Tuan Guru Hasanain,Ikhtiar Merawat Optimisme

Pertama-tama  yang menarik dari buku ini, terutama bukan pada isi tulisannya, tapi sosok sang penulis Tuan Guru Hasanain--dari beberap kalangan saya dengar ia lebih suka disapa Hasanain saja- boleh jadi sosok Tuan Guru yang keluar dari mainstream umumnya para Tuan Guru di pulau Lombok.  Pergaulannya melintas sekat pesantren. Namun familiar di kalangan aktivis gerakan sosial, pegiat lingkungan, hingga para pencinta buku. Ia juga aktif memanfaatkan betul teknologi internet untuk menyampaikan pikiran, ide dan kegundahannya.

TGH. Hasanain Juani saat menerima penghargaan
sebagai Tokoh Perubahan 2016
Satu lagi, Hasanain tidak tergoda bermain politik praktis, di saat cukup banyak Tuan Guru terjun ke kancah politik. Bukan berarti Hasanain apolitis (anti politik), tetapi ia mengambil pilihan mengambil jarak denga kekuasaan dengan sejumlah pertimbangan yang matang, sekalian hampir besar aktivitasnya terbentang luas dan beragam, dan bersentuhan lansung dengan kaum politisi dan para pengambil kebijakan. Dengan latar seperti ini, kita bisa memahami dengan agak longar, mengapa Hasanain, seperti sosok yang terus-menerus gundah dengan keadaan.

Ia banyak melontarkan pikiran-pikiran yang menyentak kesadaran. Ia pun cukup kreatif menawarkan sejumlah jalan keluar. Dengan kata lain, Hasanain adalah adalah pengamat yang terlibat. Ia bergulat dalam kancah sekaligus pikiran dan lapangan. Pada kedua kancah ini, ia intens bergulat untuk terus-menerus melahirkan pikiran dan karya-karya nyata. Hasilnya, semua  kita tahu, Hasanain bukan “jago kandang”. Prestasinya tidak main-main. Ia adalah Fellow Ashoka Internasional, sebuah nirlaba besar dari negeri paman Sam. 

Ia adalah peraih penghargaan bergensi Syafi’i Ma’arif award (2008) dari Buya Syafi’i Ma’arif tokoh senior Muhammadiyah.  Ia juga dinobatkan sebagai peraih Magsaysay Award dari Filipina (2011). Yang terbaru, Hasanain dinobatkan sebagai Tokoh Perubahan Indonesia 2015 dari Harian Republika.
Buku ini berisi tak kurang dari 80 tulisan ringan, bisa kita sebut catatan lepas yang, Hasanain tulis dengan rentang waktu lima tahun terakhir ini. Dari puluhan tulisan lepas ini, kita bisa mencermati penulisanya punya minat yang besar atas banyak hal. Dari soal sampah, hingga budaya China. Dari fenomena Air Asia sampai gagasan pesantren lansia. Menariknya sejauh mana pun “pengembaraan” ide dan gagasannya Hasanain selalu kembali mempertautkannya dengan kondisi kekinian kita di NTB.

Hasanain memang mencintai NTB dengan segenap perasaanya. Ia mencintai NTB dengan segala persoalan didalamnya. Bagi Hasanain –dan itu tercermin jelas dalam bukunya ini-NTB tidak punya alasan untuk tidak bisa maju. NTB tidak bisa berdalih ini itu soal segala macam keterbelakangan saat ini. Hasain menyirami kita dengan guyuran optimisme. Ia tak mau kita berkeluh kesah terlalu banyak, apalagi menghabiskan energi untuk saling menyalahkan.

Baginya optimisme adalah satu utama syarat untuk melangkah lebih pasti dan lebih cepat membenahi apa yang harus dibenahi di rumah besar NTB kita. Benang merah merawat optimisme memang kuat menyebut pada hampir keseluruhan tulisan Hasanain. Ia agaknya sadar seperti halnya energi optimisme ini yang boleh jadi kian meredup di tengah-tengah kita kini. Sikap kritis bagi Hasanain tidak banyak berguna jika dilandasi pesimisme menatap masa depan, ungkap Hasanain, sama sekali tidak memberikan jalan keluar yang produktif bagi pemecah masalah bersama. Bahkan condong berubah menjadi caci maki atau hujan yang tak berguna.

Buku Lorong Kerikil Tuang Guru ini menambah koleksi buku-buku NTB yang dalam 2-3 tahun belakangan ini makin banyak mengisi pasar buku lokal kita. Buku-buku tentang NTB atau buku-buku yang ditulis para penulis NTB sepatutnya mendapat ruang yang cukup untuk hadir di tengah-tengah publik. Apa yang Lembaga Kajian Publikasi Islam dan Masyarakat (Leppim) IAIN Mataram, NTB lakukan dengan menerbitkan tulisan-tulisan lepas TGH. Hasanain ini patut kita apresiasi.

Kita semua, terutama pemerintah daerah harus lebih serius mendorong lahirnya buku NTB dan penulis –penuli lokal. Buku terbaik dipilih secara berkala, entah setahun atau dua tahun sekali diberikan hadiah yang konkret, pemerintah daerah harus memfasilitasi untuk mencetak atau memperbanyak buku-buku NTB dalam segala genre. Penerjemaham naskah-naskah bahkan warisan budaya Lombok, Sumbawa, Dompu dan Bima pun harus dikerjakan segera. Masih banyak ditingkat lokal dengan mendekatkan pada khalayak. Kekampuan pembangunan suatu daerah tidak semata ukurannya fisik belaka. Kemajuan mencetak buku lokal adalah simbol kemajuan daerah dan pada saatnya akan menjadi warisan bersejarah untuk generasi NTB. Wallahualam bisawab.   
Judul buku     : Lorong Kerikil  Tuan Guru
Penulis            : TGH. Hasanain Juaini
Cetakan 1       : 2016
Tebal                : 195 halaman
Penerbit          : Lembaga Pengkajian Publikasi Islam dan Masyarakat (LEPPIM) IAIN Mataram


Bogor, 24 April 2016

3 komentar:

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author