Toleransi Terhadap Intoleransi

Sabtu 27 Juli 2013 saya disuruh untuk mengikuti dialog publik dengan tema “Mengupas  konsep toleransi beragama upaya mewujudkan kondusifitas daerah”  yang diselengarakan teman-teman Bumi Gora Institut (BGI). 

Singkat cerita dari hasil dialog publik tersebut sebagian teman yang hadir dari berbagai unsur menyimpulkan dari tahun- ketahun tindakan intoleransi di bumi kita ini masih cenderung bisa dibiarkan, anehnya tindakan tersebut tak selesai dalam proses secara hukum, hilang tinggal cerita. Masalah intoleransi kerap kali kita dengar dalam sepak bola, politik, dunia ekonomi, dan urusan peribadatan.

UUD 1945 sudah sejak awal maupun dengan amandemennya menjungjung tinggi toleransi sejati atas dasar Pancasila. Dengan memberi toleransi atas intoleransi, yakni membiarkan saja ketidaktoleran sekelompok orang yang menghianati RI berikut UUD 1945 berikut Pancasila dengan menindas sesama warga negara yang menjalankan hak asasinya, sesunguhnya kita sedang membohongi satu sam lain saban kita menyanyikan “Indonesia Raya”, sambil mengucap rumus Pancasila, dan mengangkat sumpah di pengadilan.

Membiarkan intoleransi berkecamuk, padahal kita dalam posisi diberi kekuasaan menegakan UUD 1945, pada dasarnya bukanlah sekedar kegagalan menjalankan program atau kurang suksesnya rencana kerja. Tindakan itu mengingkari sumpah jabatan dan membohongi rakyat yang menjadi saksi tekad bakti kita dalam pemilihan umum. 

Tidak cukup kita kataka “itu hanyalah kegagalan dalam dua segi program” sebab masalahnya tak dapat dihitung secara kuantitaif seperti pelaksanan proyek pembangunan rumah atau jembatan menurut perhitungan ilmu manajemen. Masalahnya terletak pada pertanggungjawaban kualitatif mengenai hidup matinya orang dan hak asasi manusia.

Toleransi terhadap intoleransinya  sekelompok rakyat atas warga lain adalah sebuah pilihan sadar untuk bersikap meninggalkan janji suci yang telah diucapkan untuk melaksanakan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada hakikatnya sikap itu mengingkari iman dalam agama mana pun: Tuhan melihat segalanya sampai ke lubuk hati semua dan Tuhan menghendaki kita saling mendukung dalam berbakti.

Semakin bermasalnya lagi kalau seseorang atau suatu kelompok toleran terhadap intoleransinya golongan tertentu atas kelompok lain dengan memakai dasar religious, padahal kita bersama sudah mempunyai dasar bersama sebagai satu bangsa: UU 1945 dan Pancasila. Kalau masih mau mempertahankan dasar-dasar kita membentuk negara kesatuan Republik Indonesia, kita harus mengakhiri langkah-langkah de facto, perda atau aturan kenegaraan yang toleran terhadap intoleransi berbagai saudara kita sebangsa dalam bidang politis, yuridis, sosial, ekonomi, sampai pada kemerdekaan beragama dan beribadah.

Bila kita menyudahi praktik tak konsekuen dan konsisten itu, pujian mengenai sifat toleran bagi kita hannya semu belaka. Sumpah jabatan kita  hannya  sekedar ritual tanpa makna. Janji pemilu tak memiliki arti sama sekali. Dibutuhkan kemauan politik dari penguasa negeri ini. Agama yang hadir harus dihayati maknanya. Persoalan kita saat ini adalah agama direduksi kedalam pemaknaan yang sempit. Dalil agama seolah-olah membenarkan perusakan dan pembunuhan tanpa pernah mengangkat dalil lain bahwa tujuan utama beragama adalah memperoleh kedamaian.

Pemahaman yang dangkal
Pemahaman agama yang sempit seperti yang disebarkan terus-menerus untuk mendidik manusia bahwa kebenaran agama tersimpan dalam prilaku di luar kemanusaian. Pertanyaannya, mengapa sebagian orang mudah tertarik dalam pemahaman sempit seperti ini? Mengapa agama lebih mudah dijadikan sebagai aspirasi daripada inspirasi dalam kehidupan? Pemahaman agama yang terjebab dalam lubang kegelapan seperti ini memiliki konsekwensi logis; orang sulit keluar dari pemahaman radikal yang mengangap agama sebagai satu-satunya kebenaran untuk melakukan teror dan kekerasan.   

Mereka yang sudah berada didalamnya sulit diajak berkomunikasi. Kehidupannya pun sangat ekslusif, seolah-olah hidup sendiri di dunia penuh warna ini. Kesadaran introleransinya tertutup oleh tebalnya “keimanan” dan keyakinan paling benar sendiri di antara yang lainnya. 

Karena itu, yang ada dalam otak mereka ialah melakukan pembasmian orang-orang diluar yang tak sepaham sama dengan dirinya. Dalam kondisi demikian, agama mendapat citra yang sangat buruk dan tidak manusiawi karena karena diperankan dalam ruang yang sangat ekslusif  dan hannya untuk golongan tertentu, bukan untuk kebaikan semua manusia.

Dalam konteks ini, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika menjadi acuan berpikir, bertindak, bernalar kita dalam saat ini. Agama yang hadir harus kita hayati dalam makna perbedaan yang rahmatal lil alamin. Penafsiran teks kitab suci masa kita harus membantu bagaimana cara kita lebih rasional, toleran, peka, terbuka, dan tidak membuat orang beriman menjadi picik dan mudah tersulut amarahnya oleh alasan perjuangan keagamaan.

 Oleh : Ahyar Rosidi


1 komentar:

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author