Little India (Foto Ahyar ros) |
Dari
tempat penginapan di kampung Bugis, hannya perlu 13 menit mengunakan kereta
cepat (MRT) ke utara menuju Little
India. Di mulut Dikson Road, aroma khas rempah –bumbu kari kunyit, merica,
ketumbar, cengkeh, kapulaga, jintan menjadi pertanda bahwa kami telah digerbang
pemukiman berlatar budaya Tamila India, kelompok etnik ketiga terbesar yang
menyumbang 9, 20 persen populasi Singapore.
Terletak
di timur Singapore River, Little India
berbeda dengan kampong Chulia, tempat etnik Tamil bermukim dahulu. Etnik Tamil
datang bersama Raffles pada tahun 1819. Lalu lewat kebijakan kolonial
Inggrisnya, Raffles melakukan pemisahan etnik, memindahkan imigran Tamil ketika
kampung tersebut kian padat dan persaingan mendapat lahan kian tinggi.
Akhirnya, banyak warga Tamil pinndah ke tempat yang kini dikenal sebagai Little
India.
Kampong
Chulia sendiri kini telah tiada, seperti pemisahan etnik yang kini justru
diselaraskan sebagai Singapura bersatu. Salah satu contoh silang budaya
terwakili lewat boga. Banyak orang tua keturunan China pergi ke pertokoaan yang
memiliki pengilingan rempah di Little India untuk menggiling beras yang akan diolah menjadi bubur bagi
balita mereka. Yang pertama menarik perhatian kami bukanlah kerumunan dan
keriuhan yang dimulai sekitar 200 m di depan, tetapi justru panggung boneka
China. Dua wanita memainkan lakon, sementara pria di balik panggung menggiring
dengan tehian (rebab), kong nga yang, su kong (bas), dan
terompet.
Agaknya
ini adalah cara mereka bersuka cita di malam Deepavali, hari perayaan terbesar
umat Hindu yang dianut sebagaian besar warga keturunan India. Di tetapkan sebagai hari libur nasional,
semangat Deepavali menyelimuti semua etnis dan bangsa Singapura waktu itu. Di
Tempat ini aktivitas keagamaan berjalan dengan lancar, Singapura tak memandang
agama dan kebangsaan, penghormatan terhadap keberagaman dijunjungi tinggi.
Bagi
anak-anak Deepavali tak ubahnya kemerihan Natal
dan Lebaran di Tanah Air. Baju baru makanan enak, dan hiburan seperti
panggung boneka yang tak harus bernuansa India. Seusai menyaksikan panggung
boneka, saya bersama teman asal Malaysia berjalan menembus Little India. Tujuan
adalah Serangoon Road yang dibangun pada tahun 1823, jalur niaga utama di
pertemuan Rochor Canak Road, dan Bukit Timah Sungai Road, sampai Levender
Street. Sebulan sebelum puncak Deepavali, yang berlansung sejak Oktober, hingga
awal November, sepanjang Serangoon Road sampai pertemuan dengan bukit timah Road
gemilang dengan aneka lampu hias.
Semarak
Deepavali membuat kami terhanyut dalam arus orang lalu lalang. Mata pun tertuju
pada aneka dagangan. Kios-kios buah dan sayuran segar –tomat, terong dan
kebutuhan sehari-hari bisa di dapat ditempat ini. Di Tempat ini, saya dan
Ilhamzi berpisah tujuan. Arus manusia yang kebanyakan pria dewasa India
berkemeja rapi membawa saya ke bazaar khususnya Deepavali di naungan tenda yang
diupayakan The Hindu Endowment Board.
Faral,
sajian khusus Diwali berisi penganan manis, seperti karanji (pastel), ladoo
(bola-bola manis), shankarpale (kue
biji ketapang), anarase (kue beras), sev (kue tak berempah) dan chivda (kacang-kacangan dengan serutan
kelapa) sungguh mengoda. Sesekali kembang api dinyalakan untuk menarik
perhatian para dagangan kembang api dan petasan.
Saya
amati pernak-pernik Deepavali toran (untaian daun mangga dan bunga marigold
yang dirangkai saat ditunggui pembeli), serbuk warna-warni untuk membuat rangoli, hiasan pintu, kandil (lentera kertas warna-warni),
Diwali diyas (pelita ditanah cawat
liat dengan minyak kepala), lampu ghee
(minyak samin, lemak kambing). Saya tiba di seruas jalan kecil yang diapit
deretan ruko-ruko layaknya melewati lorong yang didominasi minimarket, kafe,
dan rumah makan khas India termasuk bagi para vegetarian. Saya tengah mengambil
foto ketika tiba-tiba lengan saya digamit beberapa lelaki muda India yang
berdandan khas India, mereka minta di foto. Tentu saja, dengan senang hati.
Tiba
di Seragoon Road, bukan berarti kerumunan berkurang di sepanjang jalan dan
gang. Hannya saja di tempat ini, saya agak lebih leluasa mengamati pria dan
wanita dewasa yang mengenakan pakaian terbaik.
Anak-anak dan remaja bahkan, seperti pesta kostum. Di tempat ini, saya
juga berjumpa dengan teman asal Indonesia yang sedang mengambil foto-foto acara
Deepavali.
Masuk
ke sebuah toko perhiasan yang memajang, anting kalung, dan gelang dalam ragam,
warna warni, corak dan rangkaian, saya “bingung” memilih yang tercantik. Di
emperannya beberapa wanita berkulit putih asyik memilih pola, lalu menyerahkan
tangan untuk dihias “tato”. Malam itu, cahaya menghiasi setiap sudut, semerbak
hio memenuhi udara, berbaur bunyi petasan, kegembiraan, kebersamaan dan harapan,
seperti makna Deepavali.
Saat geremis menderas kesokan
pagi, sejatinya saya berencana bersantap roti canai dan the tarik di kawasan
Little India dengan seorang kawan asal Indonesia yang sedang menempuh studi di National of Singapore (NUS), tapi kami
urungkan, karena ia sedang dipadati tugas kampus yang padat. Deepavali yang
menandai tahun baru Hindu berdasarkan penanggalan bulan adalah hari besar yang
dirayakan bersama keluarga dengan
berbagai tradisi di rumah, menghias dengan kandil,
rangoli, diyas yang melindungi diri dan keluarga, bangun sebelum fajar,
mandi berendam setelah membaluri tubuh dengan utna, minyak beraroma wangi, mengenakan pakaian baru, lalu seluruh
keluarga ke kuil untuk sembahyang, mengagungkan para dewa.
Semangat Deepavali saya
gai dari dari Sri Veeramakaliamman Temple di pertemuan Seragoon Road dan
Belilios Lane. Setelah beringsut dari kepadatan umat, saya menjajaki kaki
memasuki kuil tertua dan teramai yang berdiri sejak tahun 1881. Di dalam kuil,
umat mendatangi tiap altar yang dihuni para dewa diterangi diyas dan lampu ghee yang
dilayani pendeta Hindu dengan pakaian dan rambut khasnya.
Deepali diwarnai banyak legenda.
Di antaranya, perayaan atas kembalinya Rama dari 14 tahun pembuangan. Rakyat
Ayodhya menyatakan kegembiraan atas kembalinya sang raja dengan menghiasi
kerajaan dengan diyas dan membakar
petasan. Perayaan kemenangan kebaikan atas kejahatan, terang atas kegelapan.
Saya membeli coconut arachanai dengan harga 1,5 dolar
Singapura pada pengurus kuil dan sekantung bola-bola manis dan kacang-kacangan.
Saya perhatikan umat berdoa, dan menyerahkan kwitansi beraksara Hindu pada pandita, yang kemudian berdoa pada
mereka, menyentuh kepala mereka, memberikan air suci, lalu membagikan sebuah
dari gunungan pisang melambangkan Bukit Govardhan yang diangkut Krisna yang
masing-masing dialasi daun sirih dan anggrek bagi umat.
Si altar Dewi Lakhsmi,
umat menuang susu segar yang dibawa dari rumah ke sebuah tong besar. Deepavali
menandai akhir musim panen di sebagaian besar India pada hari cerah di akhir
musim hujan, perayaan terakhir seblum musim dingin. Lakshmi melambangkan
kemakmuran dan kesejahteraan, restunya menyirami tahun berikutnya. Ada legenda doa dalam Lakshmi. Hari itu muncul
Lakshmi dari Krisna Sagar, lautan susu, selama masa bergejoknya samudra
manthan. Ternyata susu itu dibagikan bagi umat, saya ikut mangantar di luar
kuil untuk yoghurt, nasi yang di
masak dengan susu. Sedap dan gurih.
Hari itu adalah latihan
adalah untuk bermurah hati, berbagi, bertukar hadiah, saling memaafkan, menjadi
lebih baik dari hari kemarin. Sadar untuk meraih cahaya hati, seperti yang
diisyaratkan Deepavali. Selain di rumah, seperti keramaian yang terlihat di
Zhujiao Food Center di Tekka Center, beberapa meter dari MRT Little India
sepulang mereka dari kuil. Permulaan yang baik bagi tahun yang baik.
Hari sudah terlihat Nampak
sore. Sore itu pun saya bergegas menuju MRT Little India menuju kampung Bugis,
tempat saya menginap. Catatan ini, saya tulis ketika mengunjunggi Singapura
setahun lalu dalam rangka mengikuti Conference di National of Singapore (NUS).
0 komentar:
Posting Komentar