaum miskin. Syukur-syukur di hari Lebaran, merka kian dermawan membagikan harta mereka diperuntuhkan keluarga fakir miskin.

Namun bila senyatanya harga sembilan bahan pokok (sembako) dan kebutuhan hidup lain saja terus melambung tinggi saat ini; bagaimanakah mungkin jutaan rakyat miskin di daerah kita ini bisa merayakan hari Lebaran dengan hati yang gembira? Sedang biaya untuk sarapan esok saja sudah tidak ada, apalagi untuk biaya mudik?. Wallahu allam bissawab.

Penulis: Ahyar Rosidi Pemuda NW NTB.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author