Mengenang Lebaran Adat di Bayan (1)

Lebaran Adat, Bayan (Foto, Ahyar ros)
Tepatnya 9 Juli 2016, bulan lalu, terbilang waktu liburan panjang. Saya sudah merencanakan menghabiskan untuk menjelajah tempat-tempat terluar di pulau seribu masjid (julukan bagi pulau Lombok). Seumur-umur tinggal di pulau Lombok, tak pernah terlintas dalam bayangan mengikuti ritual Lebaran Adat komunitas masyarakat Islam Wetu Telu yang terletak di Kabuapten Lombok Utara (KLU). Di masa belajar di pesantren, saya hannya pernah mendengar lebaran adat komunitas Islam Wetu Telu ini. 

Bagi saya perjalanan kali ini menuju Lebaran Adat, bermalam, menikmati hidangan lezat makan khas Adat Bayan. Mengikuti lansung prosesi panjang ritual Lebaran Adat selama dua hari dua malam menjadi pengalaman spiritual tersendiri dalam mengenal lebih dekat dengan komunitas adat Islam Wetu Telu.
 
Bagi sebagian masyarakat Lombok Timur, Lombok Barat, Lombok Tengah, dan KLU komunitas Islam Wetu Telu masih dianggap memiliki ritual adat dan pemahaman berbeda dengan ritual Islam kebanyakan dan ormas besar, seperti  Nahdlatul wathan (NW), Nahdlatu Ulama (NU), dan Muhammadiyah di Lombok. Mendengar perbedaan ini, tentu bagi saya menjadi sesuatu yang unik dan menantang untuk didatanggi untuk terus dipelajari. 

Lalu apa yang membuat anggapan memiliki ritual Lebaran Adat Islam Wetu Telu dengan kebanyakan ritual dan keyakinan lainnya. Kemudian bagaimana prosesi Lebaran Adat, Islam Wetu Telu ini dijalankan, hingga kini mampu bertahan dalam benturan budaya (clas of civilization)? Bersama empat orang sahabat dari Lombok Timur, Fathulrahman (Redaktur Lombok Post), Basirun (Mahasiswa IPB), Emi (Kelas Inspirasi), dan Suriani (pengajar di IAIH Pancor). 

Kami menyesuri jalan menanjak dari jalur selatan Sembalun, pendakian Rinjani, dari Sembulan kami menempuh jarak tempuh 4 jam menuju desa adat komunitas masyarakat Islam, Wetu Telu, Lombok Utara. Untuk menempuh jalur Sembalun menuju Desa Adat Bayan, kami harus menahan sengatan dinginnya udara pegunungan, hingga terasa menusuk tulang.  Inilah satu-satunya jalur dari arah selatan menuju kampung Adat Bayan. Ini bukan satunya jalan menuju, tapi bisa ditempuh dari bagian barat, Lombok Barat, jalur pantai sengigi lansung menuju desa Adat Bayan, Islam Wetu Telu.

Di Desa Adat Bayan, kedatangan kami disambut ramah pak Mus Muliyadi. Orang dikampunya akrab menyapa dia pak Mus saja. Bagi kami ber-empat bertemu pak Mus adalah kali pertama, terkecuali salah satu sahabat kami Fathul yang sudah lama kenal, sejak lima tahun lalu. Di sebuah berugak berukuran empat kali tiga, kami dipersilahkan duduk, sambil dihidangan singkong goreng dan jaje Girik (kue khas Lebaran Lombok). 

“Wah ini menu kesukaan saya, lama sekali tak pernah menikmati Singkong goreng renyah seperti ini.” Kelakar Basirun, teman asal Batu Putik Sepit, Lombok Timur. Bagi kami berempat berada di Bayan dan bisa membangun intraksi lansung bersama masyarakat komunitas Adat Bayan, Islam Wetu Telu adalah pengalaman langka untuk ditulis dn diceritakan ke orang lain.

Apa uniknya Lebaran Adat Bayan?
Mendengarkan cerita tentang Lebaran Adat Bayan dari pak Mus, sontak membuat saya heran. Bagaimana tidak, Lebaran Adat Bayan dilaksanakan satu minggu setelah lebaran Idul Fitri versi  Islam mainstream (versi pemerintah). Tentu bagi orang yang tak pernah mendengar cerita Lebaran Adat Bayan akan heran. Sore itu, sebelum kami memutuskan niat menyaksikan Lebaran Adat. 

Seorang tokoh dihormati di Desa Sukadana mendatanggi kami yang tengah asyik duduk mendengar cerita pak Mus. Ia datang menghampiri kami, seraya menceritakan semua hal mengenai pakaian baju adat dan kemben (pakaian wajib bagi masyarakat adat bayan) dan susunana prosesi Lebaran Adat Bayan, Islam Wetu Telu, hingga satu hari satu malamnya.

Komunitas masyarakat Islam, Wetu Telu di Kabupaten Lombok Utara (KLU) merayakan Idul Fitri dengan cara berbeda seperti kebanyak umat Islam lainnya. Seperti biasanya mereka melaksanakan lebaran tiga hari setelah umat Islam lainnya berlebaran, yang jatuh pada tanggal 1 syawal. Lokasi perayaan Lebaran Adat di KLU berlansung di tiga tempat pertama di Labangkara, Sembagik, dan Semokan. 

Namun lokasi yang pernah kami yang pernah kami datanggi, rumah adat Semokan, dan Sukadana. Ketika kami bertandang ke dusun Semokan, kami menjumpai pengalaman unik, yang sebelumnya. Bertahannya ritual dan rangkaian sebelum merayakan Lebaran Adat yang selama ini sulit untuk dijaga bersama komunitas adat keturunanIslam, Wetu Telu.

Bagi komunitas masyarakat Islam, Wetu Telu menjaga tradisi merupakan pesan dari leluhur mereka yang secara turun-temurun dijaga. Bangunan rumah adat, seperti masjid adat, berugak (tempat menerima tamu susuk sasak),  ziarah kubur, menyerahkan fitrah serangkaian lainya terus terjaga. Waktu itu menjelang magrib, berada di dusun Semokan kami habiskan untuk melihat dan bertanya semua segala kemungkinan dan bagaimana prosesi ritual Lebaran Bayan dilaksanakan. 

Saya terkesima melihat anak-anak kecil berlari diantara halaman bale Balak (rumah adat khas Sasak). Bale adat (rumah adat) itu berdiri kokoh, yang menandaskan tradisi leluhur menjadi bagian untuk tetap dirawat dan dipertahankan. Bagi masyarakat adat Bayan, sejauh langkah pergi merawat tradisi adalah pesan dari leluhur, jika mereka abai dengan tradisi, suatu saat akan mendapat teguran dari yang kuasa. Merawat ritual dan tradisi adalah cara mencintai, berkakti pada Sang Hiang Widi Wasa.          

Cerita pak Mus mengiringgi perjalanan langkah kami menuju pulang ke rumah pak Mus. Aku menatap langit yang sudah mendung, yang pertanda sebentar lagi hujan deras akan turun. Aku pun melintasi jalan setapak berdebu… Bersambung
Bogor, 2 Agustus 2016


0 komentar:

Posting Komentar

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author