Singapore, bagi beberapa orang adalah kota dengan setumpuk
cerita memikat. Bagi yang lainnya, hannyalah kota biasa yang mereka hidup
setiap hari. Khsusus buat saya, julukan Negeri Singa ini adalah tempat memenuh
hasrat “perjalanan sesaat” sebagai pelawat yang suka dengan fotografi dan
kemudian menulis ceritanya diblog pribadi. Tujuan saya berkunjung ke tempat ini
bukan dalam rangka berlibur, melainkan mengikuti konferensi International yang
bertajuk tentang perdamaian di Asia Tenggara yang diselenggarakan National University
of Singapore (NUS). Tentu saja, disela kegiatan serius ini, terasa tidak
lengkap, jika saya tidak mencuri waktu untuk pelesir, menjajal ke tempat-tempat
bersejarah, kuliner yang bikin kepicut dan wisata andalan negeri ini.
Karena panitia tidak menyediakan dukungan finansial untuk tiket,
saya wajib berhemat, jauh hari sebelum jadwal acara, saya telah pesan tiket
pulang pergi. Panitia hannya menanggung penginapan hostel selama dua malam.
Contohnya untuk tiket saya mengunakan maskapai Lion Air dari Bandara International Lombok (BIL) menuju Jakarta,
kemudian di Bandara Soekarno Hatta, saya mengunakan Air Asia. Saya
tak peduli tiket itu murah, dengan menunggu transit pesawat sampai tiga jam di
bandara Soeta, Cengkareng, Jakarta menuju Changgi.
Alhasil, total waktu perjalanan Jakarta ke Singapore mencapai
sekitar 1 jam. Saya tiba di bandara Changgi, Singapore pada 25 September 2016
pada pukul 12.00 waktu setempat sedang dalam kondisi kurang tidur selama 1 jam.
Badan yang masih letih karena membawa tas ransel berisi laptop, pakaian, dan
kamera Nikon DSLR. Dengan kondisi ngatuk dan letih harus berhadapan dengan
petugas imigrasi dipintu kedatangan, yang bertanya macam-macam, seperti (tentang
tiket pulang-pergi tujuan kedatangan, tempat tinggal sementara), tapi begitu
saya perlihatkan undangan dan katakana akan mengikuti kegiatan konferensi untuk
presentasi di salah salah satu kampus ternama National of Singapore, mereka pun
meloloskan saya begitu saja.
Di pintu keluar, saya dijemput seorang panitia. Atas jasa
baiknya saya tiba di hostel dan menginap dua malam dikawasan kampus ternama
Singapore ini. Perjalanan dari bandara ke kampus National University of Singapore
memakan waktu sekitar satu jam lebih dengan mengunakan kereta cepat ke stasiun
yang berdekatan dengan NUS. Tiket Rp 30 US (selama 3 hari). Malam pertama saya
melewati tanpa cerita, kecuali hingar-bingar kota metropolitan Singapore.
Di sela pekerjaan menyelesaikan materi slid presentasi, seorang
teman asal Malaysia satu peserta konferensi mengajak saya untuk menikmati teh
tarik hangat dan roti canai racikan menu Melayu yang terletak dikawasan sekitar Kampung
Bugis berdekatan
dengan masjid Sultan. Tak perlu menunggu lama, saya pun meng-iyakan ajakan
teman Abdul asal Johor Baru, julukan negeri Upin-Ipin itu. Perjalanan kesana bisa
ditempuh dengan mengunakan Busway.
Kawasan ini terkenal sebagai pusat peninggalan sejarah muslim
Singpaore. Masjid Sutan yang masih berdiri tegak dengan pesolek artisitektur
melayunya. Malam itu berkumpul dan diskusi seraya menyeruput teh tarik hangat,
dan roti Canai. Malam itu terasa begitu hangat dan akrab berbagi cerita tentang
kehidupan beragama dikampung halaman kami. Bersama teman inim saya utarakan
ingin menjelajahi peninggalan bersejarah Singapore. Teman saya memberi saran, jika
ingin jalan-jalan ke Singapore dengan transportasi umum, kita perlu membeli
tiket berupa kartu trip kereta berupa kartu serupa ATM. Gerai penjualan tiket
terdapat di stasiun dan area-area stasiun terdekat.
Kartu itu bisa digunakan untuk naik kereta, trem maupun busway.
Kalau wara-wiri di Singapore, selama sehari setidaknya dibutuhkan ongkos 6-7
dolar. Selain itu, kita bisa mengambil buku panduan publik transportasi, ini
akan memudahkan memandu perjalanan ke lokasi yang hendak kita tuju. Konferensi
yang saya ikuti di Singapore berlansung selama dua hari penuh. Sisa waktunya
saya habiskan untuk mengunjunggi lokasli wisata religi bernuansi perdamaian di
kota ini.
Konferensi tersebut bertempat di kampus National University of
Singapore, lokasi acaranya persis di gedung kajian Asia Tenggara. Tema
konferensi ini mengurai tentang perdamaian di Asia Tenggara. Ada 40 peserta dan
7 pembicara dari berbagai negara lain Indonesia, Autralia, Spanyol, Amerika,
Malaysia, Inggris, Thailand, Filipina, dan Myanmar. Saya salah satu delegasi
dari Indonesia, setelah saya ajukan paper ke panitia penyenggara soal kehidupan
kelompok Ahmadiyah di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB) satu hari setelah
mengikuti seleksi, saya pun dinyatakan lolos dan berhak menyampaikan presentasi
selama sekitar 20 menit di National University of Singapore.
Setelah dua malam saya dikawasan kampus NUS, malam ketiganya
saya pindah ke kawasan sekitar kampung Bugis. Saya penginapan murah yang tak
jauh dari masjid Sultan Kamapung Bugis. Bersama dua teman asal Filipina dan Thailand,
kami menyewa hostel murah yang berkisar antara Rp 25 dollar sehari.
Kalau ingin melemaskan kaki, dibutuhkan waktu sekitar 15 menit
berjalan ke kampus yang berada satu kompleks dengan NUS itu. Sebagian besar
bangunan warisan arsitek Inggris abad ke 19 yang indah. Gedung kuliah terlihat
apik dengan bangunan bertengger megah. Topik yang dibawakan oleh para pembicara
sangat bervariasi soal isu perdamaian di Asia Tenggara.
Saya sendiri membawakan topik bagaimana stategi bertahan
kelompok Muslim Ahmadiyah ditengah ujaran kebencian dan tekanan di penampungan
Transito, Mataram Nusa Tenggara Barat (NTB). Topik ini memancing perhatian,
komentar dan pertanyaan peserta, karena tidak banyak yang pernah melakukan
penelitian soal isu ini di Lombok. Terlebih ketika saya menyingung bagaimana
kondisi kehidupan antar umat beragama di NTB. Bagi peserta hal ini merupakan
hal baru, tak banyak yang mereka dengar sebelumnya.
Kota-kota yang menyimpan kedamaian
Seusai konferensi, saya bergegas menuju stasiun kereta untuk
melihat kehidupan warga Singapore dibeberapa kota kecil dan lokasi wisata
lainnya. Jalan penyebrangan terlihat ramai oleh warga lalu lalang, tapi
jembatan penyebrangan begitu tertib. Pagi itu, saya mengunjunggi tempat-tempat
ibadah dan peninggalan bersejarah, seperti Masjid Sultan di Kampung Bugis,
Klenteng, dan Little India (sebuah perkampungan komunitas India di Singapore). Saya
mengamati tingginya displin dan sikap saling menghormari antara agama satu
dengan lainnya.
Perjalanan saya ini menyibak pesan tentang arti dan makna
perdamaian dan toleransi yang terus disemai. Di kota kecil julukan negeri Singa
ini, saya menjumpai tentang indahnya hidup damai antara pemeluk agama, dan beda
warna kulit. Di kota ini bangunan kubah masjid Sultan Agung berdiri megah,
dengan sebait pesan, bahwa hidup damai itu menjadi simbol dan peradaban kota
kecil yang harus dirawat sepanjang denyut kota.
Dari kota kota-kota kecil yang saya kunjunggi, setidaknya
pesan-pesan perdamaian itu menjadi oleh-oleh bagi saudara sebangsa di
Indonesia. Akhirnya tuntas sudah sepekan lawatan saya ke Singapore. Sungguh
perjalanan yang menyenangkan dan menyuguhkan pengalaman baru tentang pentingnya
merawat kedamaian antara beda agama dan warna kulit. Lalu bagaimana dengan
kampung saya Lombok? Tempat bermukim berbagai kemlopok agama dan etnis, Hindu,
Budha, Kristen dan Muslim masih kerap kali berseteru soal keyakinan dan klaim
surga antara neraka. Kelompok Ahmadiyah di penampungan Transito menjadi
pemandangan memilukan, sepuluhan tahun terusir karena iman dan mendekam di
penampungan kumuh.
Lawatan ke Negeri Singa megikuti konferensi perdamaian dan
mengunjunggi tempat-tempat bersejarah, memberikan makna mendalam tentang isu
perdamaian menjadi tugas bersama untuk selalu dijaga dan dirawat sepanjang
hayat. Di pelataran masjid Sultan saya berjumpa dengan imam besar Abdul Halim
jamaah muslim di kampung Bugis menyapanya. Dari seorang imam ini. Keberadaan
Masjid Sultan menjadi simbol perdamaian di kota Metropolitan ini, saya
mendapatkan pesan-pesan dan bait-bait kedamaian antara umat beragama di kota
kecil ini. (Ahyar rosyidi)
0 komentar:
Posting Komentar