Jejak Kerajaan Pajajaran di Sindang Barang

Kampung Sindang Barang,
Bogor

Kampung Budaya Sindang Barang terletak di desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini merupakan salah satu wilayah dengan latar belakang kebudayaan sunda yang kental, dan sejak pada tahun 2007 mulai menjadikan wilayahnya sebagai kawasan pariwisata budaya.

Kampung Budaya Sindang Barang mewarisi tradisi Kerajaan Sunda Galuh di kawasan Jawa Barat yang sempat eksis sejak abad ke-11 sampai dengan abad ke-16, dengan ibu kota kerajaan adalah Pakuan Pajajaran (atau sekitar kawasan Kota dan Kabupaten Bogor saat ini).

Arti Sindang Barang sendiri terdiri dari dua kata, yakni Sindang artinya berhenti atau pergi, sedangkan Barang berarti segala urusan, jika digabungkan maka Sindang Barang memiliki arti pergi dari segala urusan (khususnya yang bersifat duniawi). Namun, karena berbagai dinamika dan memudarnya budaya di sana, pada tahun 1960-an seorang kepala desa yang juga merupakan salah satu sesepuh adat Sunda bernama Aki Lurah Etong meneruskan tradisi sunda berupa Upacara Serentaun dan beberapa kesenian sunda di kawasan utara Kabupaten Cianjur, atau lebih tepatnya di Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor.

Sejak saat itu, budaya sunda berupa penghormatan terhadap alam dan sistem pertanian berkembang secara masif. Meninggalnya Aki Lurah Etong pada tahun 1972, sempat mengubah keberlanjutan sistem budaya sunda di Kecamatan Tamansari, khususnya terkait dengan pelaksanaan Upacara Serentaun yang tidak lagi komperhensif pada rentang waktu 1972 sampai dengan awal tahun 2000-an.

Pada rentang waktu tersebut, budaya sunda lebih diposisikan sebagai simbol atas penghormatan terhadap sesepuh dan leluhur. Keberadaan upacara Serentaun sebagai contohnya, selain dilakukan secara parsial karena tidak adanya kepemimpinan dan struktur adat yang mapan, pelaksanaannya juga disesuaikan dengan kompromi budaya masyarakat di kawasan Kecamatan Tamansari yang mayoritas beragama islam, sehingga sekaligus memunculkan gelombang sinkretisme antara budaya sunda dan agama Islam.

Sinkretisme tersebut salah satunya ditunjukkan dengan pengubahan beberapa tatacara pelaksanaan Upacara Serentaun, seperti yang pada awalnya dilakukan pembacaan mantra dan penguburan kepala kerbau pada saat,dihapuskan dan menjadi pembacaan ayat kitab suci (Al-Quran) dan pemanfaatan kepala kerbau untuk keperluan yang lain.

Memasuki awal abad ke-21, upaya mengembalikan trah budaya Sunda yang lebih sempurna dilakukan, salah satunya melalui pengembangan kesenian sunda (yang juga merupakan komponen integral dalam Upacara Serentaun) dengan pembentukan Sanggar Giri Sunda. Pengembangan Sanggar Giri Sunda dan ditambah dengan bantuan para donatur, pada akhirnya mampu mengembalikan pelaksanaan Upacara Serentaun yang konkrit, yang prosesinya dilalui dengan seni dan kebudayaan sunda (tarian, musik).

Pada tahun 2007, beberapa pihak yang terkait pelaksanaan Upacara Serentaun dan didorong oleh berbagai tokoh budaya sunda di Jawa Barat, sesepuh Sindang Barang hingga pemerintah, mulai mengembangkan wacana revitalisasi budaya sunda secara keseluruhan, termasuk rumah adat, leuit,hingga struktur adat.

Selama rentang tahun 2007 sampai dengan 2010, pengelolaan KBSB dilakukan hampir seluruhnya oleh pengurus adat, yang dipimpin oleh seorang Kepada Adat (Pupuhu). Pada dasarnya struktur adat di KBSB merujuk pada struktur adat yang memang telah eksis sejak masa lampau di tatar sunda, yang terdiri dari Pupuhuhingga sub-divisi terkecil seperti Hulun Tangkes.

Pada masa lampau, Pupuhu memiliki tanggung jawab utama untuk mengatur apa yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan dalam masyarakatnya. Pupuhudalam arti yang pertama (karena memiliki kemampuan memimpin komunitas), diperoleh bukan karena proses pemilihan maupun pencalonan terlebih dahulu, melainkan lebih pada kesepakatan antar anggota adat dan musyawarah bersama.

Pupuhu di KBSB saat ini adalah cucu salah satu sesepuh adat sunda di kawasan Kecamatan Tamansari, sehingga ia memang masih memiliki “darah” keturunan adat sunda yang kental dan layak diposisikan sebagai pemimpin adat. Dalam budaya sunda, turun temurun kepemimpinan tersebut merupakan hal yang lazim, selain karena memiliki kharisma tersendiri, sehingga berimplikasi terhadap kepemimpinan yang lebih fungsional, umumnya mereka telah terlibat dalam kegiatan musyawarah atau kebudayaan lainnya sejak kecil, sehingga dianggap telah memahami seluk beluk kebudayaan sunda secara lebih dalam. 

Sedangkan, pupuhu dalam arti yang kedua (karena sekaligus pemegang hak sumber daya alam dominan), memang diperoleh ketika ia secara dominan menguasai berbagai sumber daya di kawasan komunitasnya. Secara fungsi kepemimpinan, seperti telah disebutkan sebelumnya Pupuhumerupakan pemegang kewenangan utama di komunitasnya. Selain pada aspek sumber daya, fungsi dan kemampuan mengatur hirarki oleh pupuhu memiliki urgensi tersendiri. 

Namun, kewenangannya pun tidak absolut, karena ia setidaknya harus melaksanakan proses konsultatif dengan pihak sesepuh atau disebut dengan kokolot (community elders) dan divisi-divisi di bawahnya. Terkait dengan kokolot, saat ini setidaknya terdapat 70 orang kokolot yang hampir selalu dimintai pendapatnya terkait berbagai persoalan seremonial adat hingga pelaksanaan kesenian. 

Kokolot tersebut tidak masuk ke dalam struktur resmi adat, namun keberadaannya selalu diakui dan akan menjadi pamali(tidak pantas) apabila kokolot dilangkahi Sedangkan, untuk divisi-divisi yang berada di bawah pupuhu membentang dari yang berada pada fungsi fisik hingga non-fisik.

Lapisan pertama kerap kali dianggap sebagai “pemegang kunci”, yakni pupuhu atau sang kepala adat,lalu pada lapisan kedua merupakan pihak yang paling utama menopang pupuhu, yakni hulun rasul, girang seurat dan ambu. Hulun rasul pada dasarnya diisi oleh tokoh-tokoh yang dianggap memiliki tingkat spritualitas yang tinggi, yang mengatur pada penyelenggaraan kegiatan adat hingga keagamaan.

Karena di KBSB seluruhnya adalah muslim, maka fungsi ini kerap juga setara dengan “ustadz” (atau tokoh yang dianggap memiliki pengetahuan agama tinggi dalam islam). Karena fungsinya yang juga terkait dengan adat, hulun rasul juga membawahi jabatani yang berada di lapisan ketiga. 

Fungsi jabatani termasuk substansial dalam pelaksanaan seremonial di kebudayaan sunda, karena ia juga yang mengatur dan melakukan penanaman padi, panen, hingga nanti terkait dengan persiapan pelaksanaan pasca-panen dan syukuran (Upacara Serentaun).

Lapisan kedua lainnnya ditempati oleh Ambu, pada dasarnya ambudekat dengan kegiatan domestik dan keuangan (bendahara), sehingga umumnya jabatan ini pun diisi oleh istri-istri dari petinggi adat. Fungsi yang paling substansial pada lapisan kedua berada pada girang seurat, yang pada dasarnya merupakan pemegang jabatan tertinggi kedua setelah pupuhu, dan kerap juga diasosiasikan dengan fungsi sekretaris, hingga pihak yang menampung berbagai nasihat untuk kebaikan pupuhu dan komunitasnya. 

Pada zaman kerajaan, girang seurat memegang fungsi yang vital dan bahkan dapat turut memutuskan hal-hal yang sifatnya esensial. Pada saat ini, jabatan ini diketuai oleh seorang yang sudah sejak lama terlibat dalam kegiatan budaya sunda di Kec. Tamansari, namun pasca tahun 2010, perubahan cukup besar terjadi.

Pasca tahun 2010, pengelola jasa wisata (marketing wisata)yang biasa mengerjakan jasa pariwisata skala lokal mulai masuk dan menjadikan KBSB sebagai jasa wisata unggulannya. Namun, masuknya pengelola jasa wisata di KBSB tidak sebatas pada aspek eksternal, melainkan juga pada aspek internal dan bahkan dimasukkan dalam struktur adat, atau lebih tepatnya sebagai anggota utama di girang seurat.

Seperti diketahui, girang seurat merupakan jabatan yang strategis, sehingga secara tidak langsung telah terjadi proses hibrida budaya yang telah eksis sejak masa lampau dengan “budaya baru” yang dibawa oleh girang seuratversi baru tersebut (selanjutnya disebut sebagai neo-girang seurat).

Budaya sebagai Inti Adat
Budaya sunda secara spesifik tidak hanya menyangkut aspek kesenian berupa tari-tarian maupun musik, melainkan juga aspek spritual dan seremonial. Secara aspek kesenian, KBSB telah berusaha memulihkan kembali seni-seni sunda seperti tari-tarian, bela diri hingga karawitan. Bahkan, kawasan KBSB secara rutin digunakan untuk pelatihan bagi peserta yang ingin mempelajari dan mendalami kesenian.

Tim penari dan musik di KBSB banyak yang berlatih dari usia dini, hingga sekarang telah dewasa. Umumnya, tim penari dan musik yang setiap minggu rutin berlatih di KBSB adalah mereka yang turut mengisi kegiatan seremonial (seperti Upacara Serentaun) dan penyambutan apabila ada kunjungan wisata ke KBSB dalam jumlah yang masif.

Upaya untuk menguatkan dan mengembangkan basis kesenian sunda tersebut pada dasarnya merupakan salah satu upaya nyata untuk mengembalikan dan mengenalkan kesenian sunda pada anak-anak, dan cara tersebut nampaknya cukup berhasil jika melihat tingkat antusiasme dan keberlanjutan pelaksanaan kesenian tersebut.
Inti budaya dari kebudayaan sunda salah satunya adalah spiritualitas, pada aspek kesenian dan fisik, memang di KBSB telah mampu menciptakan keberlanjutan dan ketertarikan tersendiri.

Pertama, Upacara Serentaun,sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap sang pencipta yang terus dilakukan secara rutin setiap tahun sejak tahun 2005 (atau pada saat gagasan awal pendirian KBSB). Pelaksanaan Upacara Serentaun sejak didirikannya KBSB juga tidak dilakukan secara parsial, atau banyak elemen kesenian yang dikurangi. Karena KBSB juga melatih tari-menari serta penggunaan alat musik sunda.

Pelaksanaan Upacara Serentaun memosisikan kesenian sebagai bagian integral dari penghormatan terhadap leluruh dan juga sang pencipta. Kegiatan ini merupakan salah satu kegiatan yang inklusif dan masif, sehingga bukan tidak mungkin kegiatan ini juga turut menjadi ajang interaksi sosial yang asosiatif dan mempererat tali kekerabatan (kinship).

Kedua,Upacara Nyebor, pada dasarnya pelaksanaan upacara ini merupakan salah satu bentuk sinkretisme antara budaya sunda dengan agama islam. Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri dari segala nafsu dan hiruk pikuk duniawi. Pelaksanaan Upacara Nyebor juga menjadi ajang dimana pihak KBSB meningkatkan dengan mayoritas penduduk di sekitar kawasan KBSB.

Beberapa contoh tersebut merefleksikan tata kelola dan mekanisme aturan yang khas, yang sangat melekat dalam sistem kebudayaan sunda. Secara singkat, hal ini berarti juga merujuk pada upaya mengembalikan diri pada “fitrah budaya sunda” dan menghargai tradisi yang sudah ada dari leluhur. Arti budaya sebagai inti adat pun dapat dimaknai sebagai sistem yang holistik, yang apabila melanggarnya akan terkena sanksi atau “hukuman” tersendiri.

Sumber tulisan:
Wawancara dengan pengurus Kampung Adat Sindang Barang (Ukad), Emak Bedah dan masyarkat sekitar Kampung Sindang Barang.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author