Saparwadi tengah berdiskusi bersama aktivis KAMMI NTB. Foto, Saparwadi |
Aku terpanggah. Lelaki
ini sahabatku ini sebagai guru yang begitu ikhlas mengajarkan nilai-nilai agama
dan ke-modern. Untuk soal berbagi pengetahuan, ia amat ringan tangan untuk
berbagai antara sesama. Ia tak hannya mengajarkan nilai-nilai ke-Islaman,
melainkan ia meluangkan untuk membina muridnya menghafal ayat suci Al-qur’an. Berlatar
belakang aktivis membuat ia banyak terlibat aktif mengisi setiap acara kegiatan
mahasiswa pergerakan ke-Islaman.
Baginya istilah modern tak perlu
dikhawatirkan, kalau ilmu agama, akidah yang kuat menjadi tolak ukur utama
dalam menjaga generasi anak didik dan generasi muda saat ini. “Semua orang
boleh modern, namun agama Islam (Al-qur’an) harus menjadi pedoman hidup dalam
era modern saat ini.” Ujarnya.
Namanya Saparwadi.
Usianya sekitar 26-an tahun. Ia bercerita tentang dirinya. Dahulu ia adalah seorang
mantan ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Islam Indonesia KAMMI disalah satu
perguruan tinggi negeri Islam di Lombok Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia telah
bertahun-tahun merasakan pengalaman menjadi aktivis pergerakan mahasiswa dan
melanglang buana didunia pergerakan.
Saparwadi bersama muridnya di SDIT Terare, Lotim. Foto, Saparwadi |
Ia gembira ketika mengajar dan berdiskusi
mengenai kajian ke-Islaman.
Kegiatan ini membuat ia seringkali sampai larut
malam, hingga seringkali harus pulang di atas jam 2 pagi. Pulau Lombok dikenal
dengan sebutan pulau seribu masjid dan daerah tujuan wisatawan tersohor dibagian Indonesia timur.
Sumber data Badan
Promosi Pariwisata menunjukan pengunjung lebih dari satu juta wisataan lokal
dan mancanegara. Lombok memiliki penduduk 4,5 juta jiwa dan sebagaian besar
masyarakatnya memilih untuk menjadi Tenaga Kerja Keluar Negeri (TKI).
Saparwadi berkisah, banyak
anak muda kampung dan sahabatnya memilih jalan pintas untuk menajdi TKI dengan
gaji besar. Mengapa? “Karena kalau mereka menjadi TKI, dengan mudah uang akan
cepat mereka dapaptkan. Dalam jangka dua tahun meinggalkan kampung, sudah bisa
membangun rumah megah, membeli motor, sawah dan punya sedikit tabungan untuk
segera menikah.
Sedang menjadi guru dengan honor sedikit sangat sulit untuk
bisa seperti TKI”. Cerita Saparwadi. Menurut data statistik NTB,
tiap tahunmya provinsi yang dikenal dengan pulau seribu masjid ini. NTB masuk
dalam urutan ketiga penyumbang TKI terbesar setelah Madura. Sulitnya lapangan
pekerjaan membuat sebgaian bersar penduduk NTB memilih menjadi TKI dari pada
menjadi guru dikampung sendiri.
Begitu juga halnya dengan angka drop out pada anak sekolah, kematian ibu
melahiran juga menjadi salah satu pemicu mulai rapuhnya nilai-nilai agama
Islam. Tak aneh lagi jika para orangtua mulai enggan menyekolahkan anak mereka
di sekolah berbasis ke-Islaman yang konon sekolah ini tak menjanjikan masa
depan yang baik.
Bermula
dari aktivis KAMMI
Saparwadi bertapakur,
ketika menceritakan titik balik mengajar muridnya Pendidikan Agama Islam di
Sekolah Dasar Islam Terpadu berbasis lokal ke-islaman itu. Sebagai salah satu
alumni kampus berlatar belakang negeri Islam di Lombok. Ia memilih untuk
menjadi guru agama di Sekolah Dasar Islam Terpadu. Ia selalu berpesan pada
semua muridnya agar, tak henti-hentinya membentenggi diri dengan amalan agama
Islam agar kelak menjadi generasi pemimpin Islam.
Saparwadi tengah berdiskusi bersama aktivis KAMMI NTB. Foto, Saparwadi |
Ia mulai tersentak,
ketika mendenagar rapuhnya sedikit dari para murid orangtua yang enggan
menyekolakan anak di sekolah-sekolah bernuansa Islam. Batinnya selalu
menyala-nyala ketika ia mulai bersentuhan dengan materi Pendidikan Agama Islam,
jiwanya mengebu-gebu saat ia mengajarkan tentang nilai-nilai Islam dan modern.
Jika ia hendak ditanya tentang Islam dan modern, ia menafsirkan istilah modern
dalam pandangan ajaran Islam dengan sangat sederhana.
Ia memandang, modern itu
tak lebih dari sebuah cara pandang seseorang terhadap konteks kekinian. Di sekolah bawah bukit
Terare Lombok Timur. Kebanyakan orangtua murid bertanya, kenapa seorang Saparwadi
selalu bersemangat berkutat bolak balik menjadi guru dengan mengajarkan mata pelarajaran agama Islam di Sekolah Dasar Islam
Terpadu yang tak menyediakan bayaran tinggi dan menjanjikan.
Dengan jaringan ia
miliki, Saparwadi bisa saja melamar di sekolah yang lebih bagus di kota
Mataram. Belakangan terakhir, saya mulai paham hal itu. Pernah aktif di KAMMI menjadi
ketua selama dua periode di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan pengalaman
menggelola haloqah (kelompok studi
terbatas), daurah (pelatihan
intelektual dan wokshop Islami) membentuk pribadi seorang Saparwadi menjadi
guru yang selalu tekun mengajarkan tentang makna ajaran-ajaran Islam yang
sessungguhnya pada murid-muridnya.
Ia tak hannya mengajarkan agama Islam
semata, melainkan, ia mendidik dan membekali murid-murid dengan pengertahuan
agama dan nilai-nilai ke-Islaman. Setiap pagi ia akan menyimak hafalan
Al-qura’an semua muridnya.
Di pulau kecil Lombok
ini, saya sangat beruntung telah dipertemukan dengan sosok lelaki penuh inspirasi.
Seorang mantan aktivis KAMMI dan guru desa yang mengajarkan nilai-nilai
keserderhanan lewat pendidikan agama Islam.
Saparwadi bersama muridnya di SDIT Terare, Lotim. Foto, Saparwadi |
Ia mengubah pandangan menjadi manusia
modern itu tak harus tampil dengan kelengakapan fasilitas modern. Baginya
modernitas tak lebih dari bagian dari cara pandang tentang istilah itu sendiri.
Seorang Saparwadi lebih mengajarkan pada saya tentang bagaimana menyiapkan
generasi-generasi muda Islam dengan dibekali pemahaman ke-Islam yang Kaffah (seutuhnya) adalah kata kunci
dari melahirkankan pemimpin-pemimpin bangsa yang berpikir modern dan berbuat,
serta bertindak Islami.
Tantangan terbesar yang
dihadapi adalah bagaimana menyiapkan generasi muda yang berahlak dan berprilaku
Islami. Tak mudah terbawa istilah moden dan terseret dengan prilaku menyimpang
dengan ajaran nilai-nilai Islam. Terkait hal ini, ada beberapa hal yang harus
disiapkan:
Pertama,
mengidentifikasi sekolah-sekolah berbasis ke-Islaman (SDIT) dimasing-masing
daerah, serta memberikan pembinaan lebih massif terhadap guru dan siswa sesuai
dengan kultur lokal daerah setempat. Karena dari majalah pesantren yang pernah,
saya baca penyebaran guru Pendidikan Agama Islam sangat sedikit, termasuk di
daerah bagian timur.
Kedua,
kita harus mulai mengalang partisipasi warga,tahap awal yang harus dilakukan
adalah, mengubah cara pandang warga tentang pentingnya bekal pendidikan agama
yang berbasis ke-Islaman pada anak. Kesadaran mereka harus dibangkitkan, bahwa
untuk menjadi orang modern itu tak mesti sekolah di tempat modern.
Ketiga,
membangun beberapa contoh yang bisa disaksikan warga, lewat lomba sekolah SDIT
dengan anak hafalan Al-qur’an. Ketika saya berkunjung ke SDIT Nurul Fikri, Desa
Terare, Lombok Timur, NTB. Saya menyaksikan secara lansung hafalan-hafalan
Al-qur’an siswa sudah melebihi atas rata-rata siswa disekolah lain. Bahkan saya
mendengar kabar satu bulan yang lalu, para siswa didikan seorang Saparwadi
telah mendapat juara satu lomba pada
tahfiz di Pulau Bali.
Terakhir, kisah seorang
guru desa dan mantan aktivis KAMMI Saparwadi memberikan bukti pada kita, bahwa menyiapkan
generasi Islami masa depan lebih penting dari hannya sekedar khawatir dengan
istilah modern itu sendiri. Saparwadi telah melakukan tindakan sederhana, namun
efeknya menjadi penentu dalam menyiapkan generasi muda pemimpin masa depan.
Kita patut belajar dari seorang Saparwadi, lalu kemudian kita kapan memulainya
dari kelurga sendiri.
Jakarta, 12 April 2015
0 komentar:
Posting Komentar