Kisah Mantan Aktivis Mengajar di Pelosok Kampung (1)

Saparwadi bersama muridnya saat mengikuti
Lomba di Bali. Sumber, Saparwadi
Di tengah kekhawatiran banyaknya tokoh agama, masyarakat, dan para orangtua dengan buah hati mereka. Para orangtua terasa letih membendung benturan zaman terbilang serba modern saat ini. Se-akan mereka tak tahu lagi kemana hendak menyerahkan anak mereka, agar kelak menjadi anak yang tak hannya berbakti pada orangtua, melainkan berguna bagi bangsa dan negara. 

Pendidikan agama tempat bernaung bersandar ibarat menjadi benteng kultural yang harus selalu dijaga, dipetahankan dan dirawat. Semua itu seakan menjadi seongkok kata yang tak tau lagi kemana mengadah menitipkan harapan pada generasi bangsa ini.
Belajar agama Islam dan menyekolah anak di sekolah berbasis pengajaran agama, tak lagi menjadi tumpuan banyak orangtua. 

Lalu siapa yang akan peduli pada Islam di tengah derasnya arus terpaan moderinitas saat ini? Mampukah kita pertahankan kultur Islam? Namun pemuda lulusan pesantren kampung terpencil telah menunjukan langah-langkah sederhananya dalam memaknai Islam sebagai agama moderitas. Ia seakan menghadirkaan gagasan dan ide sederhana untuk memaknai Islam dalam cara pandang modern.
Saparwadi bersama muridnya di SDIT Terare, Lotim.
Foto, Saparwadi
Jika semangat itu dimulai dari sebuah Sekolah Islam Terpadu di pelosok desa jauh dari gegap gempitanya ibu kota. Di salah satu pulau terpencil bagian timur tepatnya di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) terdapat kisah yang menakjubkan tentang mantan aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) memilih menjadi guru disalah satu sekolah pelosok kampung. 

Ia awalnya sebelum menyelesaikan pendidikan S1. Ia memilih aktif menjadi aktivis mahasiswa dikampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram. Pada mulanya ia sangat pasif, namun setelah mengenal dan memilih menjadi aktivis KAMMI, ia mulai berubah tujuh kali derajat. Hingga pengalaman pernah menjadi aktivis memberikan bekal untuk menjadi guru teladan dalam mengajar Pendidikan Agama Islam.

Lelaki itu pagi-pagi sudah bergegas untuk menuju Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Nurul Fikri, Terare, Lombok Timur. Ketika ku hampiri, ia sedang memanaskan motor tua milik orangtuanya. Di mana tas ransel disamping berisi absen dan buku, lalu ia memintaku untuk mengambilkannya. Lalu kemudian ia mengajakku untuk segera bergegas menuju sekolah SDIT Islam tempat ia megajar sebagai guru agama.

Saparwadi bersama muridnya di SDIT Terare, Lotim. 
Foto, Saparwadi
Di Sekolah Dasar Islam Terpadu khas modern itu, terlihat puluhan murid yang sudah menunggu lama kedatangannya dari pagi sebelum jam 7.00 pagi. Nampaknya ia harus segera masuk kelas, lantas ia mendekatiku dan anak muda itu berberbisik “Aku masuk kelas dulu, para murid sudah menunggu lama. Hari ini saya harus mengajarkan Islam dan pengaruh media”. Katanya. Dari gerak geriknya anak muda itu sangat suka dengan materi yang gendak ia sampaikan hari itu. 

Usai mengajar, ia mencerikan panjang lebar tentang liku-likunya menjadi guru memangku semua mata pelajaran salah satunya menjadi pengajar dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah berbasis Islam terpadu pada pelosok kampung. Berkat kegigihannya mengajar, kini berjumlah 50-an. Kini semua muridnya pun tidak lagi awam soal istilah, Islam dan Modern.

Jakarta, 12 April 2015

0 komentar:

Posting Komentar

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author