Bulan
Ramadhan telah lama dikenal oleh umat
manusia. Namun ini bukan berarti telah using atau ketinggalan zaman karena
genersi abad kedua puluh ini masih melakukannya dengan berbagai motif dan dorongan.
Dr. Muhammad Quraish Shihab, mengartikan istilah Ramadhan sebagai bulan
“membakar” atau “mengasah”. Dinamakan demikian karena pada bulan ini dosa-dosa
manusia pupus, habis terbakar, akibat kesadaran dan amal salehnya.
Datangnya bulan suci Ramadhan bagi umat islam diseluruh seantero dunia yang merayakan bulan Ramadhan yang mulia penuh suka cita serta
kebahagian. Sepanjang Ramadhan, umat Islam
berpuasa dari fajar hingga datangnya magrib, sehingga bisa merasakan rasa sakit
dan payah tanpa makan dan minum. Dalam
puasa sejatinya perlu meneguhkan rasa yang berempati umat Islam terhadap kaum miskin, terutama dengan
menerapkan moderasi dalam makna dan
minum.
Diharapkan,
prilaku moderat ini tetap berlanjut pada
bulan-bulan seterusnya. Namun, pada esensinya Ramadhan kerap kali terabaikan
dan berada dalam keadaan menyedihkan bagi umat Islam. Hal ini bisa terlihat
jelas pada prilaku berbelanja, sebagian besar umat Islam selama Ramadhan. Malah
anehnya banyak pihak yang memanfaatkan Ramdhan guna meraup keuntungan
sebesar-besarnya.
Bermacam
taktik dan strategi penjualan muncul untuk
mempengaruhi para konsumen muslim. Dan siapa yang tak mampu mengendalikan diri bakal menjadi mangsa para pedagang atau
penjual yang tak peduli lagi dengan daya beli yang sudah kembang kempis. Ketika keuangan mulai menipis,
banyak yang beralih pada kredit untuk memenuhi kebutuhan berbelanja. Tren ini
terus berulang dari Ramadhan tiap tahunnya, Ramadhan tak ubahnya menjadi bulan
komuditas.
Jika
dicermati, prilaku komsumtif dikalangan umat Islam Selama Ramadhan terkait erat
dengan kegagalan mereka dalam membatasi hasrat. Pengeluaran selama bulan Ramadhan
jauh lebih besar daripada bulan-bulan sebelumnya. Kelompok “gila belanja” ini kerap tidak memikirkan
kemampuan keuangan mereka dan berkonsekuensi dari pengeluaran yang mereka
lakukan.
Beberapa diantara mereka menyoroti aneka bazaar Ramadhan untuk membeli berbagai hidangan lebih dari
yang diperlukan. Meskipun Ramadhan mengajarkan muslim bersikap moderat dalam
setiap aspek kehidupan, pemborosan telah menjadi kebiasaan yang sulit
dihilangkan.
Dengan
kedatangan Ramadhan ada sejumlah pedagang yang memasang iklan dan perjualan dengan
berbagai macam promosi, lewat slogan-slogan yang kian banyak untuk menarik
perhatian konsumen yang sudah terobsesi dengan tawaran diskon atau hadiah. Para
pembisnis pun menyelengarakan bazaar murah dan mega sale lantaran kecenderungan dan sifat boros para konsumen
tersebut.
Belajar
dari Ramadhan sebelumnya, banyak taktik yang digunakan untuk menarik para
konsumen selama Ramadhan. Namun pada bulan yang sama konsumen juga mengeluhkan
praktik-praktik tidak etis praktik bazaar murah disebabkan tidak ada beda harga
sebelum bazaar murah atau penjualan yang menawarkan diskon. Persolannya
terletak pada tindakan para pedangang yang terlebih dahulu menaikan harga, lalu
memberikan diskon.
Di
tambah dengan pemahaman yang keliru pada Ramadhan telah merusak dakwah dengan
tabiat komersialisme sebagian umat Islam. Prilaku berbelanja berlebihan perlu
segera dihentikan dengan mejawantahkan sikap kita yang sederhana dengan cara
berkelanjutan. Uang yang ada dapat di manfaatkan untuk kebutuhns biaya lebaran,
seperti menutupi biaya mudik ke kampung halaman.
Ritus
puasa sekiranya memberikan pelajaran moral, terutama yang berkaitan dengan
nillai-nilai moderasi, kesederhanaan, dan pengendalian diri. Tapi, pada
kenyataanya, konsumerisme menjadi napas Ramadhan. Hasrat telah mengalahkan kontrol
diri. Meujuk pada kearifan bapak bangsa, para pemimpin kita di awal abad ke-20,
sering mengkertik kapitalisme yang dianggapnya telah meneguhkan dasar-dasar
kolonialisme.
Tak heran sehingga seperti Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta membahas
marxisme dan sosialisme. Mereka sangat percaya bahwa Islam datang ke dunia
untuk mengungkap pesan-pesan keadilan
sosial, kesetaraan dan keadilan.
Kaum
inteletual inilah yang mengusulkan bahwa teologi Islam harus dirumuskan dengan
cara-cara yag mampu memberdayakan kelompok marginal dan masyarakat miskin guna
memperoleh hak yang sama dalam ekonomi, pendidikan dan pelayanan publik. Namun
sayangnya para pemimpin agama belakangan
ini jarang menyuarakan semangat di atas. Sebaliknya, para da’i dan polititkus
atas anama Islam justru menikmati dan mendukung tren pasar karena jauh bermanfaat bagi mereka.
Agama dan spiritualisme berjalan seiring
dengan langkah etos kapitalisme. Hal ini terasa semakin dekat selama Ramadhan.
Ini
bukan berarti pasar adalah jahat. tapi tindakan dan tren yang meninggalkan
kelompok lemah dan tak terlindungi dari
tekanan pasar, adalah sesuatu yang sepenuhnya kurang tepat. Pesan puasa jelas,
menahan haus dan lapar, tidak berbelanja untuk kemewahan, serta tidak
berlebihan.
Penulis: Ahyar
Rosidi ( Mahasiswa Semester Akhir IAIN Mataram) Sekarang aktif di Staf Ahli Program Unggulan Prov. NTB.
0 komentar:
Posting Komentar