Mutiara Terpendam dari Papua

Sumber, google, CRCS UGM

Buku bertajuk Mutiara Terpendam Papua, Potensi Kearifan Lokal untuk Perdamaian di Tanah Papua karya Budi Asyhari-Afwan ini mengajak kita untuk melihat persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat Papua. 
Satu hal yang, menurut penulis buku ini, jarang ditempuh oleh peneliti dalam konteks Papua karena, selama ini, Papua hanya dilihat dari kacamata politik, konflik, dan sumber daya alamanya semata.

Atas dasar pertimbangan fokus ini pula, penulisan buku ini dijalankan. Meskipun tidak mendapatkan porsi yang banyak, perbincangan tentang politik, konflik, dan sumber daya alam tetap disebut oleh Budi dalam menganalisa persoalan. 

Hal ini tak lepas dari saling berkelindannya elemen-elemen tersebut dalam ruang publik Papua. Dalam artian, satu bagian dengan bagian yang lain tidak dapat dipisahkan secara total. Meskipun Budi secara tegas mendaku bahwa fokus yang dikaji dalam buku ialah persoalan potensi kekayaan budaya yang dimiliki oleh warga Papua untuk membina keberagaman di sana.

Sebagai salah satu provinsi kaya di Indonesia, Papua menjadi medan magnet bagi para imigran dari berbagai lapisan masyakarat dari seluruh penjuru Indonesia. Imigrasi ini, pada akhirnya, menentukan arah perubahan tata kelola sosial dan ekonomi. Dalam lintasan sejarah, terdapat beberapa fase migrasi yang terjadi di Papua. Pertama, pada awal abad XVI, tercatat ketika para sultan di Ternate dan Tidore memperebutkan pengaruhnya masing-masing atas Raja Ampat. 

Kedua, migrasi yang dilakukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Ketiga, adalah ketika pemerintah Republik Indonesia mengirim banyak pegawai pemerintahan dari wilayah Indonesia Timur, Tengah, dan Barat pada 1969, di bawah pemerintahan Orde Baru,  hal 14-16. Gelombang migrasi yang terus menerus terjadi di Papua dari tahun ke tahun itu pula yang membuat peta demografi masyarakat Papua menjadi sangat beragam.

Perbandingan skala jumlah antara masyarakat Papua asli dan pendatang menjadi bagian tak terpisahkan dalam diskursus ini. Di tahun 2010, sebanyak 891.942 orang tercatat sebagai pendatang, sedangkan total masyarakat Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) berjumlah 3.593.823 penduduk. Jumlah tersebut mengalami pasang surut dari tahun ke tahun. Pada 1971, dari total 923.440, terdapat 37.251 pendatang. Di tahun 2000, angka pendatang membengkak menjadi 420.327 dari jumlah total 2.233.530 orang.

Jumlah para imigran yang datang ke Papua, lama kelamaan membuat masyarakat Papua terdesak dalam berbagai lini kehidupan. Dalam pendidikan, misalnya, mereka beberapa langkah tertinggal dari para imigran. Para imigran, yang tinggal di daerah perkotaan, mengecap pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat Papua yang hidup di desa dan kampung. Ketimpangan infrastruktur membuat jurang pemisah dalam segi pendidikan semakin melebar antara pendatang dan masyarakat asli. Hal ini, pada akhirnya, berimbas pada kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat Papua. Arus deras modernisasi yang dibawa oleh para imigran menambah beban berat yang harus dihadapi.

Meski tidak berjejaring secara langsung dengan hal-ihwal ekononomi, narasi keagamaan di Papua tidak bisa dipisahkan dari hal ini. Terlebih kaitannya dengan para pendatang, yang sebagian besar adalah Muslim. Sementara para penduduk Papua beragama Kristen. Disebutkan bahwa, masuknya Islam di wilayah perkotaan mempengaruhi banyak faktor di Papua, di antaranya ekonomi-bisnis. 

Penguasaan Muslim di Papua yang terpusat di perkotaan memungkinkan Muslim menguasai jalur perekonomian, mengingat sebagian besar umat Kristen menentap di desa-desa dan gunung-gunung. Tak ayal, warga Papua yang Kristen merasa terintimidasi situasi tersebut sehingga memunculkan sentiment agama. Meskipun persoalan utamanya adalah penguasaan ekonomi dan bisnis. hal 47-49. Sehingga, sangat mungkin muncul konflik antar suku-suku dan bangsa yang beragam di sana.

Namun, sebenarnya, masyarakat Papua memiliki kaidah tersendiri dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di antara sesama. Meski masih sering terjadi konflik antar suku, akan tetapi mereka juga memiliki mekanisme kultural yang mampu merekatkan kembali hubungan yang renggang. Terdapat beberapa mekanisme kultural yang digunakan sebagai alat untuk mendamaikan konflik dan sekaligus mengelola perbedaan. Di antaranya adalah para-para adattikar adat, dan bakar batu.

Para-para adat merupakan bangunan yang didesain khusus untuk memecahkan permasalahan antarsuku bangsa. Secara simbolis, tempat ini disakralkan untuk bisa berkumpul dan mencoba menyelesaikan permasalahan secara bersama. Tidak jauh berbeda dengan para-para adattikar adat dipergunakan untuk menjembatani sengketa yang terjadi. Pada dasarnya, tikar adat memiliki kesamaan dengan rapat warga seperti biasanya di daerah lain. Yang membedakan adalah jika rapat warga tidak mengharuskan semua warga untuk hadir, maka dalam tradisi tikar adat semua anggota harus hadir. 

Sementara itu, ritual upacara batu juga berfungsi mendamaikan sengketa, sebagaimana kedua mekanisme di atas. Ciri khas upacara batu karena upacara ini digelar selama lima hari. Pada waktu yang telah ditentukan, para anggota yang bersengketa dikumpulkan dan membuat perapian yang berbahan batu-batuan dan ranting-ranting kering. Upacara bakar batu dimaksudkan untuk melupakan tragedi dan peperangan yang telah terjadi, hal 63-64.

Beberapa kearifan lokal tersebut menjadi modal sosial berharga bagi warga Papua untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi. Meskipun, tata Negara memiliki instrument tersendiri dan terlembagakan, namun masyarakat Papua juga telah sejak lama mempraktikkan mekanisme untuk memecahkan masalah. Berbekal mekanisme kultural tersebut, sebenarnya warga Papua telah mempunyai aturan yang bisa dijadikan panduan dalam bermasyarakat.
Penulis           : Budi Asyhari-Afwan
Penerbit          : CRCS-UGM
Tahun             : 2015
Halaman         : 86

Sumber, website http://crcs.ugm.ac.id/book/review/28/Kearifan-Lokal-sebagai-Modal-Sosial.html




0 komentar:

Posting Komentar

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author