Kepribadian Sukses


Sumber: google
Pribadi yang sukses memiliki persamaan dengan orang yang sehat secara psikologis, tetapi apakah orang sukses itu sehat secara psikologis, dan orang yang secara psikologis sehat itu pasti orang sukses? 

Maxwell Maltz (1899-1975) yang dikenal dengan pemaparan tentang Psycho-Cybernetics (1960), mengemukakan tujuh ciri kepribadian sukses yang amat menarik untuk kita renungkan.

Ciri pertama: Sense of direction. Orang sukses mempunyai kemampuan untuk mengarahkan dan memimpin dirinya sendiri. Ia tidak ditentukan oleh situasi lingkungannya.

Di antara banyak karyawan yang suka mangkir kerja dan terlambat masuk kantor, karyawan berkepribadian sukses selalu rajin dan datang lebih awal. Di antara manusia yang suka mengeluh, ia tak mengucapkan kalimat-kalimat keluhan walaupun banyak hal yang bisa dikeluhkannya. 

Ciri pertama ini sangat dekat dengan apa yang disebut oleh Stephen R. Covey dengan istilah proaktivitas. Orang yang proaktif tidak didikte oleh suara-suara mayoritas, sebab mereka mendasarkan sikap dan perilaku mereka atas rasa tanggung jawab terhadap kehidupan pribadi mereka. Orang-orang yang suka mengkambing-hitamkan situasi, lingkungan, dan orang lain di sekitarnya, jelaslah bukan tipe ini.

Ciri kedua: Understanding. Orang sukses berkemampuan untuk memahami diri mereka, memahami orang lain, dan memahami pekerjaan mereka. Dan, mungkin ini jauh lebih penting, mereka mau belajar memahami segala sesuatu. Dalam bahasa Covey, orang-orang seperti ini memiliki kebiasaan “seek first to understand, then to be understood.” Mereka tidak suka berkata: “Anda harus memahami saya”, tidak suka menuntut orang lain menyesuaikan diri dengan mereka, tetapi justru sebaliknya. 

Ciri ketiga: Courage. Keberanian bertindak merupakan hal yang melekat dalam diri orang berkepribadian sukses. Apa pun risiko yang menghadang langkahnya, takkan membuat mereka mundur. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa mereka berprinsip: “Adalah lebih baik bertindak, walau kelak terbukti tindakan itu salah daripada takut salah dan karenanya tidak pernah melakukan sesuatu dalam hidup”. Manusia yang hanya membeo dan tak pernah berani menyatakan pilihan sikap yang berbeda dengan orang lain, tidak masuk dalam kategori ini.

Ciri keempat: Charity. Sifat kikir dan egosentris tidak membuat seseorang meraih sukses. Kemurahan hati, murah dalam memberikan pujian, suka menolong, bersedia membagi hak miliknya pada orang lain, adalah sifat-sifat yang menyertai kesuksesan seseorang. 

Ciri kelima: Esteem (self-esteem). Suka mengemis, meminta belas kasihan dan mentalitas budak bertentangan dengan tabiat orang sukses segala zaman. Orang Sukses memiliki harga diri yang sehat.

Ciri keenam: Self-Acceptance. Orang sukses menerima kelemahan mereka, sekaligus mengetahui bahwa dalam diri mereka terdapat kekuatan yang unik dan berbeda dengan manusia lain. Mereka enggan menyediakan banyak waktu untuk meratapi kelemahan mereka, tetapi berusaha keras mengembangkan potensi positif yang telah dikaruniakan Sang Ilahi kepadanya.

Ciri ketujuh: Self-Confidence. Inferiority complex alias minder dan superiority complex alias arogan tak melahirkan orang sukses. Kepercayaan diri ini berkaitan erat dengan penerimaan diri sebab percaya diri merupakan akibat dari adanya self-acceptance dan self-respect. Sikap minder dan arogan adalah musuh besar kepribadian sukses. Orang minder susah meraih keberhasilan, sementara yang arogan susah mempertahankannya (kisah para tiran di segala jaman membuktikan hal ini, bukan?).

Adalah menarik bahwa apa yang disebut oleh Maltz sebagai ciri-ciri kepribadian sukses tersebut memiliki persamaan yang mendasar dengan empat ciri orang yang sehat secara psikologis. Duane Schultz dalam bukunya Growth Psychology: Models of Healthy Personality mencoba menguraikan titik-titik persamaan yang dimiliki oleh orang-orang berkepribadian sehat—Schultz mengkaji tujuh teori pribadi sehat berdasarkan konsep Gordon Allport, Carl Rogers, Erich Fromm, Abraham Maslow, Carl Jung, Viktor Frankl, dan Fritz Perls.

Pertama, orang-orang yang sehat secara psikologis mengontrol kehidupan mereka secara sadar. Walaupun tidak selalu secara rasional, orang-orang sehat mampu secara sadar mengatur tingkah laku dan bertanggung jawab terhadap nasib mereka sendiri. Mereka, karenanya, tidak suka menyalahkan lingkungan atau mengkambing-hitamkan orang lain.

Kedua, orang-orang yang sehat secara psikologis mengetahui diri mereka apa dan siapa. Mereka menyadari kekuatan dan kelemahan, kebaikan dan keburukan mereka, dan umumnya mereka sabar dan menerima hal-hal tersebut. Mereka tidak berkeinginan menjadi sesuatu yang bukan mereka. Meski mereka dapat memainkan peran sosial untuk memenuhi tuntutan dari orang lain atau situasi (kecuali dalam pandangan Perls), namun mereka tidak mengacaubalaukan peran ini dengan diri mereka yang sebenarnya.

Ketiga, mereka bersandar kuat pada masa kini. Meski para ahli teori itu percaya bahwa kita tidak kebal terhadap pengaruh masa lampau (khususnya pada masa kanak-kanak), namun tidak ada seorang pun mengatakan bahwa kita tetap dibentuk oleh pengalaman awal (sebelum usia lima tahun). 

Pada sisi lain mereka memandang masa depan sebagai sesuatu yang sangat penting, tetapi tidak mengganti masa kini dengan masa depan.
Dan keempat, orang yang sehat secara psikologis tidak merindukan ketenangan dan kestabilan, tetapi mendambakan tantangan dan kegembiraan dalam kehidupan, tujuan dan pengalaman baru.

Pertanyaan yang mungkin muncul adalah: Benarkah orang yang sukses itu selalu sehat secara psikologis? Apakah orang yang secara psikologis sehat pasti orang sukses? Tulisan ini tidak bermaksud menjawab dua pertanyaan tersebut, tetapi justru ingin mengajak Anda berpikir: bagaimana pendapat Anda?

*) Andrias Harefa
Author: 40 Best-selling Books; S peaker-T rainer-C oach: 22 Years Plus
Alamat www.andriasharefa.com – Twitter @andriasharefa

0 komentar:

Posting Komentar

 

Translate

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author