Saparwadi bersama muridnya saat mengikuti Lomba di Bali. Sumber, Saparwadi |
Di tengah kekhawatiran
banyaknya tokoh agama, masyarakat, dan para orangtua dengan buah hati mereka. Para orangtua terasa letih
membendung benturan zaman terbilang serba modern saat ini. Se-akan mereka tak
tahu lagi kemana hendak menyerahkan anak mereka, agar kelak menjadi anak yang
tak hannya berbakti pada orangtua, melainkan berguna bagi bangsa dan negara.
Pendidikan
agama tempat bernaung bersandar ibarat menjadi benteng kultural yang harus selalu dijaga, dipetahankan dan dirawat.
Semua itu seakan menjadi seongkok kata yang tak tau lagi kemana mengadah
menitipkan harapan pada generasi bangsa ini.
Belajar agama Islam dan
menyekolah anak di sekolah berbasis pengajaran agama, tak lagi menjadi tumpuan
banyak orangtua.
Lalu siapa yang akan peduli pada Islam di tengah derasnya arus
terpaan moderinitas saat ini? Mampukah kita pertahankan kultur Islam? Namun pemuda
lulusan pesantren kampung terpencil telah menunjukan langah-langkah sederhananya
dalam memaknai Islam sebagai agama moderitas. Ia seakan menghadirkaan gagasan
dan ide sederhana untuk memaknai Islam dalam cara pandang modern.
Saparwadi bersama muridnya di SDIT Terare, Lotim. Foto, Saparwadi |
Jika semangat
itu dimulai dari sebuah Sekolah Islam Terpadu di pelosok desa jauh dari gegap
gempitanya ibu kota. Di salah satu pulau
terpencil bagian timur tepatnya di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat
(NTB) terdapat kisah yang menakjubkan tentang mantan aktivis Kesatuan Aksi
Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) memilih menjadi guru disalah satu sekolah
pelosok kampung.
Ia awalnya sebelum menyelesaikan pendidikan S1. Ia
memilih aktif menjadi aktivis mahasiswa dikampus Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Mataram. Pada mulanya ia sangat pasif, namun setelah mengenal dan memilih
menjadi aktivis KAMMI, ia mulai berubah tujuh kali derajat. Hingga pengalaman
pernah menjadi aktivis memberikan bekal untuk menjadi guru teladan dalam
mengajar Pendidikan Agama Islam.
Lelaki itu pagi-pagi
sudah bergegas untuk menuju Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Nurul Fikri,
Terare, Lombok Timur. Ketika ku hampiri, ia sedang memanaskan motor tua milik
orangtuanya. Di mana tas ransel disamping berisi absen dan buku, lalu ia
memintaku untuk mengambilkannya. Lalu kemudian ia mengajakku untuk segera
bergegas menuju sekolah SDIT Islam tempat ia megajar sebagai guru agama.
Saparwadi bersama muridnya di SDIT Terare, Lotim. Foto, Saparwadi |
Di Sekolah Dasar Islam
Terpadu khas modern itu, terlihat puluhan murid yang sudah menunggu lama
kedatangannya dari pagi sebelum jam 7.00 pagi. Nampaknya ia harus segera masuk
kelas, lantas ia mendekatiku dan anak muda itu berberbisik “Aku masuk kelas
dulu, para murid sudah menunggu lama. Hari ini saya harus mengajarkan Islam dan
pengaruh media”. Katanya. Dari gerak geriknya anak muda itu sangat suka dengan
materi yang gendak ia sampaikan hari itu.
Usai mengajar, ia
mencerikan panjang lebar tentang liku-likunya menjadi guru memangku semua mata
pelajaran salah satunya menjadi pengajar dalam mata pelajaran Pendidikan Agama
Islam di Sekolah berbasis Islam terpadu pada pelosok kampung. Berkat kegigihannya
mengajar, kini berjumlah 50-an. Kini semua muridnya pun tidak lagi awam soal
istilah, Islam dan Modern.
0 komentar:
Posting Komentar