Bagaimana
menjadi pemilih cerdas dalam menghadapi Pemilu 2014, pertayaan ini sederhana
dan sesungguhnya mudah untuk dijawab, tapi biasanya untuk pemilih cerdas akan
dihadapkan pada tantangan dan kendala. Memilih secara cerdas berarti memilih
caleq yang ditawarkan oleh partai-partai politik secara tepat. Antara
pertimbangannya obyektif-kualitatif, bukan subyekktif-primordial. Namun yang
harus dikedepankan ialah rasionalitas, karena menjadi pemilih cerdas adalah pemilih yang berpikir dan
benar-benar mempertimbangkan konsekwensi atas pilihannya.
Sistem yang
proporsional terbuka murni kali ini menajdi serba tanggung, bukan sistem
distrik, tetapi juga bukan sepenuhnya proporsional, mengingat yang terpilih adalah
caleg yang memperoleh dukungan suara terbanyak. Kontrol partai politik tidak
sepenuhnya, karena partai politik hannya sebagai kendaraan politik. Sehingga
potensi konflik sering terjadi antar caleg intra maupun partai-partai berbeda.
Kompetisi politik pun sengit di tingkat individu. Kekuatan politik tokoh diuji
dalam pemilu kali ini.
Namun yang jadi pertayaan, siapa tokoh yang kuat itu?
Dalam istilahnya ada dua yang sering dikemukan dalam konteks demokrasi lansung
berbasis individu: popularitas dan elektabilitas. Popularitas sangat
diperlukan, dan tingkatnya diatas pengenalan. Popular berarti dibicarakan orang
banyak . tetapi popular saja tidak cukup.
Perlu langkah setahap lagi, yakni
memiliki derajat keterpilihan alias elektabilitas yang tinggi. Dalam persoalan
ini lembaga-lembaga pelejit popularitas yang diharapkan selaras dengan
elektabilitas, Nampak kian menjamur. Tapi satu hal yang perlu dicatat,
populartitas instan yang rapuh yang sejak awal sesungguhnya telah gagal sebagai
wakil rakyat.
Rakyat yang berdaulat untuk memilih siapa saja bakal
didukungnya. Namun, kedaulatan itu biasanya terkendala dalam dua hal: internal
dan eksternal. Internal, karena kurangnya proaktif, sehingga pemilih over
obyektif, mengedepakan pertimbangan primordial dan irasional yang berlebihan,
sehingga kurang bertanggung jawab atas pilihannya.
Kurannya informasi, bisa
berasal dari kemalasan sang pemilih, atau memang terbatasnya sosialisasi pemilu.
Faktor eksternal yang mengrogoti pemilih adalah bujukan-bujukan yang tidak
benar dan menyesatkan , tetapi daya pikatnya tinggi. Iklan-iklan yang rancu
kadang sangat membius pemilih yang kurag kritis, yang membiarkan dirinya menjadi
obyek yang ditentukan, bukan yang menentukan.
Rekam jejak dan “trust”
Kembali pada
persoalan menjadi pemilih cerdas. Tentu pemilihcerdas akan menetapkan
pilihannya berdasarkan upayanya menelusuri rekam jejak para caleq. Tentu bukan
dalam hal primordialitas rekam jejak itu, tetapi integritas , kapasitas,
kapabaltas, dan prospek caleg tersebut. Harapan ke depan mampu menjadi anggota
legislatif yang mumpuni. Yang dalam bahasa agamanya, calon pemimpin yang kita
cari adalah yang sidiq (benar) amanah (bisa dipercaya), fathonah (cerdas), dan tabligh (komunikatif).
Persoalanya,
apakah pemilih cerdas itu harus berpendidikan tinggi?. Tak harus, menjadi
pemilih cerdas berdasarkan pilihannya pada kesadaran akan perlunya menghadirkan
sosok wakil rakyat yang berkualitas, yang pantas bukan hannya secara fiisik
tetapi secara visi. Pemilih cerdas itu tak akan mudah terbius oleh oleh mantra-mantra
politik yang kosong, poster-poster yang tidak masuk akal, atau lagu-lagak yang
sok tahu dan sok berwibawa dari para calon pemimpin. Pemimpin cerdas itu akan
mencari pemimpin yang orsinal.
Istilah
rekam jejak sangat diperlukan dalam pedoman pemilih dalam menentukan penilaian
semua calon pemimpin yang hendak maju dalam bursa pencalegkan. Seseorang yang pernah
memiliki reputasi buruk, maka dalam konteks apakah ia? Misalnya, seorang bekas
narapidana, apakah setelah menjalani hukuman, ia pantas dicurigai terus seorang
yabg bertabiat buruk? Bukankah mantan ustad yang jadi maling itu tak lebih baik
ketimbang mantan maling yang menjadi ustad? Pada akhirnya, setelah rekam jejak
kita ketahui, kata kunci pentingnya adalah trust.
Seberapa besar trust kita padanya?
Disinilah arti penting trust dalam
demokrasi.
Idealisme versus Pragmatisme
Pemilih
cerdas, akan menjatuhkan pilihannya pada caleg yang idealis, yang kedepannya
diberikan trust. Dulu ada gerakan
anti-politisi busuk dengan slogan “ambil saja uangnya, jangan pilih orangnya“.
Slogan tersebut, semula agar caleg penebar money
politics kapok. Tetapi, tampak
seiring dengan perubahan sistem pemilu dan merbaknya kultur pargmatis di
kalangan elit partai dan masyarakat, maka slogan itu perlu direlokasi “ambil
saja uangnya” sengaja atau tidak , telah mengajarkan masyarakat untuk
pragmatis.
Logika
masa kini, masyarakat sudah jauh lebih pragmatis dalam “memeras” para caleg.
Para caleg pun banyak yang mengeluh tentang pragmatis itu, mengapa tiba-tiba
masyrakat jual mahal, tau mau beranjak kalau tanpa “ongkos politik” .
pemilih yang pragmatis demikian, tentulah untuk pemilih cerdas dan kritis.
Banyak cara untuk menghukum caleg “bermasalah” atau yang gemar menebar money politics tanpa harus menjadi pragmatis. Dan hukuman
yang paling nyata adalah tidak memilih mereka lagi dalam pencalegkan periode
selanjutnya.
Dari
sisi caleg, mestinya, jangan terjebak pada penyakit “takut kalah” dan karenanya
turut larut dalam kultur paragmatis secara berlebihan. Sindrom “takut kalah”
ini bisa sangat gelap mata, melakukan segala hal cara, terutama yang tidak etis
dan melawan hukum, untuk memperoleh dukungan yang optimal. Operasi “serangan
fajar” alias membagi-bagikan uang saat hari H pemunggutan suara termasuk bentuk
pelanggaran dalam pemilu.
Tanpa
adanya finansial yang memadai, seorang caleg menjadi serba bingung dalam
situasi politik sekarang. Tetapi apabila memang ia mempunyai kapasitas,
kapabilitas, intergritas dan otensitas untuk menjadi wakil rakyat yang baik,
maka justru itu malah menjadi sasaran pilihan para pemilih kritis. Sayangnya
para caleg sering kali mengedepankan asumsi bahwa jumlah pemilih kritis selalu
sedikit, sehingga memilih larut berebut mereka “tidak cerdas tidak kritis”. Kualitas
demokrasi dalam pemilu dengan demikiaan ditentukan antara yang dipilih dan yang
memilih.
Ahyar
Rosidi (Stap khusus Program Unggulan Prov. NTB).
Rabu, 10/Juli 2013
0 komentar:
Posting Komentar