Kisah Mantan Aktivis Mengajar di Pelosok Kampung (2)

Saparwadi tengah berdiskusi bersama aktivis KAMMI NTB.
Foto, Saparwadi
Aku terpanggah. Lelaki ini sahabatku ini sebagai guru yang begitu ikhlas mengajarkan nilai-nilai agama dan ke-modern. Untuk soal berbagi pengetahuan, ia amat ringan tangan untuk berbagai antara sesama. Ia tak hannya mengajarkan nilai-nilai ke-Islaman, melainkan ia meluangkan untuk membina muridnya menghafal ayat suci Al-qur’an. Berlatar belakang aktivis membuat ia banyak terlibat aktif mengisi setiap acara kegiatan mahasiswa pergerakan ke-Islaman. 

Baginya istilah modern tak perlu dikhawatirkan, kalau ilmu agama, akidah yang kuat menjadi tolak ukur utama dalam menjaga generasi anak didik dan generasi muda saat ini. “Semua orang boleh modern, namun agama Islam (Al-qur’an) harus menjadi pedoman hidup dalam era modern saat ini.” Ujarnya. 

Namanya Saparwadi. Usianya sekitar 26-an tahun. Ia bercerita tentang dirinya. Dahulu ia adalah seorang mantan ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam Indonesia KAMMI disalah satu perguruan tinggi negeri Islam di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia telah bertahun-tahun merasakan pengalaman menjadi aktivis pergerakan mahasiswa dan melanglang buana didunia pergerakan. 

Saparwadi bersama muridnya di SDIT Terare, Lotim. 
Foto, Saparwadi
Ia gembira ketika mengajar dan berdiskusi mengenai kajian ke-Islaman. 
Kegiatan ini membuat ia seringkali sampai larut malam, hingga seringkali harus pulang di atas jam 2 pagi. Pulau Lombok dikenal dengan sebutan pulau seribu masjid dan daerah tujuan wisatawan tersohor  dibagian Indonesia timur. 

Sumber data Badan Promosi Pariwisata menunjukan pengunjung lebih dari satu juta wisataan lokal dan mancanegara. Lombok memiliki penduduk 4,5 juta jiwa dan sebagaian besar masyarakatnya memilih untuk menjadi Tenaga Kerja Keluar Negeri (TKI).
Saparwadi berkisah, banyak anak muda kampung dan sahabatnya memilih jalan pintas untuk menajdi TKI dengan gaji besar. Mengapa? “Karena kalau mereka menjadi TKI, dengan mudah uang akan cepat mereka dapaptkan. Dalam jangka dua tahun meinggalkan kampung, sudah bisa membangun rumah megah, membeli motor, sawah dan punya sedikit tabungan untuk segera menikah.

 Sedang menjadi guru dengan honor sedikit sangat sulit untuk bisa seperti TKI”. Cerita Saparwadi. Menurut data statistik NTB, tiap tahunmya provinsi yang dikenal dengan pulau seribu masjid ini. NTB masuk dalam urutan ketiga penyumbang TKI terbesar setelah Madura. Sulitnya lapangan pekerjaan membuat sebgaian bersar penduduk NTB memilih menjadi TKI dari pada menjadi guru dikampung sendiri. 

Begitu juga halnya dengan angka drop out pada anak sekolah, kematian ibu melahiran juga menjadi salah satu pemicu mulai rapuhnya nilai-nilai agama Islam. Tak aneh lagi jika para orangtua mulai enggan menyekolahkan anak mereka di sekolah berbasis ke-Islaman yang konon sekolah ini tak menjanjikan masa depan yang baik.  
   
Bermula dari aktivis KAMMI
Saparwadi bertapakur, ketika menceritakan titik balik mengajar muridnya Pendidikan Agama Islam di Sekolah Dasar Islam Terpadu berbasis lokal ke-islaman itu. Sebagai salah satu alumni kampus berlatar belakang negeri Islam di Lombok. Ia memilih untuk menjadi guru agama di Sekolah Dasar Islam Terpadu. Ia selalu berpesan pada semua muridnya agar, tak henti-hentinya membentenggi diri dengan amalan agama Islam agar kelak menjadi generasi pemimpin Islam. 

Saparwadi tengah berdiskusi bersama aktivis KAMMI NTB. 
Foto, Saparwadi
Ia mulai tersentak, ketika mendenagar rapuhnya sedikit dari para murid orangtua yang enggan menyekolakan anak di sekolah-sekolah bernuansa Islam. Batinnya selalu menyala-nyala ketika ia mulai bersentuhan dengan materi Pendidikan Agama Islam, jiwanya mengebu-gebu saat ia mengajarkan tentang nilai-nilai Islam dan modern. Jika ia hendak ditanya tentang Islam dan modern, ia menafsirkan istilah modern dalam pandangan ajaran Islam dengan sangat sederhana. 

Ia memandang, modern itu tak lebih dari sebuah cara pandang seseorang terhadap konteks kekinian. Di sekolah bawah bukit Terare Lombok Timur. Kebanyakan orangtua murid bertanya, kenapa seorang Saparwadi selalu bersemangat berkutat bolak balik menjadi guru dengan mengajarkan  mata pelarajaran agama Islam di Sekolah Dasar Islam Terpadu yang tak menyediakan bayaran tinggi dan menjanjikan. 

Dengan jaringan ia miliki, Saparwadi bisa saja melamar di sekolah yang lebih bagus di kota Mataram. Belakangan terakhir, saya mulai paham hal itu. Pernah aktif di KAMMI menjadi ketua selama dua periode di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan pengalaman menggelola haloqah (kelompok studi terbatas), daurah (pelatihan intelektual dan wokshop Islami) membentuk pribadi seorang Saparwadi menjadi guru yang selalu tekun mengajarkan tentang makna ajaran-ajaran Islam yang sessungguhnya pada murid-muridnya. 

Ia tak hannya mengajarkan agama Islam semata, melainkan, ia mendidik dan membekali murid-murid dengan pengertahuan agama dan nilai-nilai ke-Islaman. Setiap pagi ia akan menyimak hafalan Al-qura’an semua muridnya.    
Di pulau kecil Lombok ini, saya sangat beruntung telah dipertemukan dengan sosok lelaki penuh inspirasi. Seorang mantan aktivis KAMMI dan guru desa yang mengajarkan nilai-nilai keserderhanan lewat pendidikan agama Islam. 
Saparwadi bersama muridnya di SDIT Terare, Lotim.
Foto, Saparwadi
Ia mengubah pandangan menjadi manusia modern itu tak harus tampil dengan kelengakapan fasilitas modern. Baginya modernitas tak lebih dari bagian dari cara pandang tentang istilah itu sendiri. Seorang Saparwadi lebih mengajarkan pada saya tentang bagaimana menyiapkan generasi-generasi muda Islam dengan dibekali pemahaman ke-Islam yang Kaffah (seutuhnya) adalah kata kunci dari melahirkankan pemimpin-pemimpin bangsa yang berpikir modern dan berbuat, serta bertindak Islami. 

Tantangan terbesar yang dihadapi adalah bagaimana menyiapkan generasi muda yang berahlak dan berprilaku Islami. Tak mudah terbawa istilah moden dan terseret dengan prilaku menyimpang dengan ajaran nilai-nilai Islam. Terkait hal ini, ada beberapa hal yang harus disiapkan:

Pertama, mengidentifikasi sekolah-sekolah berbasis ke-Islaman (SDIT) dimasing-masing daerah, serta memberikan pembinaan lebih massif terhadap guru dan siswa sesuai dengan kultur lokal daerah setempat. Karena dari majalah pesantren yang pernah, saya baca penyebaran guru Pendidikan Agama Islam sangat sedikit, termasuk di daerah bagian timur.

Kedua, kita harus mulai mengalang partisipasi warga,tahap awal yang harus dilakukan adalah, mengubah cara pandang warga tentang pentingnya bekal pendidikan agama yang berbasis ke-Islaman pada anak. Kesadaran mereka harus dibangkitkan, bahwa untuk menjadi orang modern itu tak mesti sekolah di tempat modern.

Ketiga, membangun beberapa contoh yang bisa disaksikan warga, lewat lomba sekolah SDIT dengan anak hafalan Al-qur’an. Ketika saya berkunjung ke SDIT Nurul Fikri, Desa Terare, Lombok Timur, NTB. Saya menyaksikan secara lansung hafalan-hafalan Al-qur’an siswa sudah melebihi atas rata-rata siswa disekolah lain. Bahkan saya mendengar kabar satu bulan yang lalu, para siswa didikan seorang Saparwadi telah mendapat juara satu lomba pada tahfiz di Pulau Bali.

Terakhir, kisah seorang guru desa dan mantan aktivis KAMMI Saparwadi memberikan bukti pada kita, bahwa menyiapkan generasi Islami masa depan lebih penting dari hannya sekedar khawatir dengan istilah modern itu sendiri. Saparwadi telah melakukan tindakan sederhana, namun efeknya menjadi penentu dalam menyiapkan generasi muda pemimpin masa depan. Kita patut belajar dari seorang Saparwadi, lalu kemudian kita kapan memulainya dari kelurga sendiri. 

Jakarta, 12 April 2015

0 komentar:

Posting Komentar

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author